Arunika memejamkan mata sembari menghela nafas panjang tatkala pikirannya kembali teringat perihal persyaratan yang diajukan atasannya, Presdir gila berotak mesum, tak memiliki hati nurani dan seenak jidatnya saja memberikan syarat sehina itu kepada seorang wanita bersuami.
"Maaf, aku sudah menyusahkan kamu akan kondisi ku seperti ini. jangan lakukan itu, lebih baik kita pulang saja sekarang, ya?" pinta Rama, suami Arunika yang sudah ia nikahi selama hampir dua tahun ini
Arunika tersentak mendengar permintaan itu, mana mungkin ia membolehkan Rama untuk menyudahi perawatannya kini. Mengingat Rama yang baru saja mengalami pendarahan di otak, ditambah lagi patah tulang pada kakinya.
"Tidak! kamu yang benar saja! kondisi kamu seperti ini harus butuh perawatan ekstra." bantah Arunika
Rama hanya bisa menghela nafas panjang yang terdengar berat. Ia termenung sebentar memikirkan permintaan istrinya yang konyol itu. bagaimana bisa seorang Arunika yang lugu ini memikirkan cara seperti itu, entah siapa yang memengaruhi pikirannya. Tapi, dengan cara itu pula keduanya bisa membiayai pengobatan Rama dari proses operasi hingga proses penyembuhan yang tidak mengenal biaya sedikit.
"Baiklah, terserah kamu saja." Rama pun pasrah
"Mas serius?" ada rasa lega yang hinggap dihatinya, ada rasa bersalah telah menyelimuti perasaannya. Arunika memasang wajah sendu dan juga kaget mendengar keputusan suaminya
"Ya, asal dengan syarat ..."
"Apa itu?"
"Dia pakai pengaman dan membayar kamu dua miliar, tidak termasuk biaya pengobatan ku." tegasnya
Arunika mengangguk pelan, berat sebenarnya untuk melakukan hal sehina itu. Ia bahkan seperti wanita ****** yang tidak berharga walau dibayar mahal.
***
Arunika melangkah ragu menuju ruangan Presdir Virendra, pria gila tak punya hati dan tak memiliki rasa malu, secara gamblang menawarinya untuk menjadi teman tidur bersama. Rasa menyesal pun menyelinap didalam hati Arunika ketika ia meminta bantuan sang presdir untuk memberikannya pinjaman, potong gaji sebagai angsuran pembayaran hutang.
Namun takdir berkata lain, tawaran gila yang tak pernah ia bayangkan sontak membuatnya kaget bagai tersambar petir disiang bolong.
Arunika tercenung sebentar tepat didepan pintu berbahan aluminium, kepala tertunduk tengah berpikir apakah niatnya kali ini benar? menerima tawaran yang tak semestinya ia harapkan. seandainya ia tak memiliki suami, sudah dipastikan takdir hidupnya tidak seperti ini. apakah ini yang namanya goresan takdir? takdir hidupnya di Lauhul Mahfudz telah tergores tinta pena hingga sedikit melenceng dan mengubah jalan hidupnya menjadi selimut hangat bagi pria lain.
Arunika membuka matanya sesaat ia memejam untuk berpikir ulang. tarikan nafas dalam-dalam ia lakukan sebelum berhadapan dengan sang penguasa di gedung ini. tangannya terulur dengan jari yang terkepal, bersiap-siap mengetuk daun pintu dengan penuh keyakinan.
Tok tok tok
Sesaat kemudian, sayup-sayup terdengar sahutan dari dalam. menandakan Arunika harus bergegas masuk setelah mendapat izin. "Masuk!"
Ia membuka pintu dengan sedikit ragu, jantungnya berdegup kencang tiap kali bertemu dengan pria itu. telapak tangan yang basah ia remat, alih-alih menghapus rasa kegugupannya.
"Hai, datang juga kemari." senyum cerah menghiasi wajah Presdir yang memiliki rupa tampan nan menawan ini, namun tidak dengan hatinya bagi Arunika. ia sangat membencinya, ingin sekali mengutuk lelaki tersebut menjadi kodok.
Sosok berjas hitam yang duduk dengan angkuh, sebelah kaki ia tumpu diatas lutut, kedua tangan menautkan jari jemarinya membentuk kepalan. hingga sepasang mata beriris kecoklatan itu menatap kagum pada sosok cantik nan menggoda dihadapannya.
"Iya, Tuan, seperti yang anda lihat." ketus Arunika tanpa memandang wajah lelaki itu
Virendra tersenyum miring, ia senang berurusan dengan wanita ini. "Jadi bagaimana? datang menemuiku artinya iya, bukan?"
"Ada syarat!" tegas Arunika
"Wow!" Virendra terlonjak. Ia bangkit dari duduknya, melangkah santai mengitari tubuh wanita bersuami ini. "Apa itu?" sambungnya, Arunika bergidik geli merasakan sapuan hangat di tengkuk lehernya. ia merasa risih dan berdecak kesal didalam hati
"Saya minta dibayar dua milyar rupiah dan anda harus kenakan pengaman untuk mengantisipasi sesuatu yang tidak boleh terjadi. ditambah empat puluh juta untuk pengobatan suami saya." tekannya tanpa keraguan, terdengar tegas dan menantang ditelinga lawannya
"Hmmm ... begitu, ya?" Virendra tampak menimbang-nimbang, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pelipis seolah tengah berpikir
"Bagaimana, tuan pebinor?" tanya Arunika, menekankan kata pebinor kepada pria tersebut
Virendra mendelik. "Apa katamu? pebinor?" geram Virendra, mengurung tubuh mungil wanita ini diantara badannya dan meja kerja. bahkan kini jarak keduanya sangatlah dekat, sampai Arunika dapat menghirup aroma khas maskulin dari tubuhnya.
"Is, bisa menjauh, nggak, Tuan?" Arunika sangat risih, tangan kanannya membentengi jarak keduanya agar tidak terlalu menempel, sedangkan tangan kirinya berpaku pada sisi meja
"Katakan sekali lagi, apa yang kau bilang barusan!"
"Pebinor, pengganggu bini orang." jelasnya dengan tegas
"Heuh!" Virendra menghembuskan nafas dengan kasar, merasa tidak suka dijuluki dengan sebutan seperti itu.
Arunika segera mendorong tubuh gagah dihadapannya dengan sekuat tenaga yang ia bisa, tak sudi bila tubuhnya disentuh oleh lelaki lain. bisa-bisa nanti Virendra akan melakukan hal yang kurang ajar padanya mengingat jarak keduanya sangatlah dekat.
"Jadi gimana, setuju, nggak?" ulangnya
Jika bukan karena butuh biaya untuk pengobatan suaminya, Arunika jelas tidak sudi menjadi wanita murahan untuk pria dihadapannya ini. pria gila tak punya hati, dengan lancangnya meminta ia untuk menghangatkan ranjang. padahal jika dipikir, miliknya tidak serapat punya wanita perawan, namun entah mengapa lelaki ini lebih menginginkan dirinya untuk ditemani tidur selama satu minggu yang sudah dijelaskan tempo lalu.
"Saya setuju, asal dengan syarat."
~Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments