Suatu hari di dalam sebuah rumah kuno, yang terdapat di lembah Seribu Pedang. Terdengarlah suara raungan tangisan yang memanggil-manggil nama orang yang sudah meninggal itu.
Sampai seakan suara orang yang menangis itu tak terdengar lagi karena sudah sehari semalam ia terus, menerus menangis, tanpa rnemperdulikan orang yang melayat.
Rumah kuno itu adalah tempat tinggal keluarga Xiao, dan yang meninggal dunia adalah Kakek Xiao.
Kakek Xiao adalah bukan orang biasa melainkan pendekar tua Xiao Chen yang selama puluhan tahun telah, terkenal di dunia persilatan.
Semua mengenal kakek Xiao Chen dengan nama julukan Pendekar Pedang Naga dari Lembah Seribu Pedang. Dan banyak pula hartawan yang kikir dan jahat tewas di ujung pedang pendekar pedang Naga. Para hartawan yang menjadi pejabat di pedesaan, banyak sekali yang korupsi dan menindas rakyat.
Sepak terjang kakek Xiao Chen yang membela rakyat dan kaum lemah ini, tentu saja membuat kakek Xiao Chen dicintai dan disegani oleh rakyat dari kalangan menengah ke bawah.
Setelah berusia delapan puluh tahun kakek Xiao Chen mengundurkan diri dari dunia persilatan. Dan memilih hidup tenang untuk mengurus perguruan Pedang Naga yang ada di lembah Seribu Pedang.
.
Di perguruan Pedang Naga ini, ia hidup bersama dua orang anak dan dua orang cucunya, yang dimana kedua putranya itu membantu Kakek Xiao Chen dalam mengelola perguruan Pedang Naga itu.
Di saat kakek Xiao Chen rneninggal, Xiao Yu baru berusia tiga tahun. .
Sementara itu rumah kediaman keluarga Xiao itu sudah diberi tanda berkabung dengan kertas dan kain putih. Jenazah kakek Xiao Chen telah dimasukkan ke dalam peti mati dan diletakkan pada ruangan bagian depan.
Di meja sembahyang yang berdiri di depan peti mati, di samping lilin dan asap dupa serta hio yang mengebul memenuhi ruangan.
Gadis cilik yang bernama Xiao Yu itu tak bisa menangis keras, tetapi masih bercucuran air mata dan terisak-isak, matanya merah memandang peti mati, tangannya mengelus-elus peti dan bibirnya bergetak-gerak, seakan-akan berbicara dengan kakeknya yang berada di dalam peti itu.
Sebagai seorang mantan pendekar terkenal dan perguruannya yang sudah mencapai ratusan murid itu, tentu saja banyak yang datang untuk mamberikan penghormatan terakhir pada jenazah kakek Xiao.
Keesokan pagi harinya telah datang seorang tamu, Ayah dan saudara-saudaranya sudah keluar menyambut tamu itu.
Tapi tamu yang datang kali ini sikapnya luar biasa dan tidak seperti tamu-tamu yang lain.
Dia sudah tua, kurang lebih tujuh puluh tahun usianya.
Dari cara berpakaiannya nampak compang-camping dan lusuh, sementara di punggungnya terdapat sebuah guci arak berbentuk bulat dengan leher panjang dan mulut tersurnbat kain kuning, di pinggang kiri tergantung sebatang tongkat pendek dari bambu kuning.
Dialah Kwe Cheng Si Bocah tua Nakal yang datang ke rumah duka, itu dengan bernyanyi-nyanyi dan diseling suara terkekeh-kekeh.
'Ha-ha-ha...! Xiao, kau benar-benar enak sekali pergi menuju kebebasan derita hidup. Tinggalkan julukan yang kosong melompong, terbebas urusan dunia yang serba palsu. XII Chen yang waktu hidup berjuluk Dewa Pedang Naga. Ha... ha... ha..! bukankah itu nama kosong belaka! Dewa seharusnya tidak mengenal mati! ha-ha ..ha, mana pedangmu! Sayang sekali kenapa sebelum pergi kenapa tidak pamit lebih dahulu kepadaku?" racau orang tua itu yang terkekeh.
Semua orang yang hadir melayat kakek Xiao Chen tak menjawabnya, tapi mereka memandang pengemis itu dengan raut wajah marah.
Kakek yang mereka hormati telah meninggal, janazahnya pun masih berada di dalam petinya. Dan sekarang orang tua itu berani dengan terang-terangan menghina Ayah, kakek dan pahlawan mereka dengan kata-kata yang aneh.
"Hai dasar bocah! Pasti kamu cucu dari Xiao Chen bukan?" tanya pengemis tua yang bernama Kwe Cheng itu yang melihat Xiao Yu yang nampak paling berduka disamping peti jenazah Kakek Xiao Chen.
Gadis kecil yang sedari tadi menangis di samping peti mati kakeknya itu hanya menganggukkan kepalanya, tidak bersemangat untuk menjawab pertanyaan si Pengemis tua itu. Dan dia tetap saja menangis.
"Kenapa menangis? dasar bocah cengeng kau! Masa' kakekmu yang terbebas dari hukuman saja kau sambut dengan tangis? dasar bodoh! Dasar cengeng!" seru pengemis tua itu yang memarahi Xiao Yu.
Bocah tua nakal itu kemudian mengetuk-ketukan tongkat pendeknya di atas lantai dan terus meracau.
"Manusia hidup lunak dan lemas,
kalau mati menjadi kaku dan keras. Segala mahluk dan tanaman hidup
lunak dan lemas, kalau mati menjadi kering dan mudah patah. Kaku dan keras adalah kematian, lunak dan lemas adalah teman kehidupan."
Bocah tua nakal itu berhenti meracau, kemudian meminum arak yang dibawanya. Setelah itu dia tertawa terbahak-bahak dan menurunkan guci araknya.
"Xiao Chen, ayo kita minum arak!" seru Bocah tua nakal itu dengan menggerakkan guci araknya dan dari dalam guci yang mulutnya sudah terbuka itu memercik arak yang berbau khas dari arak itu.
Bocah tua nakal itu mendekatkan mulut guci itu ke rnulutnya dan terdengar suara menggelogok ketika arak yang berwarna merah masuk ke mulutnya. Kemudian dia menyimpan kembali guci araknya dan tanpa dipersilakan untuk duduk, bocah tua nakal itu telah duduk di atas sebuah bangku yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Di dalam hati kedua putera Xiao Chen sangat marah sekali, tapi karena sikap pengemis tua ini tidak memusuhi jenazah ayah dan mereka. Bahkan kata-kata yang keluar dari mulut pengemis tua itu pun mernbayangkan kalau dia adalah sahabat kakek Xiao Chen.
Tiba-tiba Xiao Yu bangkit dari bawah peti mati di mana tadi ia tadi berlutut, kemudian menghampiri bocah tua nakal itu dan Xiao Yu masih saja terisak.
"Orang tua, ma'af jika kakekku sudah tidak dapat menyambut kedatangan anda, beliau sudah meninggal." ucap Xiao Yu, dan sampai di sini tak tahan lagi dia kembali menangis.
"Hei, bocah menyebalkan! Bocah cengeng! Siapa yang bilang Xiao Chen meninggal? Apa kau tahu benar?" tanya pengemis tua itu dengan serius.
Mendengar hal itu, Xiao Yul menengadah memandang wajah pengemis tua yang duduk di kursinya.
Kwe Cheng si Bocah tua nakal itu sangat terkejut, mana kala dia melihat raut wajah Xiao yu yang simpatik, berbentuk bulat seperti bulan purnama dan putih bersih.
Sepasang matanya yang kini merah karena terlalu banyak menangis itu lebar dan bening. Cahaya di wajah gadis itu tajam dan penuh akan kejujuran serta kemurnian hatinya.
"Orang tua, kakekku sudah meninggal. Banar-benar sudah tak ada lagi di dunia ini. Beliau tak akan lagi bisa menjawab setiap pertanyaan kita dan juga dia sudah tidak bernapas lagi. Kalau tidak meninggal masa' dimasukkan ke dalam peti mati?" ucap dan tanya Xiao Yu yang saking herannya terhadap sikap dan ucapan pengemis tua itu.
"Ha....ha....ha bocah cengeng! Kau seperti yang tahu saja, apa itu mati dan apa itu hidup. Sebelum hidup dari mana dan sesudah mati ke mana?" ucap Kwe Cheng yang sudah tentu bocah berusia sembilan tahun itu akan terlongo karena kebingungan mendengar pertanyaan yang tidak mungkin terjawab oleh orang pandai sekalipun.
"Tuan mohon maafkan puteriku yang bodoh ini berani bersikap kurang ajar. Mohon tanya, siapakah tuan ini?" tanya Xiao Kai, ayah Xiao Yu seraya menarik tangan puterinya itu.
...~NR~...
...Mohon dukungannya dan terima kasih telah memberikan Like/komentar/rate 5/gift maupun votenya untuk novel ini....
...Semoga sehat selalu dan dalam Lindungan Allah Subhana wa Ta'alla....
...Aamiin Ya Robbal Alaamiin....
...Terima kasih...
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Julianso
mantap thor
2023-04-29
1