Aesira Destiny

Aesira Destiny

Part 1

Sebuah kerajaan adidaya bernama Arsh yang menguasai negara bagian barat hingga timur sedang bersuka ria menyambut penobatan sang putri sebagai ratu di kerajaan tersebut. Putri Arlinda, yang memiliki wajah menawan yang tersohor, sebentar lagi akan naik tahta menggantikan sang ayah yang sudah lebih dari lima puluh tahun berkuasa.

Mengenakan gaun putih dengan gradasi biru, tatanan rambut yang disanggul sebagian dan sebagain lain terjuntai ke belakang punggungnya, Putri Arlinda berjalan pelan di atas karpet biru yang mengarah ke singgasana raja. Membawa tongkat berujung kristal biru safir, dengan khusyuk Putri Arlinda menunduk pada sang raja untuk penyematan mahkota. Sumpah janji Putri Arlinda untuk menjaga Arsh menggema di seluruh penjuru altar singgasana. Puja-puji dari pemimpin anyar Arsh terdengar nyaring dari jutaan rakyat yang berkumpul di luar istana. Suara itu mengetarkan dinding-dinding, membuat semua orang berdecak kagum. Ini menandakan, betapa rakyat begitu antusias atas penobatan ini, betapa besar cinta rakyat terhadap Arsh dan pemimpinnya.

Dari sudut puncak istana, seorang gadis berambut pirang menitikan air mata. Ia sendirian, merasakan pedih yang tak berkesudahan. Bagaimana tidak, hanya karena terlahir tak bisa berjalan dan mengakibatkannya harus duduk di kursi roda, ia gagal diangkat menjadi ratu penguasa di Negeri Arsh. Ialah, Jazira. Putri sulung dari Raja Emir dan Ratu Mina yang tewas saat perang perdana antara Arsh dan negeri para penyihir hitam—Udaya. Ratu yang berasal dari klan penyihir suci dan merupakan keturunan terakhir yang berhasil selamat, menggunakan seluruh kekuatannya untuk melindungi Arsh dari serangan Udaya. Padahal, waktu itu, Ratu Mina baru saja melahirkan Jazira, pun kekuatannya belum pulih sepenuhnya. Alhasil, Ratu Mina harus wafat setelah mengerahkan upaya mengunci semua bala tentara Udaya di sebuah portal rahasia. Hal itu, menjadikan perang dimenangkan oleh Arsh. Kini, Negeri Udaya hanya tinggal nama usai Raja Emir melakukan pengakhlukkan besar-besaran dan mengutuk segala bentuk ilmu hitam. Dan untuk mengenang jasa Ratu Mina, rakyat membangun patung setinggi 50 kaki yang diletakkan di pusat kota Arsh. Pada objek patung sang ibunda itulah, Jazira menetapkan pandangannya. Kala ia bersedih, balkon kamar inilah yang selalu mengantarkannya berjumpa dengan sosok sang ibunda.

“Apa yang sudah kudapat setelah berjuang, Ibu? Aku hanya dapat lelah. Ayah lebih memilih anak selir itu sebagai ratu dibanding aku, Ibu,” ucap Jazira sambil terisak.

“Ayah seharusnya memperjuangkan putri dari ratu yang sudah mengorbankan nyawanya demi melindungi Arsh. Bukan dari ratu pengganti.”

Suara tangis Jazira tersamarkan dengan keriuhan yang mengudara dari bawah saat Ratu Arlinda diarak mengelilingi kota dengan kereta emas. Rakyat yang berdiri di bahu jalan menerbangan kelopak bunga ke arah sang ratu selama ia berjalan bersama kereta emasnya yang ditarik kuda putih.

Melihat itu membuat hati Jazira dirunduh perih menyaksikan kenyataan pahit yang diterimanya. Kebenciannya bertambah tinggi bercampur kemarahan yang mendidihkan kepalanya.

Tak mau lebih dalam menghancurkan diri, Jazira berbalik dan meninggalkan balkon. Saat hendak menuju depan cermin yang ia dapat saat membaca buku di perpustakaan istana, tiba-tiba saja, loker di bawah cermin terbuka dan menampakkan buku bersampul hitam yang dipenuhi oleh cahaya ungu. Tentu saja hal itu membuat Jazira terkejut karena loker itu mendadak terbuka sendiri. Dengan berani, Jazira mengambil buku tersebut.

“Bukankah ini buku yang berada di ruang rahasia yang kutemukan kemarin? Kenapa buku ini bisa berada di sini?”

Dengan sangat mudah, Jazira memutuskan rantai yang mengitari buku hitam itu. Jelas saja hal itu membuatnya keheranan. Karena ragu, Jazira meletakkan buku tersebut dengan keras di atas meja. Namun, mendadak saja, buku itu membuka dengan sendirinya dan menampilkan deretan kata bercahaya ungu. Dengan lirih, Jazira merapalkan tiga kata yang tertera. Sedetik, angin menyembur kuat dari luar istana, mengakibatkan daun-daun berterbangan juga kelopak-kelopak bunga sampai melayang jauh ke langit-langit kamarnya. Dengan tangannya, Jazira mencoba mendorong kursi rodanya menembus angin yang berhembus kencang untuk menutup pintu balkon. Namun, belum sempat ia menutup, dari kejauhan ia melihat awan yang terbelah lalu, satu-persatu mengeluarkan banyak sekali naga yang menyemburkan api ke segala arah. Bersamaan itu, langit berganti menjadi abu-abu di susul gerimis serta rentetan petir yang menyambar keras.

Semua rakyat berhamburan menyelamatkan diri. Prajurit yang sempat lengah berdiri sigap menghadapi musuh yang datang dengan tiba-tiba. Sedangkan di atas sana, kedua mata Jazira mencari-cari keberadaan Ratu Arlinda. Bersyukur, ia mendapati ratu baru itu sudah diamankan dengan baik oleh panglima istana.

Jazira cepat-cepat memundurkan kursi rodanya dan menutup pintu raksasa balkon kamarnya sekuat tenaga. Tapi, baru satu daun pintu setengah tertutup. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam dengan hiasan kepala berduri hinggap ke hadapannya. Tubuh Jazira seluruhnya seakan membatu, ia mencoba mengulirkan rodanya untuk pergi, namun nahas, laki-laki itu mengayunkan tongkat dan membuat kursi rodanya tertahan.

Kedua lutut penyihir laki-laki itu ambruk di hadapan Jazira sembari menempelkan tangannya ke dada, membuat gadis itu seketika bingung.

“Terima kasih, berkatmu, ratusan prajurit Udaya sudah dibebaskan.” Laki-laki itu menundukkan kepalanya.

“Ramalan itu ternyata benar, putri dari Mina sendiri lah yang akan membebaskan kami. Sesuai janji—” ucapan laki-laki itu terhenti. Ia menampakkan wajahnya dengan mata merah berapi-api, membuat Jazira begidik ngeri.

“Kau harus menjadi pemimpin baru Udaya.”

Jazira memundurkan bahunya. Mimik wajahnya dipenuhi raut tanda tanya.

“Ja-jadi, kalian adalah prajurit Udaya yang dikurung ibuku puluhan tahun?” tanya Jazira terbata-bata.

“Benar,” jawab laki-laki itu sambil menunduk kembali.

“Ti-tidak! Tidak! Aku tidak akan pernah menjadi pemimpin kalian! Yang kutahu kalian terkenal licik dan kejam!” hardik Jazira, ia melanjutkan,”Lagi pula, bagaimana mungkin putri dari musuh, kalian jadikan pemimpin! Dasar bodoh!”

Dari wajahnya yang menunduk, laki-laki penyihir itu tersenyum miring. Ia mengetukkan tongkatnya satu kali ke lantai, seketika kamar tersebut sudah berpindah tempat ke altar kerajaan Udaya yang sudah porak poranda akibat perang dua puluh tahun yang lalu.

Jazira terkejut bukan main. Sementara laki-laki itu menegakkan tubuhnya dan mendekat ke arah Jazira.

“Bukankah ini yang kau mau Putri Jazira? Menjadi pemimpin di sebuah kerajaan? Kau pasti sangat tersiksa saat melihat adik tirim dinobatkan menjadi ratu, bukan?”

Bola mata Jazira mengikuti langkah laki-laki yang terlihat seusianya itu.

“Siapa kau?!”

Laki-laki itu tertawa bengis.

“Siapa kau?!” tanya Jazira mengulangi dengan volume suara lebih tinggi.

Lagi-lagi, hanya tawa yang menjadi jawaban pertanyaan Jazira.

Laki-laki berjubah hitam tersebut membungkuk dengan wajah hanya berjarak sejengkal dari wajah Jazira. “Kau ingin tahu siapa aku?”

“Aku adalah takdirmu,” tukas laki-laki tersebut dengan serius.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!