Part 15

Ketiganya diikat erat agar tak dapat kabur. Lantas, mereka digiring dan tanpa ampun didorong ke sebuah ruangan yang sangat minim cahaya. Tidak harus disumpal agar terdiam pun, ketiganya sudah tak dapat berkutik karena banyak senjata mengintai.

“Berani keluar dari sini, berarti kalian cari mati!” ancam salah satu dari gerombolan orang asing yang tidak jelas wajahnya.

Mereka bertiga duduk bersandar dinding kayu dan menuruti ucapan orang asing tersebut tanpa penolakan. Aesira menggeser posisinya ke sudut ruangan, membiarkan Rui menyandarkan kepala ke bahunya, samar-samar gadis itu mendesis karena menahan luka di kakinya akibat tergores terumbu karang. Gadis itu tanpa mereka sadari berubah pucat wajahnya, ia sudah kehilangan banyak darah dan butuh penanganan ekstra untuk kakinya itu.

“Aku lemas sekali, Ae. Sepertinya, tanpa aku harus melangkah dari tempat ini pun, aku serasa akan mati,” tukas Rui pelan.

“Hei! Apa yang kau bicarakan, Rui? Kau harus bertahan, kau harus hidup! Berjanjilah kalau kau tidak akan mengatakan hal seperti itu lagi!” omel Aesira agar gadis di sebelahnya tetap menahan kesadaran.

Aesira menangkup pipi Rui. Jelas terasa permukaan kulit sahabatnya itu mendingin. Khawatir, Aesira bergegas mengerak-gerakkan tubuh sahabatnya yang sudah tidak ada respon.

“Rui! Rui! Apa kau berani meninggalkan aku?! Bangun Rui! Bangun!” teriak Aesira yang seketika menarik respon Kay yang sedari tadi menahan kantuk.

Laki-laki itu mengangkat tangan Rui yang tergeletak lemas di sebelahnya lalu, merasakan denyut nadi gadis itu yang melemah. Mengetahui itu, ia melepaskan tangan Rui.

“Kalian! Teman kami sakit! Bolehkah kami meminta bantuan?!” teriak Kay membuat dua penjaga dengan tombaknya di luar pintu menoleh ke belakang.

“Hei! Bukankah kalian juga manusia? Dimana letak belas kasih kalian terhadap manusia lain? Kami hanya meminta pertolongan untuk teman kami!”

Lagi-lagi, ucapan dari laki-laki di dalam sekapan itu mengedarkan jati dua penjaga. Mereka, tidak diperbolehkan bertindak apapun tanpa adanya perintah. Jika tidak, nyawa mereka menjadi taruhannya.

“Sudahlah, Kay. Meminta pertolongan kepada mereka hanya akan sia-sia. Lebih baik kita bebaskan diri dari tali ini kemudian, kita urus Rui.

Aesira dan Kay saling bekerja sama untuk mengenyahkan tali uang membelenggu tangan dan kaki mereka. Dengan susah payah ditambah minimnya pencahayaan, mereka membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama.

Setelah bebas, Kay teringat jikalau ia menyimpan senter kecil di salah satu saku jaketnya. Ia berharap senter itu menyala meski entah berapa jam tadi terendam air. Ia mengetuk-ngetukkan ujung senter ke lantai beberapa kali.

“Ayolah menyalalah. Aku sedang membutuhkan bantuanmu,” gumam Kay.

“Lupakan dengan senter itu, sekarang yang terpenting adalah Rui.” Aesira menggosok-gosokkan tangannya lalu mentransferkan hawa hangat ke tangan dan juga pipi Rui. Gadis yang tak sadarkan itu, terdengar mengigil.

Kay menurunkan senternya. Namun, seketika senter tersebut menyala ketika ia geletakkan di lantai kayu.

“Syukurlah, menyala!” Girang Kay.

Aesira sedikit lega dengan datangnya cahaya ini. Sejak dari tadi, ia menahan diri dari ketakutannya pada kegelapan. Karena ia merasa, untuk saat ini ia tidak ada waktu memikirkan diri untuk takut melainkan, ia harus mengedepankan perasaan keberanian yang berapi-api. Kedua temannya, mengorbankan diri ke tempat asing ini tanpa rasa takut hanya untuk membantunya, maka dari itu ia harus gigih membawa mereka keluar secepat mungkin. Namun sebelum itu, ia akan mencari lebih dulu seluk beluk tempat yang hampir keseluruhan tumbuhannya berwarna hitam ini.

Cahaya senter Kay mengarah ke sekeliling. Tidak ada barang apapun di tempat itu. Ia mendengkus perlahan lalu, mematikan senter tersebut kembali.

“Aku setuju dengan ucapan, Rui. Agaknya, kita akan mati di sini,” tukas Kay lesu.

Mendengar itu, Aesira menghentikan tangannya yang tengah menggosok telapak tangan Rui agar menghangat. Ia meluruskan kakinya dan bersandar. Wajahnya menunduk dengan perasaan bersalah berkumpul di dadanya.

“Maaf, karenaku, kalian harus berada di tempat seperti ini.”

Hening. Kay tidak membalas ucapan gadis di seberang.

Aesira mengangkat wajahnya dan sukses membuat jatuh air matanya. “Akulah yang pantas mati. Karena sejak awal, sejak ibuku pergi, hidupku sudah mati.”

Terdengar, Kay tertawa singkat. “Hei, kau menganggap ucapan kami ini serius? Ini hanyalah candaan seseorang yang berputus asa, Ae. Kau tidak perlu meminta maaf. Lagi pula, yang kutahu berada di tempat asing tidak terlalu buruk. Kita bisa mencoba hal baru dan menaklukkan rintangan yang datang.”

Aesira menunduk lagi, ia tersenyum sekilas. Dielapnya genangan air di permukaan mata.

“Ya, kau benar. Dan, untuk bisa menaklukkan rintangan, kita harus bisa menjadi kuat.”

“Mungkin, kau yang harus jadi kuat, Ae. Berubahlah menjadi kuat,” kata Kay bijak. Ia hendak menekan santernya agar menyala kembali karena mendengar pergerakan dari luar. Namun, soalnya, senter itu kembali mogok hidup.

“Ada apa, Kay?”

“Ada segerombolan orang mengarah ke tempat ini lagi, Ae.”

Kay berjaga-jaga dengan memasang sikap kuda-kuda. Sementara Aesira, ia memeluk erat Rui yang masih tidak sadarkan diri di sudut dinding guna melindungi gadis itu.

“Sial! Kenapa kau sangat tidak berguna! Ayolah! Kami membutuhkan cahayamu!” umpat Kay dengan tetap memukul-mukulkan ujung senter ke telapak tangan.

Derap kaki itu terdengar semakin nyaring, menandakan posisi mereka yang semakin dekat dengan tempat penyekapan.

Di akhir perjuangan, Kay melempar asal senter yang ia ia tak tidak berguna itu ke sembarang tempat. Dan itu, malah membuat senter tersebut kembali menyala.

“Menyebalkan!” Kaki kanan Kay terangkat, namun dengan cepat ia mundur kembali memasang badan di depan dua temannya ketika dua daun pintu terbuka tiba-tiba dan menghadirkan orang-orang dengan jubah, tudung hitam, dan penutup wajah.

Kay menguatkan posisi kuda-kudanya dan siap menyerang. Namun, tiga orang di barisan belakang tetiba saja meringkus tubuh Kay dengan sangat mudah.

“Hei! Jangan kalian sakit teman-temanku!” teriak Kay.

“Apa yang kalian lakukan?! Pergi! Sakit saja aku!” Karena kesal, satu orang yang menahannya memberikan satu pukulan dan berhasil membuatnya pingsan.

Orang-orang berhidung hitam terus menambah langkah ke tempat Aesira mendekap Rui erat. Aesira memalingkan wajah sembari menutup mata. Dalam hati, ia sudah pasrah jikalau hal buruk terjadi.

“Ya Tuhan, apa aku akan mati? Inikah akhir hidupku? Beginikah?”

Tiba-tiba saja, Aesira ditarik dan membuat pelukannya terpisah dari Rui.

“Lepaskan aku! Lepaskan! Jangan pisahkan aku dengan Rui! Dia sedang sakit! Lepaskan!” teriak Aesira sembari terus memberontak tadi tangan-tangan berotot yang menahannya.

Napas Aesira memburu ketika samar-samar ia tahu jika ada sesorang di depannya persis semangka dari wajahnya. Orang itu, mengeluarkan sesuatu dari mantelnya. Sebuah bola putih dengan cahaya yang seketika dapat menyinari seluruh ruangan. Namun ajaibnya, Aesira sama sekali tidak merasa silau dengan cahaya tersebut.

“Selamat datang dan selamat berjuang, Aesira,” tukas orang di depan Aesira yang dari nada bicaranya bisa dipastikan seorang wanita. Keempat orang yang memakai tudung hitam tersebut bersamaan berdiri tegap dan membuat barisan yang sempurna. Aesira sendiri masih membeku karena identitas namanya diketahui orang asing di tempat se-asing ini.

Ketika keempat orang itu melepaskan mantel dan juga menurunkan penutup wajah, Aesira dibuat melongo dan tidak bisa berkata-kata seketika.

“Ka-kalian?”

...----------------...

......Hayo .... nih kata terakhir kira-kira 'kalian' siapa yang dimaksud Aesira? Mau lanjut apa enggak, nih?🤔😆......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!