Part 5

Deru napas terdengar naik turun. Keringat berjejer di anak rambut lalu, terjun menjadi sungai kecil di permukaan pipi. Telapak tangan naik mengusap leher yang tak kalah banjir oleh keringat.

“Sial! Aku memimpikannya lagi!” umpatnya.

Kedua matanya mengedar ke sekeliling. Kursi-kursi sudah kosong tanpa pemilik duduk di sana. Papan tulis berisi rumus-rumus rumit hilang terhapus. Ia mendengkus.

“Lagi-lagi aku ditinggal!”

Ia menguap sesaat, merentangkan kedua tangannya kuat-kuat untuk mengambil energinya kembali. Kemudian, kakinya menggeser kursi dan beranjak. Ia sambangi jendela yang memancarkan senja yang mengusung keemasan. Seketika, angin yang mengalir lembut membuat helai rambut sebahunya terbang ke berbagai sisi, juga keringat di tubuhnya sedikit berkurang. Ia terus tertahan menatap pemandangan yang terampil dari jendela yang terbuka. Suara putaran kipas angin menjejal ruangan agar tidak terlalu hening. Ia memangkukan tangannya di tralis jendela dan merenung.

“Kenapa … wanita itu …” Ia berdecak lalu, mengacak rambutnya sebal.

Wajahnya menghadap ke langit oranye sana, mengatakan satu patah kata.

“Siapa kau sebenarnya?” tukasnya lirih.

Kepalanya menurun tepat ke arah jalanan yang macet di jam para pekerja pulang dari kantor. Deru mesin dan beberapa klakson memecah keheningan di pikirannya.

“Aesira!”

Gadis berambut pirang sebahu itu membalikkan badan cepat.

“Hum?” jawab gadis itu malas.

“Kau sudah bangun rupanya? Kukira kau berniat tidur semalaman di sini.” Gadis berseragam olah raga dan mengantungkan busur di pundaknya itu mendekati meja sebelah Aesira.

“Kenapa kau tak membangunkanku, Rui?”

“Seperti biasa, mereka tak mengizinkannya,” ujar Rui sambil membereskan buku-buku Aesira yang tercecer di berbagai sudut.

“Lagi ...” ucap Aesira sembari menurunkan satu pundaknya. Ia mengikuti Rui mengambil buku-bukunya lalu, mengumpulkannya di atas meja.

“Apa mimpi itu datang lagi dan membuatmu tidak bisa bangun dari tidurnya, Aesira?” tanya Rui memastikan.

Tanpa basa-basi namun sedikit malu, Aesira mengangguk pasti.

“Ah! Ini menyebalkan! Kenapa wanita itu selalu meminta tolong dengan keadaan sekarat? Bahkan, ia bisa berada di mimpiku berjam-jam! Arrgh! Bisakah dia enyah dari hidupku dan membiarkan aku tidak tidur terlalu lama? Dia membuat hidupku berantakan!” Gadis itu menggerutu sampai-sampai tidak menyadari bahwa Rui sudah membereskan buku-bukunya ke dalam tas.

“Ayo, pulang. Bukankah kau harus menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue?”

“O iya! Aku saja lupa, Rui! Kau ini! Selalu ingat apa saja yang harus aku lakukan.” Aesira menepuk-nepuk pundak Rui pelan.

“Kau memang sahabatku yang terbaik.”

Kaki mereka memihak satu per satu anak tangga bersamaan hingga membuat sebuah irama yang selaras. Mulut mereka menambahi bising di lorong tangga itu. Di tengah-tengah mengobrol, Aesira mematung saat melihat laki-laki bertubuh jangkung yang berdiri tepat di ujung tangga.

Mengetahui tingkah sahabatnya yang aneh, Rui mengenggam tangan Aesira dan menariknya untuk menyingkir, agar memberi akses jalan bagi laki-laki tersebut.

Sesaat laki-laki itu melewati keduanya naik ke lantai atas, Aesira tertunduk dan hanya melihat sepatu laki-laki yang disukainya menghilang dari pandangannya.

“Kau tahu, Ae … tadi di kelas, saat kau tertidur, dia melindungimu saat para geng nenek sihir itu mengerjaiku,” bisik Rui dan membuat Aesura seketika menolehkan wajah ke laki-laki yang memijaki anak tangga di atas sana.

“Dia melindungiku?” tanya Aesira lirih. Ia yang mengira ucapannya tidak terdengar Rui terkejut karena gadis di berada di satu anak tangga di bawahnya menjawab,”Iya, Ae. Bahkan dia mengambil kursinya lalu, duduk di sampingmu. Kau tahu, hal yang tambah membuatku terkesan, dia mengertak ke semua orang agar jangan berani menganggu jam tidur kutukanmu itu.” Kedua mata Rui berbinar, ia mendongakkan kepalanya beberapa centi ke atas.

“Wow! Ini seperti cerita cinta yang pernah aku baca, Ae!” Rui menoleh pada Aesira yang malah berekspresi biasa-biasa saja terhadap ekspektasi Rui yang luar biasa.

“Kutebak, kalian pasti akan menjadi lebih dekat setelah ini!”

Aesira mendorong asal pundak Rui dan hampir saja membuat tubuh Rui oleng dan jatuh ke bawah, beruntung saja Aesira sigap menarik.

“Kau mau membunuhku?” pertanyaan Rui itu dijawab tawa oleh Aesira.

“Kau marah hanya karena aku hampir membuatmu terjatuh?”

Rui tetiba tertawa. “Aku hanya bercanda!” tukasnya lalu, menoel pundak Aesira balik.

Keringanan dua sahabat itu melandai setibanya mereka di penyeberangan. Aesira menghentikan langkahnya padahal lampu tengah berubah hijau. Gadis itu menempatkan matanya pada laki-laki yang termenung di jendela kelasnya yang berada di lantai tiga.

“Apa dia tidak pulang?” tanyanya.

“Kay memang suka begitu, sudahlah. Ayo menyeberang. Atau kita akan tertinggal bis.”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Rui mengantar Aesira sampai ke rumahnya. Mereka tidak langsung masuk ke rumah dan berjalan ke arah toko kue yang berada di seberang jalan.

“Eh, Rui,” sapa Sophia. Ibu dari Aesira.

“Hai, Tante.”

“Aesira hampir terlupa belanja lagi, ya?” tanya Sophia sembari meletakkan tas belanjaan para gadis ke atas meja.

Aesira terkekeh, membuat Sophia menggelang keheranan. Di sela Sophia membuatkan mereka makanan ringan. Aesira dan Rui duduk di kursi tunggu pelanggan. Di sana, Aesira mencatat pelajaran jam terakhir yang dilewatkannya. Tak butuh waktu lama, Aesira selesai mencatat lalu mengembalikan buku Rui kembali.

“Apa Ae tertidur lagi di kelas, Rui?” tanya Sophia yang datang bersama dua gelas cokelat panas dan sepiring kue kering yang baru keluar dari oven.

“Seperti itulah Ae, Tante. Dia tidak bisa melewatkan jam tidur siangnya yang seperti orang pingsan itu,” adu Rui sambil memasukkan bukunya.

Sophia yang duduk di depan mereka, menatap Aesira dengan begitu khawatir.

“Sebenarnya apa yang membuatmu seperti ini, Nak?”

Menangkap kecemasan yang hadir dari balik mata sang ibu, Aesira menyerigai cepat. “Ah, ibu. Tak usah selalu memusingkan perihal ini. Aku akan baik-baik saja,” tukas Aesira dengan mulut melahap kue kering ke mulutnya.

“Tapi, tidak ada orang seaneh dirimu, Nak.” Kata ‘aneh’ yang dilontarkan ibunya membuat setengah kue kering Aesira terjatuh ke dalam larutan cokelat panas akibat ia tidak segera mengangkatnya.

“Ya, aku memang aneh,” tukas Aesira lesu.

Sophia menyandarkan punggungnya dan membela napasnya perlahan. Wanita 30 tahun tersebut mengingat hari kelahiran Aesira 16 tahun yang lalu. Saat itu, usia kandungannya sudah lewat sepuluh bulan namun, belum ada tanda-tanda kelahiran. Dokter mengecek jikalau kandungan Sophia sangat baik dan meminta Sophia agar pulang ke rumah. Dua hari berselang, Sophia melahirkan bayinya namun, dokter menyatakan bayinya meninggal. Ia sempat tak percaya dan yakin jikalau bayinya masih hidup. Dua jam berikutnya, keajaiban datang dan membuat bayi yang awalnya sudah kaku itu menangis kencang saat hendak dibersihkan oleh tim medis. Sontak saja, hal itu membuat satu rumah sakit geger akibat berita ini. Antara percaya atau tidak, Sophia yang masih lemah menghampiri sang putri yang masih memerah dan menangis sendu.

Saat tiba di rumah, ia disambut hangat oleh keluarga besar suaminya. Namun, nenek buyut bayi tersebut memiliki perasaan lain dari yang lain. Nenek buyut itu mengatakan,

“Bayi yang terlahir dari kematian, akan membawa kutukan.”

Awalnya, banyak orang yang tidak mempercayai ucapan nenek buyut. Tapi, saat satu per satu orang-orang terdekat Sophia meninggal. Sophia seakan terpedaya oleh kalimat wasiat sang nenek. Kematian sang suamilah yang menyakinkan kepercayaannya pada ucaoan nenek buyut jikalau kelahiran Aesira membawa kutukan. Namun, sampai saat ini, Sophia tidak pernah memberitahukan hal ini pada Aesira karena, gadis itu sudah terlalu banyak tumbuh bersama banyak luka. Banyak sekali orang yang mengejeknya dengan mengatakan anak pembawa sial dan harus dijauhi dari muka umum. Tidak mau merusak mental putrinya, Sophia memilih pindah ke kota untuk menghidupi juga menggunakan putrinya dari kejahatan mental. Di sana, ia membangun toko kue sebagai penyambung tali kehidupan. Meski hidup dalam kesederhanaan di tengah kota, ia memiliki banyak sekali orang baik uang tidak segan membantunya, salah satunya adalah orang tua Rui yang sampai saat ini sangat dengan dengannya dan Aesira.

“Mungkin, setelah berbagai jalan kita lalui dan tetap tanpa hasil. Kau harus menemukan jalanmu sendiri agar kau bisa sembuh, Ae.”

Rui meletakkan tangannya ke lengan Aesira.

“Aku akan menemanimu menemukan jalan itu, Ae,” ucap Rui antusias. Aesira mengangguk dengan yakin.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!