Part 8

Aesira terus memikirkan kejadian di museum tadi di tengah perjalanan ketiganya menuju perpustakaan untuk menambah referensi tugas karya ilmiah mereka.

“Rui, apa kau tidak terganggu dengan keanehan hari ini yang terjadi padaku?” tanya Aesira lirih, tak ingin Kay yang berada di depan mendengar.

Rui berbalik setalah mengambil satu buku bersampul cokelat dari rak.

“Sedikit. Tapi, aku berusaha tidak terlalu memikirkannya,” jawab Rui santai.

“Agaknya, kau memikirkan hal itu begitu serius, Ae? Sudahlah, di dunia ini hanya ada kebetulan dan kebetulan. Jadi, kau tidak perlu risau Ae.”

“Tapi, Rui. Diramal olehmu yang mendadak saja tak mengingat apapun dan kemudian menemukan dua gambar wanita yang berasal dari tahun yang berbeda dengan wajah mirip sekali denganku itu bukan hal yang sederhana. Bagaimana itu hanya sebuah kebetulan, Rui?”

Nada Aesira yang sedikit naik itu menarik atensi Kay yang tengah membaca buku sambil berdiri di tengah-tengah lorong yang diapit dua rak buku. Namun, ia tidak tertarik ikut mengobrol bersama gadis-gadis. Lalu, ia memilih pergi untuk duduk di kursi pengunjung di depan sana.

Rui meletakkan buku di tangannya kembali ke rak. Ia menganggam tangan Aesira karena tampaknya gadis itu benar-benar terganggu oleh pikirannya sendiri. “Sudah kubilang, Ae. Itu hanyalah kebetulan. Atau … bisa jadi kau …” Mendadak saja, ucapan Rui terhenti, gadis itu menunduk.

Aesira bisa merasakan kalau kedua lengannya digenggam sangat erat oleh Rui. Ia mencoba melepaskannya namun, wajah Rui yang perlahan naik dengan sorot mata berwarna merah memandangnya, Aesira memberontak karena rasa sakit tak tertahankan. Ia hampir berteriak. Namun, perkataan Rui membuatnya tertahan.

“Penuhi takdirmu penguasa! Penuhi takdirmu!” ucap Rui dengan suara berat.

Lalu, setelah mengatakan itu. Kepala Rui mengarah ke atas dengan napas tertarik. Gadis itu seakan baru dikembalikan nyawanya ke tubuhnya. Ia mundur satu langkah kebelakang sembari melepas tangan Aesira.

Sementara itu, Aesira masih mematung dengan tangan tak berkutik. Mimik wajahnya diselimuti ketakutan dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

“Ae?”

Rui mendekat tapi, temannya itu meringkuk ketakutan sambil mengelus pergelangan tangannya yang sudah memerah.

“Kau kenapa, Ae?”

Kemudian, Aesira menghempaskan ketakutannya, ia yakin jikalau Rui telah kembali pada dirinya sendiri. Aesira melangkah dan memeluk sahabatnya dengan erat. Tentu hal itu membuat Rui yang kehilangan sebagian ingatannya bingung.

“Kau tampak ketakutan, menangis, dan memelukku dengan tiba-tiba. Apa yang sebenarnya terjadi Ae? Apa ada seseorang yang menyakitimu?”

Aesira tak membalas dan pergi begitu saja tanpa berpamitan. Melihat Aesira uang melangkah mengarah ke kamar mandi, Rui tak buru-buru mengikuti. Agaknya, gadis itu ingin menenangkan diri.

Rui duduk di depan Kay sambil meletakkan tumpukan buku yang didapat.

“Ae masih mencari buku lagi?” tanya Kay.

“Tidak, Ae sedang ke belakang.”

Aesira membuka pintu kamar mandi, saat ia masuk. Pintu mendadak tertutup sendiri. Keadaan ruangan itu gelap gulita, Aesira meraba dinding di samping, namun dinding itu seakan lenyap. Napasnya seakan menyempit, ruangan gelap ini menyiksanya. Ia berjalan dengan tangan terangkat untuk mencari sesuatu di sekelilingnya. Bak lenyap ditelan bumi, dinding atau apapun itu tak bisa ia sentuh.

“Tolong! Siapapun tolong!” teriak Aesira. Tidak ada yang menyahuti teriakannya.

“Rui!! Kay!!”

Hanya lelah yang Aesira dapat setelah hampir lima belas menit berteriak keras meminta pertolongan. Gadis itu pasrah, ia menahan rasa takutnya dan berlari sesuai kata hatinya. Entah sudah berapa jauh ia berlari ia tidak tahu menahu. Rasa lelah, takut, dan bingung merajai dirinya. Ia mengatur napasnya yang menderu, ditegakkannya punggungnya, lantai kaki kamarnya melangkah ke depan.

Dug!

Aesira mengelus dahinya karena menabrak sesuatu di depan.

“Apa ini dinding?” Ia mencoba meneliti hal di depannya.

“Ternyata pintu!” lekas saja, Aesira menarik knop pintu itu lalu, mendorongnya.

Melangkah masuk, Aesira disambut cahaya yang menyilaukan. Ia melindungi matanya dengan telapak tangan. Lalu, ia berjalan terus ke depan dengan intensitas cahaya yang semakin meredup.

Aesira menurunkan tangannya dari depan wajah. Perlahan, ia bisa melihat sebuah buku bersampul putih dengan ukiran emas yang berkilau melayang-layang di atas sebuah batu bercahaya. Ia hendak mengambil buku itu namun perasaannya berubah ragu. Perlahan rona hitam di sekelilingnya pudar dan berputar dengan sangat cepat seakan-akan ia berdiri di tengah-tengah pusaran angin. Dan, hap!

Aesira tiba di perpustakaan lebih tepatnya duduk di depan Kay yang tengah mengetik dan Rui yang sedang menyalin ke buku.

Aesira terhenyak. Napasnya naik turun, bulir-bulir keringat memenuhi anak rambut di sekitar dahinya.

“Guys, kapan aku duduk di sini?” tanya Aesira.

“Maksudmu?” Rui tertawa renyah. “Kau sedari tadi duduk di sini sejak setengah jam yang lalu, Ae! Kau tidak ingat?”

Mengetahui hal itu, Aesira memukul pelan kepalanya dengan kedua telapak tangan. Kepalanya menunduk dengan mata terpejam. “Apa tadi itu hanya halusinasiku?” gumamnya.

“Memangnya ada apa, Ae?” tanya Kay.

“Apa tadi aku ke kamar mandi?” Balik Aesira bertanya.

“Iya, tapi itu setengah jam yang lalu. Kau berjalan kemarin dengan tingkah aneh, tidak berbicara apapun, seperti orang yang terkena hipnotis. Kami kira kau memang tidak mau diganggu karena kejadian di lorong rak buku tadi,” jelas Rui.

“Lalu?” tanya Aesira lebih lanjut.

“Lalu aku memberiku buku dan kau membacanya sekarang,” lanjut Rui.

“Tidak, tidak, tidak! Tadi itu …” ucapan Aesira terjeda, ia dilema akan memberitahukan apa yang dialami atau tidak ke kedua temannya itu.

“Tadi itu aku terjebak diruangan gelap saat mau ke kamar mandi!” ungkap Aesira yang beberapa detik kemudian membuat Kay dan Rui tertawa hebat karena menganggap apa yang dikatakan Aesira itu hanyalah omong kosong belaka.

“Kenapa kalian tertawa? Aku tidak bohong!”

“Kau membuat perutku sampai sakit, Ae! Bisa-bisanya aku melucu ditengah kita serius menggarap tugas. Ada-ada saja.”

Aesira mendengkus kesal. Ia melipat tangannya ke meja.

“Aku bukan tipe orang yang suka berbohong. Apa yang kukatakan tadi adalah kenyataan. Aku mengalami hal itu, teman-teman. Lagi pula, kenapa tadi aku bertingkah aneh mu-mungkin saja … itu karena itu.” Suara Aesira melemah namun, tawa kedua temannya melambung tinggi.

“Kau aneh, Ae!” sarkas Kay.

“Iya! Dasar gadis aneh,” tukas Rui diiringi tawa tanpa henti.

Mendengar hal yang menganggu itu, Aesira menutupkan kedua telinganya dengan telapak tangan.

“Berhenti! Jangan tertawa lagi! Plus! Jangan tertawa lagi!” Permintaan Aesira itu tidak digubris oleh kedua temannya, malahan di depan matanya datang ibu, Papa dan mamanya Rui, Keily beserta temannya, mendadak muncul dan tertawa menghukumnya.

“BERHENTI!!!” jerit Aesira.

Saat ia membuka mata, perlahan ia menyadari jikalau ia berada di kamar mandi depan cermin. Ia mundur selangkah akibat terkejut melihat bayangannya di pantulan cermin.

“Ya Tuhan, apa yang baru saja terjadi padaku? Kenapa seolah-olah pikiranku bermain sendiri?”

Aesira membasuh wajahnya. Ia membuka pintu dan berbelok. Dari tempatnya berdiri ia bisa melihat Kay dan Rui tengah menunggunya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!