Part 2

... Mendengar itu, Jazira memundurkan badannya.

“Apa yang kau maksud dengan takdir?”

Tawa yang sama kembali mengisi altar dengan pecahan kaca berserakan dimana-mana tersebut dan Jazira sangat membenci itu.

“Mari kujelaskan dengan sedikit bercerita.”

Udaya banjir darah, rakyat dibantai habis. Pemimpin istana kerajaan itu mati mengenaskan menjadi abu saat jantung kekuatannya dihunuskan pedang yang terlapisi kekuatan suci dari air mata putri Arsh.

Pembalasan dendam Raja Emir terpuaskan kala melihat tiada satupun manusia dari Udaya menghembuskan napas. Namun siapa sangka, tanpa sepengetahuannya, ia membiarkan satu keturunan pemimpin Udaya melarikan diri. Seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang harus meninggalkan tempat tinggal yang amat dicintainya. Anak itu, berhasil kabur berkat bantuan seorang pengasuh yang memasukkannya ke sebuah cermin lalu, melarungnya ke air terjun.

“Bukankah kau putri yang sangat cerdas, tentu kau bisa tahu kelanjutan ceritaku.”

Jazira terdiam sembari mengepalkan tangannya kuat.

“Jadi, selama ini kau mengawasiku?! Kenapa kau tidak keluar dan malah bersembunyi sebagai pengecut, he?!" geram sang putri.

“Seharusnya sejak awal aku menghancurkan tempat persembunyianmu! Enyahlah dariku dan kembalikan aku ke istana!” teriak Jazira yang mulai murka.

“Tenanglah, Putri. Aku belum menghabiskan ceritaku.”

Pengasuh putra dari Raja Karhu—penguasa Udaya, menyamarkan wajahnya dan pergi melintasi perbatasan Udaya dan Negeri Uttara, tempat manusia memiliki keahlian mengendalikan api setelah berhasil mendapatkan cermin berisi sang pangeran. Diam-diam pengasuh itu memasuki Arsh sebagai mata-mata. Ia menelisik semua informasi untuk bisa mendapatkan mantra guna membebaskan semua prajurit dari portal hitam Ratu Mina. Pengasuh itu melakukan hal yang dapat membahayakan nyawanya hanya untuk menyelamatkan putra dan suaminya yang ikut terjebak di dalam portal tersebut. Bertahun-tahun ia bertahan di istana dan menjadi pengasuh putri pertama Arsh yang cacat.

Mata Jazira membulat saat laki-laki itu menjelaskan kalimat terakhir.

“Zaramama …” ucap Jazira sangat lirih tapi, berhasil terdengar oleh laki-laki itu.

“Ya! Kau tidak salah menyebutkan orang, Putri. Orang kepercayaanmu itu tidak lain adalah pengkhianat. Kau harus menerima itu.”

Zaramama tak putus asa mencari berbagai informasi. Sampai suatu hari, diam-diam ia menyelinap ke perpustakaan yang digadang-gadang milik Ratu Mina dahulu. Sempat tak menemukan petunjuk apapun di ruangan itu namun, keajaiban datang saat Zaramama bersandar dinding untuk beristirahat. Dinding itu membawa Zaramama ke ruangan lain. Ruangan itu tertutup kabut hitam pekat yang menyesakkan. Sementara di langit-langit, sebuah buku melayang-layang dan memancarkan kilatan yang membuat Zaramama terlempar keluar dari ruangan tersebut. Karena penasaran, Zaramama mengulik jauh perihal buku di ruangan rahasia itu melalui catatan Ratu Mina. Tertulis, bahwa buku berisi mantra pembuka portal itu hanya bisa diambil dan dibaca oleh keturuan asli Ratu Mina.

Entah kenapa, setiap kali Zaramama mengarahkan putri sulung Arsh itu ke perpustakaan pribadi mendiang Ratu Mina, ia selalu gagal. Selama bertahun-tahun, hingga jatuh pada gerhana matahari. Putri yang menginjakkan usianya ke 21 tahun, mengambil sendiri buku mantra pembuka portal tersebut dan membacanya tanpa campur tangan Zaramama. Dan akibat mantra itu, prajurit perkasa dan naga hitam kebanggan Udaya dapat dibebaskan.

“Kau pangeran Kerajaan Udaya bukan? Tidak lebih baik kau menghabisiku saja karena dulu ayahku sudah menghabisi ayahmu, he?!” geram Jazira menantang.

“Akan sangat mudah melakukan itu hanya dengan sekali mengayunkan tongkat. Tapi …” Laki-laki itu mengelus ujung tongkatnya yang tertancap kistal hitam. “Sesuai ramalan yang sudah tertakdirkan, kaulah yang harus memimpin Udaya, Putri.”

“Aku tidak mau! Lebih baik aku mati dari pada menjadi pemimpin kalian!” ancam Jazira penuh penekanan.

“Itu terserah kau saja, lagi pula, semenjak kau lumpuh, apa ada yang menganggapmu hidup dan memedulikanmu? Bahkan, ayahmu sendiri selalu mengunggulkan adikmu yang cantik jelita itu dibanding dirimu. Tidak usah menutupi kenyataan bahwa kau membenci semua orang di istana itu, Putri,” ujar laki-laki berjubah hitam itu mencuci otak Jazira.

Jazira mengalihkan pandangannya dari wajah laki-laki itu. Ia menahan deru yang menjejal di dadanya.

“Dia benar, bertahun-tahun, aku hanya dianggap sampah! Ayah … satu-satunya orang yang kuharapkan belai kasih sayangnya, malah memberikan seluruh cintanya pada selir dan adik tiriku. Sebanyak apa aku berusaha, Ayah tak sudi menatap kerja kerasku. Bahkan, dihadapan semua orang, ia mengatakan bahwa Arlinda satu-satunya putrinya!”

“Tidak ada manusia yang bersih dari noda, Putri. Seberapa besar kau ingin menjadi baik tapi, di mata orang yang tidak tepat, kebaikanmu berubah menjadi tidak berarti. Jujur saja, kau iri dengan adikmu ‘kan?”

Jazira memberikan tatapan setajam elang pada laki-laki itu.

“Apa maumu?” tukas Jazira singkat.

Laki-laki itu mendekatkan bibirnya di samping telinga Jazira. “Mauku? Kau membalaskan dendam pada orang-orang yang menyakitimu.”

Kepala pangeran Udaya itu menyingkir dari sisi Jazira. Kemudian, tatapan mereka beradu.

“Dengan aku menjadi pemimpin baru Udaya?” tebak Jazira.

“Ya! Bukankah sejak awal itu yang kumau?”

“Tunggu!” Raut wajah Jazira berubah penuh selidik.

“Apa kau semudah itu memberikan pangku kekuasaan Udaya padaku padahal kau sendiri pangeran dari negeri yang mengerikan ini? Kau ada maksud lain apa, he? Rencana apa yang kau susun dibelakangku?!”

Ternyata, tak semudah itu mengelabuhi gadis seperti Jazira. Laki-laki itu duduk di kursi bayangan dan menggelengkan kepala pelan.

“Hei! Apa kau tidak waras karena terlalu lama terkurung di cermin itu?!”

“Rencanaku adalah menjadikanmu penguasa negeri ini. Kau tidak tahu? Di dalam dirimu itu tersimpan kekuatan yang besar berasal dari ibumu, dengan kau memimpin Udaya, kau bisa menghancurkan Arsh untuk membalaskan sakit hatimu. Itu suatu hal yang impas bukan?”

“Kekuatan? Kau tahu dari mana? Bahkan aku sendiri pun tidak tahu tentang hal itu!”

“Ramalan! Ramalan yang ditulis ayahku.” Pangeran Udaya itu mengerakkan tongkatnya, lalu hadirlah sebuah deretan tulisan di udara yang merupakan ramalan yang dimaksudkan. Satu detik kemudian, deretan tulisan itu menghilang.

“Apa yang akan kau dapatkan setelah menyerahkan hakmu padaku?”

Pangeran Udaya itu terdiam.

“Apa kau menerima tawaranku?” tanya Pangeran Udaya kemudian tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan Jazira.

Jazira terdiam beberapa saat dan mengatakan keputusannya.

“Ya!” ucap Jazira lantang. “Demi sakit hatiku, aku menerima tawaranmu.”

Pangeran Udaya itu tersenyum puas.

“Namun, ada satu syarat sebagai imbalan atas pemberian tahtaku padamu. Tentu, di dunia ini tidak ada yang namanya cuma-cuma, Tuan Putri.”

“Aku harus menikahimu?” tebak sang putri cepat. Dan itu membuat Pangeran Udaya terkejut.

“Aku mengetahuinya saat membaca isi ramalan ayahmu.”

Gadis di hadapannya ini ternyata tidak boleh diremehkan. Padahal hanya hitungan detik tapi, gadis itu mampu menghafal satu lembar ramalan ayahnya.

“Dalam ramalan itu, aku akan menikah denganmu. Tapi, aku akan merubahnya dengan tidak akan menikahimu. Ramalan ayahmu kali ini salah wahai Pengeran Udaya. Jangan berharap lebih kalau aku mau denganmu.”

“Ramalan ayahku tidak pernah meleset pada waktunya,” timpal Pangeran Udaya. Ia menjentikkan jari dan membuat seorang laki-laki tua dengan jenggot panjang tiba-tiba muncul dari angin.

Laki-laki tua itu membawa sebuah wadah hitam seukuran mangkuk ke arah keduanya. Wadah itu melayang diantara Jazira dan Pangeran Udaya. Dari balik lengannya, laki-laki tua itu mengambil sebilah pisau kecil lalu, menggoreskannya pada tangan Jazira dan Pangeran Udaya bergantian. Kemudian, setetes darah mereka terkumpul pada wadah tersebut. Jazira sempat bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, apalagi saat Pangeran Udaya itu mengulangi ucapan laki-laki tua di sampingnya dengan bahasa yang sama sekali tidak ia ketahui.

Mangkuk berisi darah mereka berdua mendadak menghilang entah kemana. Kemudian, laki-laki berjenggot panjang itu membalut tangan mereka berdua dengan satu helai kain merah yang terhubung. Lalu, laki-laki itu lenyap setelah undur diri.

Teringat dengan apa yang sudah dilalui. Jazira menatap Pangeran Udaya dengan banyak pertanyaan di matanya.

“Kau menikahiku dengan adat Udaya tanpa memberitahuku?!” teriak Jazira tidak terima.

“Kau tahu itu, kenapa sedari tadi kau diam saja tidak menolak sampai pernikahan kita selesai?”

“Aku sedang berpikir!” timpal Jazira setengah berteriak.

“Kau ini pintar, cukup mudah bagimu untuk memikirkan ini semua, bukan?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!