Bel berbunyi nyaring dari ruang makan. Para pelayan serta pengurus kebun berkumpul dengan amat riang. Mereka memasuki ruang makan yang meja di dalamnya telah penuh dengan berbagai macam makanan. Mulai dari roti-roti gandum, keju, susu, sosis, daging panggang, babi guling, pun kalkun utuh menghiasi meja makan tersebut. Sepasang Hidalgo, Cletus dan Maria memanggil mereka semua.
Semua orang bahagia, langit senja ikut bahagia, pun rerumputan pada hamparan padang ilalang seluruh Negri Franka ikut berbahagia. Negri Franka atau kerajaan barbar pasca-Romawi adalah negri yang akan menjadi cikal bakal negara Perancis dan Jerman, bahkan sepertinya Perbatasan Breton yang didiami keluarga ini terasa amat damai, padahal biasanya sangat ramai karena peperangan perebutan wilayah.
Makan malam kali ini berbeda dengan makan malam di malam-malam lainnya. Pasalnya, pasangan tersebut sedang amat berbahagia. Setelah lima belas tahun pernikahan mereka berjalan, akhirnya sang istri pun hamil. Keluarga Hidalgo ini memang selalu makan bersama dengan seluruh pelayan dan pengurus kebun, jadi bukan kali ini saja mereka menjadi dermawan, tetapi mereka memang selalu senantiasa berbagi. Karena kebaikan hati Cletus dan Maria, setiap makan malam-tanpa di suruh-setelah berdoa makan mereka akan mendoakan keluarga tersebut agar memiliki momongan.
Doa mereka telah terkabul. Walau pun begitu, seluruh anggota di rumah Cletus tetap memanjatkan doa untuk tuhan. Kali ini dan seterusnya, mereka berdoa agar bayi pada kandungan maria menjadi; tangguh, kuat, dan pemberani apabila laki-laki, dan anggun, suci, serta menawan apabila dia terlahir perempuan.
Hari-hari mereka selalu terasa membahagiakan. Anak dalam kandungan tumbuh sesuai dengan doa-doa mereka.
Sembilan bulan telah berlalu. Pada sebuah malam purnama, seorang dokter tengah mempersiapkan persalinan Maria. Para pelayan menunggu dengan gundah di luar rumah. Salah satu tukang kebun ada yang kebingungan hingga merasa salah tingkah, mengambil cangkul dan menggali-gali tanah hingga kedalamannya dapat mengubur seseorang di dalam ceruk tanah itu. Cletus merasa was-was, dia mondar-mandir tak tau arah, memandang bulan pun dia jengah karena tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.
Tepat tengah malam, tepat bulan bersinar dengan terangnya, tepat pula tukang kebun mencangkul dengan kedalaman tanah yang sesuai perkataan roh di kepalanya, Maria melahirkan dua orang anak. Tangis mereka pecah pada malam rekah. Cletus dengan gegabah berlari mamasuki ruangan Maria di rawat, para pelayan serta para tukang kebun pun menyusul Cletus.
Alangkah bahagia wajah mereka, Cletus serta para pengikutnya. Tetapi, dokter menunduk lemas, Maria memandang kosong dengan air mata mengalir di pipi. Sekarang hanya tinggal seorang bayi saja yang menangis. Bayi laki-laki yang amat terlihat berisi badannya.
Bayi yang satunya, perempuan. Meninggal setelah tangis pertama keluar dari mulut mungil bayi perempuan itu. Semua orang di sana tak tahu tingkah apa yang harus diperbuat. Satu tukang kebun terakhir datang, dia lah yang tadi menggali tanah.
“Apakah tuan muda kita telah lahir ke dunia?” Tanya tukang kebun itu dengan riang. Tetapi saat melihat kondisi tersebut, wajah tukang kebun itu langsung menjadi pucat. Dia keluar dari ruangan persalinan itu disusul oleh seorang pelayan.
“Ya. Dan kita juga telah kehilangan nona kita.” Ucap salah seorang pelayan.
“Apa maksudmu?”
Cletus keluar menghampiri mereka berdua berusaha untuk meluruskan kabar, “Tak ada maksud apa pun. Yang lahir biarlah dia menjadi kuat agar tetap tegar mengarungi samudra kehidupan. Dan putriku, biarkan dia menjadi salah satu malaikat di sisi Bunda Maria.”
“Tapi tuan,” Tukang kebun menjadi gugup, “Bukan bermaksud lancang. Saat persalinan tadi, saya telah menggali liang lahat untuk kuburan. Entah kenapa, saya mendapat bisikan.“
“Bisikan?”
“Ya…”
“Kau? Begitu lancangnya menggali kubur sebelum anak-anakku benar dilahirkan di dunia ini.” Cletus kehilangan rasa sabar, dia membentak tukang kebun tersebut, “Iblis macam apa yang menyuruhmu? Katakan!”
“Mohon maafkan hambamu ini tuan. Saya tidak bermaksud lancang. Tetapi ada sebuah tangan gaib yang mendorongku untuk mengambil cangkul dan menunjuk-nunjuk tanah untuk digali.”
“Lupakanlah. Semua ini hanya akan menambah kesedihan Maria.”
“Tapi tuan…”
“Aku yang minta maaf. Tak seharusnya seorang tuan dan hidalgo sepertiku mencacimu. Aku akan menenangkan maria dan aku juga minta tolong kepadamu untuk menguburkan putriku. Lalu kau.” Menunjuk pelayan, “persiapkan proses pemakaman putriku dengan pelayan lainnya.”
“Baik, tuan.”
Dan begitulah saat-saat kelahiran Roland. Kelahirannya dibersamai oleh kematian saudara kembar perempuannya. Suasana kelahiran Roland berbeda dengan pengumuman kehamilan. Tak ada pesta, tak ada roti dan teman-temannya, hanya ada tangis di sela-sela mereka. Secara tak langsung, energi kehidupan saudara perempuan Roland sebenarnya berada pada dirinya. Dengan energi tersebut, Roland kecil tumbuh menjadi bocah yang amat pandai, kuat, serta taat dalam peribadatan, menunjukan sisi di mana dirinya akan menjadi paladin di masa depan.
***
Sejak usia dua tahun, Roland sudah menjadi bocah yang amat lincah. Dia sering berlarian keliling rumahnya yang luas, melompat dari perabotan satu ke perabotan lain, sampai ikut mencabuti rumput di area sekitar rumah besar keuarga hidalgo itu. Cletus dan Maria amat berbahagia, mereka tak lagi mencemaskan keadaan anaknya bahkan tak pernah lagi bersedih atas kematian putri mereka.
Cletus dan Maria menganggap bahwa putri kembaran Roland tak perlu ditangisi, karena dia akan selalu berbahagia di surga, dan putri mereka juga tak perlu khawatir hidup di tengah kekacauan perang serta makhluk-makhluk malam.
Roland kecil amat suka dengan hewan, kasih sayangnya terhadap binatang serta orang-orang di sekitarnya tumbuh dengan rindag. Dia paling suka ketika diajak berkuda oleh ayahnya.
Pada umur empat tahun, Roland sudah mulai bisa membaca. Soal bicara? Roland sudah fasih berbicara saat umurnya menginjak tiga. Roland amat menyukai bacaan tentang pengembaraan ksatria. Saat para ksatria menghalau naga yang menyerang sebuah perkampungan dan naga api itu menyemburkan api dari udara, membasmi goblin pencuri ladang, ksatria yang bergulat dengan minotaur, bahkan kisah Hector dari Troya sudah dibaca Roland. Karena bosan dan sudah kehabisan bacaan, Roland kecil mengamuk sejadi-jadinya. Dengan tangan mungilnya, dia dapat merobek buku setebal tujuh ratus halaman berisi kumpulan epos.
Itu adalah kekuatan yang gila. Cletus tak bisa membiarkannya begitu saja. Tak mau dia jika nanti Roland akan terus mengamuk dan menjadi semakin destruktif. Kebiasaan mengamuk Roland harus dihentikan sekarang juga pikirnya. Sebelum mendapat ide untuk menyalurkan kekuatan anaknya yang begitu besar, Cletus sebenarnya masih memiliki kesibukan.
Saat itu Cletus menjadi kebingungan. Bagaimana tidak? Saat kandang kudanya sedang ramai, anaknya ikut menangis karena kebosanan. Mengingat bahwa Roland amat suka binatang dan berkuda, Cletus membopong anaknya menuju kandang kuda. Di sana, Roland menyaksikan kelahiran seekor kuda yang diberinama Veillantif. Nama itu diberikan oleh seorang tukang kebun yang membantu persalinan, kata tukang kebun itu Veillantif berarti waspada, dan kuda tersebut akan menjadi tunggangan setia Roland nanti di masa depan.
Roland menjadi amat girang, air mukanya berseri melihat bayi kuda yang masih tertatih jalannya, dijilati oleh indukannya, dan dikerubungi para pengurus rumah. Dia meminta diturunkan oleh ayahnya. Berjalan dengan lucu menghampiri si kuda kecil. Dengan lugu, Roland mengelus kuda itu. Sebenarnya Cletus merasa was-wasa, takut anaknya akan menyakiti hewan itu dengan tangan kuatnya, tetapi tidak. Roland adalah anak yang sangat penyayang, walau pun kekuatan sangat amat melimpah pada tubuhnnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments