Saint Roland'S Durandal
Roland bersimpuh di tengah ribuan bangkai pasukan Saracen, di antara bau anyir darah membadai, di ujung paling jauh jalur Gunung Roncevaux. Untuk saat ini tak ada pemandangan indah, tak ada aliran sungai serta ikan air tawar di dalamnya, tak ada pepohonan pinus yang besar batangnya, tak ada pula sinar hangat matahari yang rebah pada Jalur Gunung Roncevaux. Hanya kekejian, dendam, dan Roland dengan durandal; pedang agung paladin pemberian Raja kaum Frank; Karel Yang Agung.
Selama Roland bersimpuh, gagak dan condor banyak berdatangan. Entah dari kapan, tapi jumlah mereka tak kalah banyak dari mayat yang bergeletakan. Mereka mengoyak daging dari tangan atau kaki yang lepas, merobek isi perut dan mengacak-acak usus serta jeroan lainnya, mencungkil bola mata, bahkan merobek kuping juga.
Matahari belum sepenuhnya condong ke Barat. Pun udara hanya membawa bebauan menyengat seperti, anyir, amis, dan hal lain yang memuakan. Roland menahan seluruh penderitaannya. Perutnya yang koyak hingga membuat darah naik ke tenggorokan tak membuat dirinya pingsan. Malahan, tatapan Roland semakin tajam, ingin menjemput kemenangan dengan berjalan pulang menuju Perancis menyusul paladin lainnya dan memastikan keselamatan Karel Yang Agung.
Langit menjadi gelap, awan hanya sedikit. Biasanya langit akan memiliki warna biru, karena warna itu berasal dari pantulan biru laut belaka. Tapi, kali ini lain. Langit menjadi amat suram, pancaran warnya yang marun diperoleh dari pantulan tanah bersimbah darah. Langit gelap bukan karena mendung, langit gelap karena menjadi saksi pengorbanan Roland melawan seratus ribu pasukan Saracen sendirian, demi keselamatan Rajanya.
Tidak hanya mayat manusia di antara banyaknya pasukan yang telah dikalahkan Roland menggunakan durandal. Ada pula Orc, makhluk berbadan besar yang besarnya dua kali lipat manusia pada umumnya dengan taring serta muka yang seperti babi. Berkompi-kompi Goblin dengan tunggangan mereka, seperti; serigala, babi hutan, bahkan anjing-anjing raksasa semuanya telah ditebas oleh Roland menggunakan mata pedang durandal. Naga sekali pun, tunduk di bawah kaki Roland dengan sayap yang telah koyak dan kepalanya menggelinding entah kemana.
Dendam yang membumbung di udara bukanlah milik Roland, tetapi milik Marsile; Raja Saracen yang telah kelihangan tangan kanannya serta kehilangan kepala putranya. Sayangnya Roland tak dapat mengejar Marsile. Dengan dendam yang telah dipungut Marsile dan dibenamkannya dendam itu pada dadanya, Roland menjadi amat khawaitr akan serangan balik para Saracen.
Roland menjadi amat ketakutan. Bukan takut karena kematian atau gugurnya dia dalam perlawanan itu. Tapi, Roland amat takut apabila dia sudah tak bisa mempertahankan pedang durandal. Menurutnya kematian dirinya sendiri bukanlah soal, karena masih banyak paladin hebat di bawah naungan Karel Yang Agung. Jatuhnya durandal ke tangan musuh adalah bencana paling besar menurut Roland.
Durandal tak dapat dihancurkan. Pedang itu terlalu suci, durandal amatlah sakti. Buktinya, hanya dengan durandal, Roland dapat menaklukan begitu banyak musuh yang sekarang semuanya telah menjadi bangkai di sepanjang Jalur Gunung Roncevaux.
Di tengah lautan mayat tersebut, ada sebuah fenomena aneh yang terjadi di depan mata Roland. Perlahan mayat-mayat orang Saracen dan makhluk lain tersebut bergerak pada sebuah titik hitam, terseret memutar seperti pusaran air yang menyedot sekitarnya, bergelimpungan saling tindih berdesak-desakan. Pada pusaran mayat itu, muncul sebuah tangan menengadah ke atas, tangan kanan; begitu keriput, putih dan pucat sampai terlihat urat-uratnya yang biru, dan kuku panjangnya mirip porselen; begitu mengkilap.
Tangan kurus itu menunjuk Roland. Seketikan Roland memutahkan darah dari mulutnya. Dia terbatuk-batuk, dan sekali lagi darah keluar dari tenggorokannya.
Roland berteriak sekencang-kencangnya, telinganya terasa amat pekak, udara menjadi sangat menekan, tanah bergetar, langit pun bergema dan muncul suara entah darimana, “Roland, oh Roland. Kau begitu fana dan yang kekal hanya durandal semata. Apakah akhirnya kau sendiri yang akan membuat seluruh pasukan tuhan dilumat oleh para musuh-musuhnya? Sudah susah Jibril menurunkan nubuat ke Wayland sang pengrajin pedang untuk membuat durandal, sekarang malah kau tak mampu lagi menjadi ksatria, hanya bersimpuh seperti orang tersihir belaka.”
Tangan kurus yang menunjuk Roland perlahan mengais-ngais tanah. Mengambil kepala sembarang prajurit Saracen dan memotongnya. Kepala prajurit itu diangakat oleh tangan kurus tersebut. Kepala itu lalu membelalakan mata, pupilnya yang memutih kembali menyala dengan warna berbeda, kuning keemasan. Melalui kepala prajurit itu penghinaan terhadap Roland tadi kembali diteruskan, “Kau telah mensia-siakan berkat dari tuhan!”
“Tidak sama sekali! Walau pun aku mati, tak akan kubiarkan orang Saracen atau siapapun mengambil alih pedang ini!” Roland menengadahkan kepalnya, memantabkan pandangannya, serta mematangkan jiwanya. “Durandal akan aman bersamaku.”
“Omong kosong. Sebentar lagi kau pun akan menjadi mayat. Tubuhmu sudah sekarat. Bagaimana kau akan selamat? Karel Yang Agung dan para paladin tak mungkin secepat itu kembali ke sini.”
“Aku yakin mereka akan datang. Setidaknya untuk menyelamatkan durandal, menyerang balik para Saracen, serta menguasai kembali Pamplona dari orang-orang Basque.”
Terlalu banyak tragedi yang dialami Roland akhir-akhir ini. Kemenangan pasukan Frank atau orang-orang Perancis di bawah kepemimpinan Karel Yang Agung pada pertempuran Pamplona malah membawa petaka. Hancurnya tembok ibukota para pasukan Basque di Pamplona ternyata tak membuat para biadab itu gentar. Malahan membuat pasukan Karel Yang Agung menjadi tercerai berai setelah mundur dari Pamplona ke Pirenia untuk kembali ke Prancis dan dikepung para Saracen di Jalur Gunung Roncevaux.
Tangan kurus itu semakin menyodorkan kepala pasukan asing itu lebih dekat ke arah muka Roland sembari meneruskan cemoohnya, “Memangnya dengan apa kau akan bertahan?”
Roland hanya diam. Dia berdiri dengan sempoyongan, melangkah maju meninggalkan tangan kurus di antara tumpukan mayat yang menggenggam kepala prajurit asing itu. sekarang kondisi Roland sudah tak memungkinkan lagi. Biar pun api pada jantungnya terus membara untuk kembali ke Prancis, tapi badanya telah koyak belaka.
Gagak dan condor mengikuti kemanapun langkah Roland pergi. Mereka membisikan kata ‘mati’. Tapi, Roland tak akan berhenti selagi durandal masih dalam genggamannya, selagi gelar paladin bertengger pada namanya, dan selagi Karel Yang Agung menjadi raja panutannya.
Saat Roland telah jauh melangkah, tangan kurus itu menjadi gundah. Dia melemparkan kepala prajurit itu, mengepal dan memukuli mayat-mayat di sekitarnya, tenggelam dalam pusaran para orang mati, lalu menghilang.
Udara di sekeliling Roland menjadi makin ramai. Jika dilihat dari jauh kumpulan gagak dan condor tersebut mirip dengan kepulan hitam asap pada api yang mengiringi langkah kaki Roland pergi.
Gagak mulai berkoak satu sama lain, makin lama makin kencang, dan dalam koak gagak itu suara kembali menyeruak, “Lalu apa yang akan kau lakukan Roland? Mati sambil berdiri?”
Roland tetap meneggakkan langkahnya. Dia tak menggubris bisikan suara itu, koakan para gagak, atau pun ratapan para mayat di sepanjang jalannya menuju Perancis.
Langkah kakinya pun berhenti, persis di kaki langit saat senja telah menanti. Roland pun mati, dalam keadaan berdiri, dan durandal tetap pada genggamannya. Tempat di mana Roland mati pada beberapa abad nanti akan menjadi Rocamadour, di mana para biarawan di sana akan selalu menceritakan bahwa tak ada seorang pun yang dapat melepaskan durandal dari tangan Roland hingga dia dikebumikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
վմղíα | HV💕
salam kenal mampir juga kecerita ku
2023-03-28
0