Sebuah kerajaan adidaya bernama Arsh yang menguasai negara bagian barat hingga timur sedang bersuka ria menyambut penobatan sang putri sebagai ratu di kerajaan tersebut. Putri Arlinda, yang memiliki wajah menawan yang tersohor, sebentar lagi akan naik tahta menggantikan sang ayah yang sudah lebih dari lima puluh tahun berkuasa.
Mengenakan gaun putih dengan gradasi biru, tatanan rambut yang disanggul sebagian dan sebagain lain terjuntai ke belakang punggungnya, Putri Arlinda berjalan pelan di atas karpet biru yang mengarah ke singgasana raja. Membawa tongkat berujung kristal biru safir, dengan khusyuk Putri Arlinda menunduk pada sang raja untuk penyematan mahkota. Sumpah janji Putri Arlinda untuk menjaga Arsh menggema di seluruh penjuru altar singgasana. Puja-puji dari pemimpin anyar Arsh terdengar nyaring dari jutaan rakyat yang berkumpul di luar istana. Suara itu mengetarkan dinding-dinding, membuat semua orang berdecak kagum. Ini menandakan, betapa rakyat begitu antusias atas penobatan ini, betapa besar cinta rakyat terhadap Arsh dan pemimpinnya.
Dari sudut puncak istana, seorang gadis berambut pirang menitikan air mata. Ia sendirian, merasakan pedih yang tak berkesudahan. Bagaimana tidak, hanya karena terlahir tak bisa berjalan dan mengakibatkannya harus duduk di kursi roda, ia gagal diangkat menjadi ratu penguasa di Negeri Arsh. Ialah, Jazira. Putri sulung dari Raja Emir dan Ratu Mina yang tewas saat perang perdana antara Arsh dan negeri para penyihir hitam—Udaya. Ratu yang berasal dari klan penyihir suci dan merupakan keturunan terakhir yang berhasil selamat, menggunakan seluruh kekuatannya untuk melindungi Arsh dari serangan Udaya. Padahal, waktu itu, Ratu Mina baru saja melahirkan Jazira, pun kekuatannya belum pulih sepenuhnya. Alhasil, Ratu Mina harus wafat setelah mengerahkan upaya mengunci semua bala tentara Udaya di sebuah portal rahasia. Hal itu, menjadikan perang dimenangkan oleh Arsh. Kini, Negeri Udaya hanya tinggal nama usai Raja Emir melakukan pengakhlukkan besar-besaran dan mengutuk segala bentuk ilmu hitam. Dan untuk mengenang jasa Ratu Mina, rakyat membangun patung setinggi 50 kaki yang diletakkan di pusat kota Arsh. Pada objek patung sang ibunda itulah, Jazira menetapkan pandangannya. Kala ia bersedih, balkon kamar inilah yang selalu mengantarkannya berjumpa dengan sosok sang ibunda.
“Apa yang sudah kudapat setelah berjuang, Ibu? Aku hanya dapat lelah. Ayah lebih memilih anak selir itu sebagai ratu dibanding aku, Ibu,” ucap Jazira sambil terisak.
“Ayah seharusnya memperjuangkan putri dari ratu yang sudah mengorbankan nyawanya demi melindungi Arsh. Bukan dari ratu pengganti.”
Suara tangis Jazira tersamarkan dengan keriuhan yang mengudara dari bawah saat Ratu Arlinda diarak mengelilingi kota dengan kereta emas. Rakyat yang berdiri di bahu jalan menerbangan kelopak bunga ke arah sang ratu selama ia berjalan bersama kereta emasnya yang ditarik kuda putih.
Melihat itu membuat hati Jazira dirunduh perih menyaksikan kenyataan pahit yang diterimanya. Kebenciannya bertambah tinggi bercampur kemarahan yang mendidihkan kepalanya.
Tak mau lebih dalam menghancurkan diri, Jazira berbalik dan meninggalkan balkon. Saat hendak menuju depan cermin yang ia dapat saat membaca buku di perpustakaan istana, tiba-tiba saja, loker di bawah cermin terbuka dan menampakkan buku bersampul hitam yang dipenuhi oleh cahaya ungu. Tentu saja hal itu membuat Jazira terkejut karena loker itu mendadak terbuka sendiri. Dengan berani, Jazira mengambil buku tersebut.
“Bukankah ini buku yang berada di ruang rahasia yang kutemukan kemarin? Kenapa buku ini bisa berada di sini?”
Dengan sangat mudah, Jazira memutuskan rantai yang mengitari buku hitam itu. Jelas saja hal itu membuatnya keheranan. Karena ragu, Jazira meletakkan buku tersebut dengan keras di atas meja. Namun, mendadak saja, buku itu membuka dengan sendirinya dan menampilkan deretan kata bercahaya ungu. Dengan lirih, Jazira merapalkan tiga kata yang tertera. Sedetik, angin menyembur kuat dari luar istana, mengakibatkan daun-daun berterbangan juga kelopak-kelopak bunga sampai melayang jauh ke langit-langit kamarnya. Dengan tangannya, Jazira mencoba mendorong kursi rodanya menembus angin yang berhembus kencang untuk menutup pintu balkon. Namun, belum sempat ia menutup, dari kejauhan ia melihat awan yang terbelah lalu, satu-persatu mengeluarkan banyak sekali naga yang menyemburkan api ke segala arah. Bersamaan itu, langit berganti menjadi abu-abu di susul gerimis serta rentetan petir yang menyambar keras.
Semua rakyat berhamburan menyelamatkan diri. Prajurit yang sempat lengah berdiri sigap menghadapi musuh yang datang dengan tiba-tiba. Sedangkan di atas sana, kedua mata Jazira mencari-cari keberadaan Ratu Arlinda. Bersyukur, ia mendapati ratu baru itu sudah diamankan dengan baik oleh panglima istana.
Jazira cepat-cepat memundurkan kursi rodanya dan menutup pintu raksasa balkon kamarnya sekuat tenaga. Tapi, baru satu daun pintu setengah tertutup. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam dengan hiasan kepala berduri hinggap ke hadapannya. Tubuh Jazira seluruhnya seakan membatu, ia mencoba mengulirkan rodanya untuk pergi, namun nahas, laki-laki itu mengayunkan tongkat dan membuat kursi rodanya tertahan.
Kedua lutut penyihir laki-laki itu ambruk di hadapan Jazira sembari menempelkan tangannya ke dada, membuat gadis itu seketika bingung.
“Terima kasih, berkatmu, ratusan prajurit Udaya sudah dibebaskan.” Laki-laki itu menundukkan kepalanya.
“Ramalan itu ternyata benar, putri dari Mina sendiri lah yang akan membebaskan kami. Sesuai janji—” ucapan laki-laki itu terhenti. Ia menampakkan wajahnya dengan mata merah berapi-api, membuat Jazira begidik ngeri.
“Kau harus menjadi pemimpin baru Udaya.”
Jazira memundurkan bahunya. Mimik wajahnya dipenuhi raut tanda tanya.
“Ja-jadi, kalian adalah prajurit Udaya yang dikurung ibuku puluhan tahun?” tanya Jazira terbata-bata.
“Benar,” jawab laki-laki itu sambil menunduk kembali.
“Ti-tidak! Tidak! Aku tidak akan pernah menjadi pemimpin kalian! Yang kutahu kalian terkenal licik dan kejam!” hardik Jazira, ia melanjutkan,”Lagi pula, bagaimana mungkin putri dari musuh, kalian jadikan pemimpin! Dasar bodoh!”
Dari wajahnya yang menunduk, laki-laki penyihir itu tersenyum miring. Ia mengetukkan tongkatnya satu kali ke lantai, seketika kamar tersebut sudah berpindah tempat ke altar kerajaan Udaya yang sudah porak poranda akibat perang dua puluh tahun yang lalu.
Jazira terkejut bukan main. Sementara laki-laki itu menegakkan tubuhnya dan mendekat ke arah Jazira.
“Bukankah ini yang kau mau Putri Jazira? Menjadi pemimpin di sebuah kerajaan? Kau pasti sangat tersiksa saat melihat adik tirim dinobatkan menjadi ratu, bukan?”
Bola mata Jazira mengikuti langkah laki-laki yang terlihat seusianya itu.
“Siapa kau?!”
Laki-laki itu tertawa bengis.
“Siapa kau?!” tanya Jazira mengulangi dengan volume suara lebih tinggi.
Lagi-lagi, hanya tawa yang menjadi jawaban pertanyaan Jazira.
Laki-laki berjubah hitam tersebut membungkuk dengan wajah hanya berjarak sejengkal dari wajah Jazira. “Kau ingin tahu siapa aku?”
“Aku adalah takdirmu,” tukas laki-laki tersebut dengan serius.
... Mendengar itu, Jazira memundurkan badannya.
“Apa yang kau maksud dengan takdir?”
Tawa yang sama kembali mengisi altar dengan pecahan kaca berserakan dimana-mana tersebut dan Jazira sangat membenci itu.
“Mari kujelaskan dengan sedikit bercerita.”
Udaya banjir darah, rakyat dibantai habis. Pemimpin istana kerajaan itu mati mengenaskan menjadi abu saat jantung kekuatannya dihunuskan pedang yang terlapisi kekuatan suci dari air mata putri Arsh.
Pembalasan dendam Raja Emir terpuaskan kala melihat tiada satupun manusia dari Udaya menghembuskan napas. Namun siapa sangka, tanpa sepengetahuannya, ia membiarkan satu keturunan pemimpin Udaya melarikan diri. Seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang harus meninggalkan tempat tinggal yang amat dicintainya. Anak itu, berhasil kabur berkat bantuan seorang pengasuh yang memasukkannya ke sebuah cermin lalu, melarungnya ke air terjun.
“Bukankah kau putri yang sangat cerdas, tentu kau bisa tahu kelanjutan ceritaku.”
Jazira terdiam sembari mengepalkan tangannya kuat.
“Jadi, selama ini kau mengawasiku?! Kenapa kau tidak keluar dan malah bersembunyi sebagai pengecut, he?!" geram sang putri.
“Seharusnya sejak awal aku menghancurkan tempat persembunyianmu! Enyahlah dariku dan kembalikan aku ke istana!” teriak Jazira yang mulai murka.
“Tenanglah, Putri. Aku belum menghabiskan ceritaku.”
Pengasuh putra dari Raja Karhu—penguasa Udaya, menyamarkan wajahnya dan pergi melintasi perbatasan Udaya dan Negeri Uttara, tempat manusia memiliki keahlian mengendalikan api setelah berhasil mendapatkan cermin berisi sang pangeran. Diam-diam pengasuh itu memasuki Arsh sebagai mata-mata. Ia menelisik semua informasi untuk bisa mendapatkan mantra guna membebaskan semua prajurit dari portal hitam Ratu Mina. Pengasuh itu melakukan hal yang dapat membahayakan nyawanya hanya untuk menyelamatkan putra dan suaminya yang ikut terjebak di dalam portal tersebut. Bertahun-tahun ia bertahan di istana dan menjadi pengasuh putri pertama Arsh yang cacat.
Mata Jazira membulat saat laki-laki itu menjelaskan kalimat terakhir.
“Zaramama …” ucap Jazira sangat lirih tapi, berhasil terdengar oleh laki-laki itu.
“Ya! Kau tidak salah menyebutkan orang, Putri. Orang kepercayaanmu itu tidak lain adalah pengkhianat. Kau harus menerima itu.”
Zaramama tak putus asa mencari berbagai informasi. Sampai suatu hari, diam-diam ia menyelinap ke perpustakaan yang digadang-gadang milik Ratu Mina dahulu. Sempat tak menemukan petunjuk apapun di ruangan itu namun, keajaiban datang saat Zaramama bersandar dinding untuk beristirahat. Dinding itu membawa Zaramama ke ruangan lain. Ruangan itu tertutup kabut hitam pekat yang menyesakkan. Sementara di langit-langit, sebuah buku melayang-layang dan memancarkan kilatan yang membuat Zaramama terlempar keluar dari ruangan tersebut. Karena penasaran, Zaramama mengulik jauh perihal buku di ruangan rahasia itu melalui catatan Ratu Mina. Tertulis, bahwa buku berisi mantra pembuka portal itu hanya bisa diambil dan dibaca oleh keturuan asli Ratu Mina.
Entah kenapa, setiap kali Zaramama mengarahkan putri sulung Arsh itu ke perpustakaan pribadi mendiang Ratu Mina, ia selalu gagal. Selama bertahun-tahun, hingga jatuh pada gerhana matahari. Putri yang menginjakkan usianya ke 21 tahun, mengambil sendiri buku mantra pembuka portal tersebut dan membacanya tanpa campur tangan Zaramama. Dan akibat mantra itu, prajurit perkasa dan naga hitam kebanggan Udaya dapat dibebaskan.
“Kau pangeran Kerajaan Udaya bukan? Tidak lebih baik kau menghabisiku saja karena dulu ayahku sudah menghabisi ayahmu, he?!” geram Jazira menantang.
“Akan sangat mudah melakukan itu hanya dengan sekali mengayunkan tongkat. Tapi …” Laki-laki itu mengelus ujung tongkatnya yang tertancap kistal hitam. “Sesuai ramalan yang sudah tertakdirkan, kaulah yang harus memimpin Udaya, Putri.”
“Aku tidak mau! Lebih baik aku mati dari pada menjadi pemimpin kalian!” ancam Jazira penuh penekanan.
“Itu terserah kau saja, lagi pula, semenjak kau lumpuh, apa ada yang menganggapmu hidup dan memedulikanmu? Bahkan, ayahmu sendiri selalu mengunggulkan adikmu yang cantik jelita itu dibanding dirimu. Tidak usah menutupi kenyataan bahwa kau membenci semua orang di istana itu, Putri,” ujar laki-laki berjubah hitam itu mencuci otak Jazira.
Jazira mengalihkan pandangannya dari wajah laki-laki itu. Ia menahan deru yang menjejal di dadanya.
“Dia benar, bertahun-tahun, aku hanya dianggap sampah! Ayah … satu-satunya orang yang kuharapkan belai kasih sayangnya, malah memberikan seluruh cintanya pada selir dan adik tiriku. Sebanyak apa aku berusaha, Ayah tak sudi menatap kerja kerasku. Bahkan, dihadapan semua orang, ia mengatakan bahwa Arlinda satu-satunya putrinya!”
“Tidak ada manusia yang bersih dari noda, Putri. Seberapa besar kau ingin menjadi baik tapi, di mata orang yang tidak tepat, kebaikanmu berubah menjadi tidak berarti. Jujur saja, kau iri dengan adikmu ‘kan?”
Jazira memberikan tatapan setajam elang pada laki-laki itu.
“Apa maumu?” tukas Jazira singkat.
Laki-laki itu mendekatkan bibirnya di samping telinga Jazira. “Mauku? Kau membalaskan dendam pada orang-orang yang menyakitimu.”
Kepala pangeran Udaya itu menyingkir dari sisi Jazira. Kemudian, tatapan mereka beradu.
“Dengan aku menjadi pemimpin baru Udaya?” tebak Jazira.
“Ya! Bukankah sejak awal itu yang kumau?”
“Tunggu!” Raut wajah Jazira berubah penuh selidik.
“Apa kau semudah itu memberikan pangku kekuasaan Udaya padaku padahal kau sendiri pangeran dari negeri yang mengerikan ini? Kau ada maksud lain apa, he? Rencana apa yang kau susun dibelakangku?!”
Ternyata, tak semudah itu mengelabuhi gadis seperti Jazira. Laki-laki itu duduk di kursi bayangan dan menggelengkan kepala pelan.
“Hei! Apa kau tidak waras karena terlalu lama terkurung di cermin itu?!”
“Rencanaku adalah menjadikanmu penguasa negeri ini. Kau tidak tahu? Di dalam dirimu itu tersimpan kekuatan yang besar berasal dari ibumu, dengan kau memimpin Udaya, kau bisa menghancurkan Arsh untuk membalaskan sakit hatimu. Itu suatu hal yang impas bukan?”
“Kekuatan? Kau tahu dari mana? Bahkan aku sendiri pun tidak tahu tentang hal itu!”
“Ramalan! Ramalan yang ditulis ayahku.” Pangeran Udaya itu mengerakkan tongkatnya, lalu hadirlah sebuah deretan tulisan di udara yang merupakan ramalan yang dimaksudkan. Satu detik kemudian, deretan tulisan itu menghilang.
“Apa yang akan kau dapatkan setelah menyerahkan hakmu padaku?”
Pangeran Udaya itu terdiam.
“Apa kau menerima tawaranku?” tanya Pangeran Udaya kemudian tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan Jazira.
Jazira terdiam beberapa saat dan mengatakan keputusannya.
“Ya!” ucap Jazira lantang. “Demi sakit hatiku, aku menerima tawaranmu.”
Pangeran Udaya itu tersenyum puas.
“Namun, ada satu syarat sebagai imbalan atas pemberian tahtaku padamu. Tentu, di dunia ini tidak ada yang namanya cuma-cuma, Tuan Putri.”
“Aku harus menikahimu?” tebak sang putri cepat. Dan itu membuat Pangeran Udaya terkejut.
“Aku mengetahuinya saat membaca isi ramalan ayahmu.”
Gadis di hadapannya ini ternyata tidak boleh diremehkan. Padahal hanya hitungan detik tapi, gadis itu mampu menghafal satu lembar ramalan ayahnya.
“Dalam ramalan itu, aku akan menikah denganmu. Tapi, aku akan merubahnya dengan tidak akan menikahimu. Ramalan ayahmu kali ini salah wahai Pengeran Udaya. Jangan berharap lebih kalau aku mau denganmu.”
“Ramalan ayahku tidak pernah meleset pada waktunya,” timpal Pangeran Udaya. Ia menjentikkan jari dan membuat seorang laki-laki tua dengan jenggot panjang tiba-tiba muncul dari angin.
Laki-laki tua itu membawa sebuah wadah hitam seukuran mangkuk ke arah keduanya. Wadah itu melayang diantara Jazira dan Pangeran Udaya. Dari balik lengannya, laki-laki tua itu mengambil sebilah pisau kecil lalu, menggoreskannya pada tangan Jazira dan Pangeran Udaya bergantian. Kemudian, setetes darah mereka terkumpul pada wadah tersebut. Jazira sempat bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, apalagi saat Pangeran Udaya itu mengulangi ucapan laki-laki tua di sampingnya dengan bahasa yang sama sekali tidak ia ketahui.
Mangkuk berisi darah mereka berdua mendadak menghilang entah kemana. Kemudian, laki-laki berjenggot panjang itu membalut tangan mereka berdua dengan satu helai kain merah yang terhubung. Lalu, laki-laki itu lenyap setelah undur diri.
Teringat dengan apa yang sudah dilalui. Jazira menatap Pangeran Udaya dengan banyak pertanyaan di matanya.
“Kau menikahiku dengan adat Udaya tanpa memberitahuku?!” teriak Jazira tidak terima.
“Kau tahu itu, kenapa sedari tadi kau diam saja tidak menolak sampai pernikahan kita selesai?”
“Aku sedang berpikir!” timpal Jazira setengah berteriak.
“Kau ini pintar, cukup mudah bagimu untuk memikirkan ini semua, bukan?”
... Pangeran Udaya berdecak tanpa sebab.
“Tidak! Itu rencana yang bodoh! Kau sendiri tahu, Putri Jazira ini menguasai ilmu dari enam negara. Tentu dia akan langsung menyadari rencanaku! Ash! Sial! Bagaimana aku bisa memenuhi ramalan ayahku agar aku bisa tetap hidup?!”
Melihat Pangeran Udaya yang agaknya sedang berpikir keras, Jazira melipat tangannya dan berkata,”tidak usah berpikir keras untuk mencari cara menikahiku, Pangeran Udaya. Karena sampai kapanpun dan bagaimana pun, aku tidak akan memenuhi ramalan itu. Lebih baik kau membawaku ke air kesembuhan Udaya agar aku bisa menyembuhkan kakiku yang menyulitkan ini!”
“Tidak sebelum kau memenuhi ramalan ayahku!”
“Baik, aku akan mencarinya sendiri dan sepertinya, perjanjian kita bisa saja batal,” ancam Jazira dengan liciknya, membuat Pangeran Udaya mengerang kesal.
“Mungkin tubuhku cacat, tapi tidak dengan otakku!” Jazira tersenyum miring. “Ayo cepat, antar aku ke air kesembuhan!”
Pangeran Udaya mengetukkan tongkatnya ke lantai dan membuat mereka sampai begitu saja ke tempat yang dituju.
“Apa?! Bagaimana air kesembuhan itu mengering?” tanya Jazira yang entah untuk siapa.
“Aku tidak tahu. Mungkin, ayahmu sendiri yang dulu melenyapkan tempat ini.”
Jazira menghempaskan punggungnya ke sandaran sambil mendengkus sebal.
“Kau tahu Putri. Kelumpuhanmu itu adalah kutukan dari kakekmu sendiri karena menentang ibu dan ayahmu bersatu. Mereka berasal dari klan yang berbeda jauh, ibumu dari klan keturunan dewa sementara, ayahmu hanyalah manusia biasa yang ahli dalam berpedang dan memanah.”
“Jangan berlagak tahu tentang latar belakang hidupku!” Kesal Jazira. Ia mendorong kursi rodanya menuju taman bunga yang dipenuhi warna hitam. Namun, ia berhenti karena hendak menyampaikan sesuatu.
“Yang kutahu dari buku yang kubaca, obat dari kelumpuhanku ini adalah air kesembuhan di Negeri Udaya. Tapi sepertinya, takdir tidak mengizinkan untuk sembuh.” Nada ucapan gadis berambut pirang itu melandai.
Pangeran Udaya mengetukkan tongkatnya, dan mereka kembali ke altar singgasana kerajaan Udaya yang sudah rapi dipenuhi kristal hitam dengan para panglima yang gagah perkasa berjajar rapi menyambut kehadiran keduanya. Tidak ada lagi kata porak-poranda di ruangan itu. Tirai-tirai hitam berlenggak-lenggok mengantuk sisi-sisi ruangan. Salam hormat prajurit yang tetap awet muda usai terkurung di dalam portal, menggetarkan hati Jazira. Ia didorong oleh Pangeran Udaya menuju singgasana yang dikelilingi batu ametis hitam-ungu yang berkilauan.
Namun sebelum itu, penasihat kerajaan melantik Jazira sesuai perjanjian para kesatria bagi siapapun yang membuka pintu portal akan mereka jadikan pemimpin. Kesatria Udaya terkenal akan kepatuhan, kebengisan, juga tidak suka ingkar janji. Meskipun mereka tahu, orang yang akan mereka jadikan pemimpin adalah keturunan dari orang yang sudah membuat mereka terkurung puluhan tahun di tempat tanpa nama, tapi bagi mereka, janji tetaplah janji.
Mereka sangat yakin, ramalan Raja Karhu tak akan salah. Gadis berkursi roda ini bukanlah gadis sembarangan dan akan membawa Udaya menuju kejayaan suatu nanti.
Para kesatria dan prajurit yang berkumpul di altar menyeret tongkat mereka mengarah ke langit-langit. Di sana, mereka menyalurkan kekuatan untuk membuka mahkota kerajaan Udaya yang terkunci. Perlahan-lahan, mahkota berwarna hitam keunguan tersemat ke atas kepalanya. Kedua bola mata Jazira terpejam, ia merasakan kumpulan energi yang sangat banyak terserap tubuhnya. Saat mahkota itu berhasil duduk di atas kepalanya, tubuh Jazira terangkat dari kursinya naik tepat di depan jendela besar bermozaik. Kedua tangannya membentang, matanya masih tertutup rapat, cahaya hitam dan ungu berpadu mengelilingi tubuh gadis itu. Gaun putih yang dikenakannnya perlahan berubah menjadi hitam dengan rumbaian manik-manik yang terjuntai panjang. Juga, punggung Jazira tumbuh sepasang sayap dengan warna senada. Semua orang diruangan itu takjub dengan kejadian itu, mereka semua menundukkan kepala dan menyorakkan kalimat kehormatan bagi pemimpin baru mereka.
Saat kedua kaki Jazira menapakkan lantai di depan kursi singgasana, ia membuka matanya yang sudah berubah merah persis seperti orang-orang dari Udaya.
“Kuterima salam kalian!”
“Sumpahku adalah janjiku. Darah terbayar darah, harta terbayar harta, dendam yang terpendam akan terbayarkan!” Jazira mengangkat kedua tangannya. “Kobarkan kembali api para kestaria Udaya!!!” seru Jazira dengan suara kencang. Auman para kesatria Udaya membuncah di altar kerajaan itu.
Sementara itu, Pangeran Udaya dibuat terheran-heran melihat Jazira yang jauh berbeda dengan yang ia temui beberapa menit yang lalu sebelum pelantikan. Aura kebencian di mata gadis itu kontras dengan pakaian yang dikenakannya sekarang. Entah kenapa, ia merindukan sosok Jazira yang selama ini ia awasi dari balik cermin. Jazira yang lemah, suka berdebat, dan sering menangis.
“Sepertinya, mahkota itu membawa pengaruh besar terhadap perubahannya sekarang. dia … seperti bukan sosok yang kukenal. Dia berubah layaknya orang asing. Apa benar di sebelahku ini adalah gadis yang kubawa dari Arsh tadi?”
Jazira mengerak-gerakkan tangannya membentuk pola abstrak. Tak lama binar cahaya menembus ujung istana dan membawa sebuah tongkat dengan panjang sebahu dan di atasnya terdapat sulur yang menangkup bola kristal ungu. Jazira menenggam tongkat itu di tangan kanan dan mengarahkannya ke langit. Kekuatan besar itu seketika menyebar dipenjuru Udaya.
Bangunan-bangunan yang hancur kembali berdiri kokoh, hutan yang gersang perlahan menghijau, di sekeliling perbatasan, benteng-benteng ditinggikan dengan perlindungan mantra, serta para keturuan Udaya yang merupakan penyihir hitam mendapat pesan untuk kembali hidup di Udaya. Semua itu, tentu saja atas campur tangan kekuatan Jazira tadi. Tidak hanya alam yang mendapatkan bagian kekuatan tapi, seluruh kesatria yang berkumpul di altar tersebut juga merasakan kekuatannya bertambah pesat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Kita belum sempat bertukar nama.”
Jazira memutar kepalanya ke samping.
“Apakah itu penting?” ungkap Jazira dengan nada penting.
“Membungkuklah dan ucapkan namaku dengan sebutan ratumu!” sindir Jazira kemudian.
Pangeran Udaya tersebut menghela napas lirih dan mengiyakan perintah gadis itu.
“Maafkan hamba, Ratu.”
“Bagus!” balas Jazira dengan angkuhnya lalu, pergi meninggalkan singgasana entah mau kemana.
“Menjengkelkan! Kenapa gadis itu berubah menjadi lebih menyebalkan?! Sepertinya, mahkota itu mempengaruhi cara pikir gadis itu. Sial! Lalu, bagaimana dengan rencanaku? Oh ayah … bantu aku.”
Tak mau terus khawatir dengan pikirannya, Pangeran Udaya itu mengekor di belakang Ratu Jazira. Mereka berhenti di balkon istana yang menghadap langsung ke pemukiman rakyat yang hening.
“Pangeran Eleazar, kau kuangat sebagai penasihat kerajaan.” Jazira berbalik, Pangeran Udaya yang masih terkejut karena gadis itu mengetahui nama aslinya walaupun ia tidak pernah mengatakannya, membungkuk hormat.
“Amanah ini akan aku jalankan dengan sebaik-baiknya, Ratu.”
Jazira kembali memutar badan memandang hamparan rumah-rumah rakyat yang terpisah aliran sungai di bawah jurang sana.
“Akan kucari cara lain untuk membebaskan gelang kutukanmu itu selain kau harus menikah denganku.”
Pernyataan Jazira tersebut membuat Eleazar menengakkan punggung. Pikirannya menerbitkan perkataan ayahnya dua puluh tahun yang lalu saat ia coba disembuhkan oleh tabib istana akibat gelang ditangannya ang membuat sebagian tubuhnya berubah menjadi seekor naga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!