Part 20

Ditambah lagi, pasukan penunggang naga Ratu Udaya berpencar membuat kegaduhan dengan membakar rumah-rumah warga yang dibangun secara swadaya seadanya. Teriakan, tangisan, dan ketakutan membumbung tinggi di udara Arsh. Pasukan keamanan rahasia Arsh yang mencoba melawan harus dibuat takhluk karena persenjataan yang tidak memadai.

“Putri mau kemana?” tanya Rui.

“Tidak ada waktu lagi untuk bersembunyi,” jawab Putri Elma sembari berlalu dari mereka bertiga. Lalu, cucu Raja Emir itu datang dengan mengenakan rompi besi dengan pedang panjang di tangan.

Putri Elma mengulurkan kantong hitam pada Rui, Rui pun menerimanya. “Aku titipkan bola cahaya ini pada kalian.”

“Putri, bagaimana kau bisa melawan penyihir jahat itu sementara kau sendiri bilang kaum Arsh adalah seorang manusia biasa tanpa kekuatan apa-apa?” tanya Aesira cemas.

“Itu benar, kaum Arsh memang tidak memiliki kekuatan apapun, tapi tidak dengan pedang ini.”

Usai mengucapkan itu, Putri Elma menjejakkan kakinya di tanah peperangan. Ujung pedang tersebut menyentuh tanah dan menciptakan sebuah garis hingga tiba Putri Elma di bawah Ratu Udaya yang tertawa bengis.

“Keponakanku yang nakal ini masih saja ikut campur urusanku! Lebih baik kau tidak membiarkan wajah menawanmu itu tergores, Putri Elma.”

Putri Elma tidak menggubris penuturan bibinya tersebut ia angkat pedang kebesaran sang kakek itu dengan kedua tangan tepat di depan dahinya, kedua mata gadis dengan lingkaran mata berwarna biru itu tertutup dengan bibir merapalkan suatu mantra. Tak lama, cahaya putih melingkupi pedang.

Perlahan-lahan, Ratu Udaya turun dan bersiap dengan kekuatan hitam yang bergulung-gulung di tangan kirinya.

“Kau tahu akibat menggunakan pedang kakekmu itu, keponakanku?” tukas Ratu Udaya yang mencoba memecah konsentrasi Putri Elma.

Kelopak mata sang putri terbuka, tiga punggawa di belakangnya bangkit untuk ikut melawan. Mereka berempat maju bersamaan, bergantian menyerang Ratu Udaya yang dengan tenangnya membalas setiap kekuatan dari Margaretha, Isabella, Lynda, dan sabetan pedang dari Putri Elma tanpa berpindah tempat. Tidak mau berlama-lama, Ratu Udaya membuat mereka berempat kocar-kacir. Aesira yang melihat hal itu seakan dibuat tercekat.

Empat gadis di tanah lapang itu tergeletak lemah dengan darah mengalir dari mulut mereka. Terakhir kali, Putri Elma memandang ke arahnya dengan tatapan yang sulit ia definisikan. Dada Aesira berkecamuk. Apakah ia akan membiarkan gadis-gadis itu tewas? Namun, ia mampu berbuat apa untuk melawan? Bahkan kekuatannya tidak juga kembali setelah berhasil menghancurkan gembok pintu kemarin. Aesira betul-betul bimbang. Ia menatap Kay yang sama-sama lemah lalu, berbalik melihat keadaan di luar persembunyiannya, di sana, Ratu Udaya mendekat ke arah tiga duplikatnya dan tidak tahu akan melakukan apa. Yang jelas, itu bukanlah tindakan yang baik.

“Kau harus bertahan, Kay,” tukasnya sembari menatap Kay dalam. Bergantian, ia menoleh ke Rui.

“Aku tidak tahu, apakah aku bisa. Tapi, jika aku tidak bisa, mungkin aku akan terluka. Bawa Kay ke tempat aman. Kalian harus tetap hidup. Kalian tidak boleh ditakdirkan mati di sini.”

Kedua alis Rui bertaut. Ia mencengkeram pundak Aesira. “Tidak, Ae! Ayo kita bersembunyi bersama. Kau juga harus selamat. Kau bukan tandingan wanita kejam itu! Kau bisa mati konyol jika tetap bersikeras melawan!”

Aesira menggeleng. Ia genggam telapak tangan Rui sembari tersenyum. “Aku harus melindungi banyak hal.”

Aesira berdiri dan berbalik. Seketika, kedua matanya terbelalak saat Ratu Udaya mengarahkan tangannya ke Margaretha, membuat gadis tiga puluh tahun itu membuka mulutnya lebar dan perlahan mengeluarkan asap hitam. Ratu Udaya tampak seperti menghisap asap hitam itu ke dalam tangan entah dengan maksud yang Aesira sendiri tidak bisa pahami. Tapi, yang jelas itu terlihat sangat menyakiti Margaretha yang bahkan sudah tak bertenaga.

Tidak mau membiarkan hal buruk menimpa Margaretha atau yang lainnya, Aesira menghempaskan ketakutan yang bercokol di dadanya. Embusan angin menyambut di kala kakinya tiba di tanah pertempuran. Ia melihat ke kedua tangannya yang mendadak menciptakan rona cahaya biru. Ya, tidak salah lagi, itu kekuatannya.

Aesira berjalan cepat sambil berteriak.

“Kau membutuhkan satu lagi untuk sempurna, ratu durjana!”

Teriakan gadis dengan rambut terurai itu mengalihkan Ratu Udaya.

“Rupanya, kau yang terakhir sudah datang, ya. Bagaimana tidurmu tadi malam? Apakah nyenyak?” tukas Ratu Udaya setengah mengejek.

“Sangat nyenyak dengan kau sebagai mimpi buruknya.”

Ratu Udaya tertawa terbahak-bahak. Aesira melirik ke Margaretha, sekiranya temannya itu terbebas dari jeratan ratu hutan tersebut untuk sementara.

“Oh, benarkah? Bagaimana kalau kuwujudkan mimpi buruk itu sekarang?”

Aesira memusatkan pikirannya penuh sembari mengamati gerakan tangan Ratu Udaya yang berdiri dua meter darinya. Saat Ratu Udaya mengarahkan kekuatan ke arahnya, ia menghindar, berlari lalu menggerakkan tangan seperti gerakan Ratu Udaya sebelumnya dan sontak saja melepaskan kekuatan di tangannya ke arah Ratu Udaya yang harus dibuat mundur akibat terkena duplikat kekuatannya yang berasal dari gadis itu. Ia memegang dadanya dan sesaat darah mengalir dari sudut bibirnya.

“Besar kekuatan dari anak itu kenapa sama besarnya dengan kekuatanku tadi? Bahkan ia bisa meniru gerakan mantraku! Sial! Aku harus berhati-hati!”

Ratu Udaya menegakkan tubuh. Mengusap darah di sudut bibirnya cepat lalu, kembali bersiap memberikan serangan.

“Lihat saja apa kau bisa melayani dengan cara ini anak ingusan!”

Ratu Udaya melesat cepat, menghilang, lalu kembali datang di belakang Aesira lantas memberikan serangan. Aesira yang tidak awas terjerembab ke tanah dengan menerima luka dalam. Ia berbalik badan dan melihat Ratu Udaya berdiri di sampingnya.

“Jangan bermain denganku atau kau akan terluka,” tukas Ratu Udaya dengan nada dingin.

Posisi Aesira tersudut. Ia mengira dengan cara meniru gerakan sihir Ratu Udaya ia dapat berhasil mengalahkan Ratu Udaya. Cara itu, adalah cara yang lagi-lagi ia peroleh dari mimpi di kutukan tidurnya. Entah kenapa, ide gila itu terlintas begitu saja. Awalnya Aesira tidak yakin ini akan membantu, namun setelah berhasil membuat Ratu Udaya mundur selangkah setelah menerima serangan baliknya, kepercayaan dirinya naik. Tapi sekarang, semua berbalik menghukumnya.

“Mungkin kau harus jadi yang pertama pergi, anak manis,” ujar Ratu Udaya sembari mengelus permukaan pipi Aesira dengan kuku hitam yang panjang.

Ratu Udaya menghadapkan telapak tangannya di atas Aesira dan membuat gadis itu kesulitan bergerak. Aesira mencoba memberontak namun, tetap saja cengkeraman mantra Ratu Udaya terlalu kuat.

“Setelah ini kau akan tidur dengan tenang, percayalah!” ucap Ratu Udaya diakhiri tawa yang mendengarnya saja membuat Aesira muak.

Ketika Ratu Udaya hendak mengangkat tangannya, Rui datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa sebalok kayu.

“Rui! Jangan kemari! Pergi!” usir Aesira. Namun, seberapa keras Aesira meminta, temannya itu masih saja terus mendekatkan jarak. Hingga, balok kayu itu terlempar ke Ratu Udaya yang jelas saja langsung membuat balok kayu tersebut hancur seketika.

Ratu Udaya berbalik badan ke Rui yang sebenarnya sangat dilanda ketakutan. “Kita kedatangan mainan baru rupanya. Kau ingin apa?”

“Lepaskan temanku!” teriak Rui.

“Tidak, Rui! Pergilah!” balas Aesira. Rui menggeleng.

“Kau bisa apa untuk melawan ratu seperti diriku?” tutur ratu hitam itu merendahkan.

Rui mengeratkan kepalan tangannya di kedua sisi. Ia memandang Aesira yang menggeleng penuh arti.

Ratu Udaya membuat pedang hitam dengan kekuatannya, kedua mata Aesira seketika terbelalak kala pedang itu melesat cepat ke arah Rui.

“RUI!!!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!