Part 7

Nyawa Aesira seakan terhempaskan ke jasadnya dengan keras. Gadis itu menarik napas kuat-kuat hingga di tengah jam pelajaran, suara napas gadis itu mengundang semua orang menatapnya.

“Kau sudah bangun, Aesira?” tanya Pak Abraham, sang guru fisika.

Aesira masih berusaha mengumpulkan setengah kesadarannya. Menyakinkan pikirannya bahwa sekarang ini ia tengah berada di kelas dan bukan mimpi belaka.

Tet! Tet!

“Kau bisa meminjam catatan Rui nanti, Ae.” Pak Abraham merapikan buku-bukunya. “Baiklah anak-anak kita sambung besok. Selamat siang.”

“Siang, Pak.”

Aesira melakukan peregangan. Punggung kaku dan tangannya kesemutan akibat tidur dengan posisi sama dalam waktu yang lama. Belum sempat semua siswa di kelas itu hengkang dari kursi masing-masing, notifikasi pesan datang secara bersamaan dari ponsel mereka.

Pun dengan Aesira, ia mengecek ponselnya yang terselip di saku jas.

“Siapa kalian? Kenapa kalian berwajah sama denganku? Jangan diam saja! Kalian hendak membunuhku?”

Aesira mendengkus sebal, ia menoleh ke belakang dan di sana, Keily dan teman-temannya tertawa sambil melambaikan tangan kepadanya.

“Sudahkah, Ae. Lebih baik kita pulang. Tidak sehat berada di sini sementara masih ada mereka.”

“Tapi, Rui. Aku sangat malu mengigau semacam ini. Mau ditaruh dimana mukaku saat keluar kelas nanti. Keily bahkan sudah menyebarkan videoku ke grup sekolah.” Aesira memundurkan tubuh dari rangkulan Rui. Namun, dari belakang, Kay menutup kepala Aesira dengan jaket miliknya. Kau melingkarkan tangannya ke pundak Aesira dan membawanya pergi. Sontak hal tersebut membuat Keily menggeram marah karena cemburu, sementara Rui dan anak-anak lain mematung saat Aesira dan Kay tiba-tiba saja menjadi dekat hanya karena datang terlambat secara bersamaan tadi pagi.

Aesira mengintip dari balik jas Kay. Laki-laki itu berjalan dengan cepat, ia harus ekstra menyesuaikan langkahnya.

Semua mata memandang Kay yang melintasi halaman dengan merangkul seorang gadis. Tentu para penggemar beratnya tersiksa dengan pemandangan ini. Mereka menjerit histeris karena cemburu, ada juga yang meneka-neka siapakah gadis yang dengan lancangnya mendekati pangeran sekolah ini.

Rui berlari, menyusul keduanya sambil membawa tas Aesira yang belum sempat naik ke punggung. Setibanya di halte bus, ia mendapati Aesira dan Kay berdiri di sana. Ia mendekat lalu, memberikan tas hitam yang ditentengnya sedari tadi ke pemiliknya.

“O iya, kau tidak dijemput supir pribadimu, Kay?” tanya Aesira. Rui yang kali ini melihat sendiri keberanian sahabatnya berbicara dengan laki-laki idamannya dibuat agak terkejut ia menyenggol lengan Aesira pelan.

“Sejak kapan kau mampu ngobrol dengan Kay? Bahkan menanyakan hal privatnya?” bisik Rui.

Aesira menaruh jari telunjuknya ke bibir sambil memasang wajah mengingat.

“Entahlah, semuanya berlangsung cepat begitu saja. Ya, awalnya sedikit canggung, tapi ternyata, mengobrol dengan Kay tidak sedingin yang ia sering tampilnya di kelas.”

Rui melirik laki-laki di sebelah Aesira dan tengah mengenakan earphone.

“Oi!” panggil Rui dari samping Aesira.

Kau yang merasa terpanggil, melepaskan satu earphonenya. “Kau memanggilku?”

“Ya, siapa lagi kalau bukan kau kulkas seribu pintu.”

“Wow, ternyata kau ini tidak sepolos itu saat di luar kelas,” ucap Kay.

“Di kelas ada orang yang lebih berkuasa dariku. Tapi, di luar kelas, aku yang berkuasa atas hidupku,” ujar Rui membuat Aesira terkesan.

“Ya ya ya,” jawab Kay sambil menenggelamkan diri dalam lagu yang mengalun dari earphonenya.

Tak lama, bis datang. Ketiganya naik ke bis. Saat hendak turun di halte dekat rumahnya, Aesira ditahan oleh Rui.

“Kau tidak pulang, Rui?” tanya Aesira disaat bis berjalan perlahan.

Rui menggeleng. “Aku sampai lupa kalau kita bertiga harus ke museum karena ada tugas sejarah tadi.”

“Kita bertiga? Bersama Kay?” tanya Aesira memastikan. Rui mengangguk dan membuat Aesira menelan ludah.

“Kenapa kau tak bilang sedari tadi? Seharusnya aku tidak perlu terlalu yakin kalau Kay hendak pulang bersamaku.”

Rui tertawa sesaat. “Aku sudah bilang kan kalau aku lupa.”

Kay terlihat tak terbiasa menggunakan kendaraan umum sebagai transportasinya. Laki-laki itu tampak berulang kali mengibaskan tangannya sebagai penyejuk. Aesira yang mendapat kesempatan duduk di sebelah Kay, diam-diam mengarahkan kipas mini portabelnya untuk mereka berdua. Bahkan, dalam perjalanan menuju museum, Kay sampai tertidur.

Wajah Aesira tak lepas dari Kay yang teduh dalam tidurnya. Gadis itu berulang kali tersenyum seorang diri entah karena apa.

“Apa aku bilang, takdir membawa kalian dekat kan?” ucap Rui di sebelah Aesira.

“Ya! Kau ini memang peramal handal, Rui. Kau bisa meramal apa lagi soal hidupku?” ujar Aesira setengah bercanda.

Namun tiba-tiba, Rui menarik tangan kanannya dengan mimik aneh. Rui memutarkan jari telunjuknya di atas telapak tangannya sembari menutup mata. Aesira mengira hal itu juga balasan atas candaannya juga tapi,

“Takdirmu dimulai dari hari ini. Selesaikan tugasmu dan kembalilah ke kehidupan sebelummu.”

Nada bicara Rui yang mendadak membesar itu sontak membuat Aesira menarik tangannya. Bersamaan itu pula, Rui tersadar dan membuka matanya.

“Rui? Apa kau benar-benar bisa meramal seseorang?” tanya Aesira cemas.

“Tunggu-tunggu. Apa yang baru saja terjadi?”

“Kau sungguh tidak ingat, Rui?” Kecemasan Aesira meningkat saat Rui mengatakan hal tersebut.

“Kau baru saja meramal dengan mengitari telapak tanganku dengan jari telunjuknya, dan kau mengatakan,”takdirmu dimulai dari hari ini. Selesaikan tugasmu dan kembalilah ke kehidupan sebelummu”,” ungkap Aesira.

“Benarkah? Seingatku terakhir kali kita duduk di halte bukan?”

Punggung Aesira menjauh dari Rui. Kejanggalan ini membuatnya dilanda ketakutan yang menyergap benaknya.

“Eh, apa kita sudah sampai di museum?” tanya Kay yang terbangun dari tidurnya.

Dengan masih menyimpan banyak pertanyaan kepada Rui. Mereka bertiga turun dari bis dan masuk ke museum usai mengambil tiket.

“Kay, kau bertugas mengambil dokumentasi. Sementara aku dan Ae akan mencatat,” ujar Rui mengarahkan dan hanya diberi jempol oleh Kay. Laki-laki dengan tangan sebelah terbenam di saku celananya itu masuk terlebih dahulu.

“Rui.” Panggilan Aesira menghentikan langkah gadis berbando itu.

“Kau betul-betul tidak ingat apapun saat di bis tadi?” tanya Aesira memastikan.

“Aku juga tidak tahu kenapa aku tidak mengingat saat kita masuk ke bis dan apa saja yang terjadi selama di bis. Seperti orang yang terkena hipnotis dan tersadar, tahu-tahu kita sudah sampai di depan museum.” Rui meletakkan tangannya di pundak Aesira untuk menenangkan sahabatnya itu.

“Sudahlah, Ae. Mungkin aku memang terhipnotis tadi atau entah bagaimana aku tidak ingat semua itu. Tak usah kau pikirkan. Ayo masuk.”

Aesira tetap bertahan dengan pertanyaan yang belum terpuaskan dengan jawaban.

“Ya ampun, jangan-jangan ada barang ku yang hilang,” tukas Rui samar-samar sambil berjalan masuk ke pintu museum.

“Ya Tuhan, apakah ini awal dari perjalanan penghapusan kutukan itu akan hilang?” batin Aesira.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!