Roland bersimpuh di tengah ribuan bangkai pasukan Saracen, di antara bau anyir darah membadai, di ujung paling jauh jalur Gunung Roncevaux. Untuk saat ini tak ada pemandangan indah, tak ada aliran sungai serta ikan air tawar di dalamnya, tak ada pepohonan pinus yang besar batangnya, tak ada pula sinar hangat matahari yang rebah pada Jalur Gunung Roncevaux. Hanya kekejian, dendam, dan Roland dengan durandal; pedang agung paladin pemberian Raja kaum Frank; Karel Yang Agung.
Selama Roland bersimpuh, gagak dan condor banyak berdatangan. Entah dari kapan, tapi jumlah mereka tak kalah banyak dari mayat yang bergeletakan. Mereka mengoyak daging dari tangan atau kaki yang lepas, merobek isi perut dan mengacak-acak usus serta jeroan lainnya, mencungkil bola mata, bahkan merobek kuping juga.
Matahari belum sepenuhnya condong ke Barat. Pun udara hanya membawa bebauan menyengat seperti, anyir, amis, dan hal lain yang memuakan. Roland menahan seluruh penderitaannya. Perutnya yang koyak hingga membuat darah naik ke tenggorokan tak membuat dirinya pingsan. Malahan, tatapan Roland semakin tajam, ingin menjemput kemenangan dengan berjalan pulang menuju Perancis menyusul paladin lainnya dan memastikan keselamatan Karel Yang Agung.
Langit menjadi gelap, awan hanya sedikit. Biasanya langit akan memiliki warna biru, karena warna itu berasal dari pantulan biru laut belaka. Tapi, kali ini lain. Langit menjadi amat suram, pancaran warnya yang marun diperoleh dari pantulan tanah bersimbah darah. Langit gelap bukan karena mendung, langit gelap karena menjadi saksi pengorbanan Roland melawan seratus ribu pasukan Saracen sendirian, demi keselamatan Rajanya.
Tidak hanya mayat manusia di antara banyaknya pasukan yang telah dikalahkan Roland menggunakan durandal. Ada pula Orc, makhluk berbadan besar yang besarnya dua kali lipat manusia pada umumnya dengan taring serta muka yang seperti babi. Berkompi-kompi Goblin dengan tunggangan mereka, seperti; serigala, babi hutan, bahkan anjing-anjing raksasa semuanya telah ditebas oleh Roland menggunakan mata pedang durandal. Naga sekali pun, tunduk di bawah kaki Roland dengan sayap yang telah koyak dan kepalanya menggelinding entah kemana.
Dendam yang membumbung di udara bukanlah milik Roland, tetapi milik Marsile; Raja Saracen yang telah kelihangan tangan kanannya serta kehilangan kepala putranya. Sayangnya Roland tak dapat mengejar Marsile. Dengan dendam yang telah dipungut Marsile dan dibenamkannya dendam itu pada dadanya, Roland menjadi amat khawaitr akan serangan balik para Saracen.
Roland menjadi amat ketakutan. Bukan takut karena kematian atau gugurnya dia dalam perlawanan itu. Tapi, Roland amat takut apabila dia sudah tak bisa mempertahankan pedang durandal. Menurutnya kematian dirinya sendiri bukanlah soal, karena masih banyak paladin hebat di bawah naungan Karel Yang Agung. Jatuhnya durandal ke tangan musuh adalah bencana paling besar menurut Roland.
Durandal tak dapat dihancurkan. Pedang itu terlalu suci, durandal amatlah sakti. Buktinya, hanya dengan durandal, Roland dapat menaklukan begitu banyak musuh yang sekarang semuanya telah menjadi bangkai di sepanjang Jalur Gunung Roncevaux.
Di tengah lautan mayat tersebut, ada sebuah fenomena aneh yang terjadi di depan mata Roland. Perlahan mayat-mayat orang Saracen dan makhluk lain tersebut bergerak pada sebuah titik hitam, terseret memutar seperti pusaran air yang menyedot sekitarnya, bergelimpungan saling tindih berdesak-desakan. Pada pusaran mayat itu, muncul sebuah tangan menengadah ke atas, tangan kanan; begitu keriput, putih dan pucat sampai terlihat urat-uratnya yang biru, dan kuku panjangnya mirip porselen; begitu mengkilap.
Tangan kurus itu menunjuk Roland. Seketikan Roland memutahkan darah dari mulutnya. Dia terbatuk-batuk, dan sekali lagi darah keluar dari tenggorokannya.
Roland berteriak sekencang-kencangnya, telinganya terasa amat pekak, udara menjadi sangat menekan, tanah bergetar, langit pun bergema dan muncul suara entah darimana, “Roland, oh Roland. Kau begitu fana dan yang kekal hanya durandal semata. Apakah akhirnya kau sendiri yang akan membuat seluruh pasukan tuhan dilumat oleh para musuh-musuhnya? Sudah susah Jibril menurunkan nubuat ke Wayland sang pengrajin pedang untuk membuat durandal, sekarang malah kau tak mampu lagi menjadi ksatria, hanya bersimpuh seperti orang tersihir belaka.”
Tangan kurus yang menunjuk Roland perlahan mengais-ngais tanah. Mengambil kepala sembarang prajurit Saracen dan memotongnya. Kepala prajurit itu diangakat oleh tangan kurus tersebut. Kepala itu lalu membelalakan mata, pupilnya yang memutih kembali menyala dengan warna berbeda, kuning keemasan. Melalui kepala prajurit itu penghinaan terhadap Roland tadi kembali diteruskan, “Kau telah mensia-siakan berkat dari tuhan!”
“Tidak sama sekali! Walau pun aku mati, tak akan kubiarkan orang Saracen atau siapapun mengambil alih pedang ini!” Roland menengadahkan kepalnya, memantabkan pandangannya, serta mematangkan jiwanya. “Durandal akan aman bersamaku.”
“Omong kosong. Sebentar lagi kau pun akan menjadi mayat. Tubuhmu sudah sekarat. Bagaimana kau akan selamat? Karel Yang Agung dan para paladin tak mungkin secepat itu kembali ke sini.”
“Aku yakin mereka akan datang. Setidaknya untuk menyelamatkan durandal, menyerang balik para Saracen, serta menguasai kembali Pamplona dari orang-orang Basque.”
Terlalu banyak tragedi yang dialami Roland akhir-akhir ini. Kemenangan pasukan Frank atau orang-orang Perancis di bawah kepemimpinan Karel Yang Agung pada pertempuran Pamplona malah membawa petaka. Hancurnya tembok ibukota para pasukan Basque di Pamplona ternyata tak membuat para biadab itu gentar. Malahan membuat pasukan Karel Yang Agung menjadi tercerai berai setelah mundur dari Pamplona ke Pirenia untuk kembali ke Prancis dan dikepung para Saracen di Jalur Gunung Roncevaux.
Tangan kurus itu semakin menyodorkan kepala pasukan asing itu lebih dekat ke arah muka Roland sembari meneruskan cemoohnya, “Memangnya dengan apa kau akan bertahan?”
Roland hanya diam. Dia berdiri dengan sempoyongan, melangkah maju meninggalkan tangan kurus di antara tumpukan mayat yang menggenggam kepala prajurit asing itu. sekarang kondisi Roland sudah tak memungkinkan lagi. Biar pun api pada jantungnya terus membara untuk kembali ke Prancis, tapi badanya telah koyak belaka.
Gagak dan condor mengikuti kemanapun langkah Roland pergi. Mereka membisikan kata ‘mati’. Tapi, Roland tak akan berhenti selagi durandal masih dalam genggamannya, selagi gelar paladin bertengger pada namanya, dan selagi Karel Yang Agung menjadi raja panutannya.
Saat Roland telah jauh melangkah, tangan kurus itu menjadi gundah. Dia melemparkan kepala prajurit itu, mengepal dan memukuli mayat-mayat di sekitarnya, tenggelam dalam pusaran para orang mati, lalu menghilang.
Udara di sekeliling Roland menjadi makin ramai. Jika dilihat dari jauh kumpulan gagak dan condor tersebut mirip dengan kepulan hitam asap pada api yang mengiringi langkah kaki Roland pergi.
Gagak mulai berkoak satu sama lain, makin lama makin kencang, dan dalam koak gagak itu suara kembali menyeruak, “Lalu apa yang akan kau lakukan Roland? Mati sambil berdiri?”
Roland tetap meneggakkan langkahnya. Dia tak menggubris bisikan suara itu, koakan para gagak, atau pun ratapan para mayat di sepanjang jalannya menuju Perancis.
Langkah kakinya pun berhenti, persis di kaki langit saat senja telah menanti. Roland pun mati, dalam keadaan berdiri, dan durandal tetap pada genggamannya. Tempat di mana Roland mati pada beberapa abad nanti akan menjadi Rocamadour, di mana para biarawan di sana akan selalu menceritakan bahwa tak ada seorang pun yang dapat melepaskan durandal dari tangan Roland hingga dia dikebumikan.
Bel berbunyi nyaring dari ruang makan. Para pelayan serta pengurus kebun berkumpul dengan amat riang. Mereka memasuki ruang makan yang meja di dalamnya telah penuh dengan berbagai macam makanan. Mulai dari roti-roti gandum, keju, susu, sosis, daging panggang, babi guling, pun kalkun utuh menghiasi meja makan tersebut. Sepasang Hidalgo, Cletus dan Maria memanggil mereka semua.
Semua orang bahagia, langit senja ikut bahagia, pun rerumputan pada hamparan padang ilalang seluruh Negri Franka ikut berbahagia. Negri Franka atau kerajaan barbar pasca-Romawi adalah negri yang akan menjadi cikal bakal negara Perancis dan Jerman, bahkan sepertinya Perbatasan Breton yang didiami keluarga ini terasa amat damai, padahal biasanya sangat ramai karena peperangan perebutan wilayah.
Makan malam kali ini berbeda dengan makan malam di malam-malam lainnya. Pasalnya, pasangan tersebut sedang amat berbahagia. Setelah lima belas tahun pernikahan mereka berjalan, akhirnya sang istri pun hamil. Keluarga Hidalgo ini memang selalu makan bersama dengan seluruh pelayan dan pengurus kebun, jadi bukan kali ini saja mereka menjadi dermawan, tetapi mereka memang selalu senantiasa berbagi. Karena kebaikan hati Cletus dan Maria, setiap makan malam-tanpa di suruh-setelah berdoa makan mereka akan mendoakan keluarga tersebut agar memiliki momongan.
Doa mereka telah terkabul. Walau pun begitu, seluruh anggota di rumah Cletus tetap memanjatkan doa untuk tuhan. Kali ini dan seterusnya, mereka berdoa agar bayi pada kandungan maria menjadi; tangguh, kuat, dan pemberani apabila laki-laki, dan anggun, suci, serta menawan apabila dia terlahir perempuan.
Hari-hari mereka selalu terasa membahagiakan. Anak dalam kandungan tumbuh sesuai dengan doa-doa mereka.
Sembilan bulan telah berlalu. Pada sebuah malam purnama, seorang dokter tengah mempersiapkan persalinan Maria. Para pelayan menunggu dengan gundah di luar rumah. Salah satu tukang kebun ada yang kebingungan hingga merasa salah tingkah, mengambil cangkul dan menggali-gali tanah hingga kedalamannya dapat mengubur seseorang di dalam ceruk tanah itu. Cletus merasa was-was, dia mondar-mandir tak tau arah, memandang bulan pun dia jengah karena tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.
Tepat tengah malam, tepat bulan bersinar dengan terangnya, tepat pula tukang kebun mencangkul dengan kedalaman tanah yang sesuai perkataan roh di kepalanya, Maria melahirkan dua orang anak. Tangis mereka pecah pada malam rekah. Cletus dengan gegabah berlari mamasuki ruangan Maria di rawat, para pelayan serta para tukang kebun pun menyusul Cletus.
Alangkah bahagia wajah mereka, Cletus serta para pengikutnya. Tetapi, dokter menunduk lemas, Maria memandang kosong dengan air mata mengalir di pipi. Sekarang hanya tinggal seorang bayi saja yang menangis. Bayi laki-laki yang amat terlihat berisi badannya.
Bayi yang satunya, perempuan. Meninggal setelah tangis pertama keluar dari mulut mungil bayi perempuan itu. Semua orang di sana tak tahu tingkah apa yang harus diperbuat. Satu tukang kebun terakhir datang, dia lah yang tadi menggali tanah.
“Apakah tuan muda kita telah lahir ke dunia?” Tanya tukang kebun itu dengan riang. Tetapi saat melihat kondisi tersebut, wajah tukang kebun itu langsung menjadi pucat. Dia keluar dari ruangan persalinan itu disusul oleh seorang pelayan.
“Ya. Dan kita juga telah kehilangan nona kita.” Ucap salah seorang pelayan.
“Apa maksudmu?”
Cletus keluar menghampiri mereka berdua berusaha untuk meluruskan kabar, “Tak ada maksud apa pun. Yang lahir biarlah dia menjadi kuat agar tetap tegar mengarungi samudra kehidupan. Dan putriku, biarkan dia menjadi salah satu malaikat di sisi Bunda Maria.”
“Tapi tuan,” Tukang kebun menjadi gugup, “Bukan bermaksud lancang. Saat persalinan tadi, saya telah menggali liang lahat untuk kuburan. Entah kenapa, saya mendapat bisikan.“
“Bisikan?”
“Ya…”
“Kau? Begitu lancangnya menggali kubur sebelum anak-anakku benar dilahirkan di dunia ini.” Cletus kehilangan rasa sabar, dia membentak tukang kebun tersebut, “Iblis macam apa yang menyuruhmu? Katakan!”
“Mohon maafkan hambamu ini tuan. Saya tidak bermaksud lancang. Tetapi ada sebuah tangan gaib yang mendorongku untuk mengambil cangkul dan menunjuk-nunjuk tanah untuk digali.”
“Lupakanlah. Semua ini hanya akan menambah kesedihan Maria.”
“Tapi tuan…”
“Aku yang minta maaf. Tak seharusnya seorang tuan dan hidalgo sepertiku mencacimu. Aku akan menenangkan maria dan aku juga minta tolong kepadamu untuk menguburkan putriku. Lalu kau.” Menunjuk pelayan, “persiapkan proses pemakaman putriku dengan pelayan lainnya.”
“Baik, tuan.”
Dan begitulah saat-saat kelahiran Roland. Kelahirannya dibersamai oleh kematian saudara kembar perempuannya. Suasana kelahiran Roland berbeda dengan pengumuman kehamilan. Tak ada pesta, tak ada roti dan teman-temannya, hanya ada tangis di sela-sela mereka. Secara tak langsung, energi kehidupan saudara perempuan Roland sebenarnya berada pada dirinya. Dengan energi tersebut, Roland kecil tumbuh menjadi bocah yang amat pandai, kuat, serta taat dalam peribadatan, menunjukan sisi di mana dirinya akan menjadi paladin di masa depan.
***
Sejak usia dua tahun, Roland sudah menjadi bocah yang amat lincah. Dia sering berlarian keliling rumahnya yang luas, melompat dari perabotan satu ke perabotan lain, sampai ikut mencabuti rumput di area sekitar rumah besar keuarga hidalgo itu. Cletus dan Maria amat berbahagia, mereka tak lagi mencemaskan keadaan anaknya bahkan tak pernah lagi bersedih atas kematian putri mereka.
Cletus dan Maria menganggap bahwa putri kembaran Roland tak perlu ditangisi, karena dia akan selalu berbahagia di surga, dan putri mereka juga tak perlu khawatir hidup di tengah kekacauan perang serta makhluk-makhluk malam.
Roland kecil amat suka dengan hewan, kasih sayangnya terhadap binatang serta orang-orang di sekitarnya tumbuh dengan rindag. Dia paling suka ketika diajak berkuda oleh ayahnya.
Pada umur empat tahun, Roland sudah mulai bisa membaca. Soal bicara? Roland sudah fasih berbicara saat umurnya menginjak tiga. Roland amat menyukai bacaan tentang pengembaraan ksatria. Saat para ksatria menghalau naga yang menyerang sebuah perkampungan dan naga api itu menyemburkan api dari udara, membasmi goblin pencuri ladang, ksatria yang bergulat dengan minotaur, bahkan kisah Hector dari Troya sudah dibaca Roland. Karena bosan dan sudah kehabisan bacaan, Roland kecil mengamuk sejadi-jadinya. Dengan tangan mungilnya, dia dapat merobek buku setebal tujuh ratus halaman berisi kumpulan epos.
Itu adalah kekuatan yang gila. Cletus tak bisa membiarkannya begitu saja. Tak mau dia jika nanti Roland akan terus mengamuk dan menjadi semakin destruktif. Kebiasaan mengamuk Roland harus dihentikan sekarang juga pikirnya. Sebelum mendapat ide untuk menyalurkan kekuatan anaknya yang begitu besar, Cletus sebenarnya masih memiliki kesibukan.
Saat itu Cletus menjadi kebingungan. Bagaimana tidak? Saat kandang kudanya sedang ramai, anaknya ikut menangis karena kebosanan. Mengingat bahwa Roland amat suka binatang dan berkuda, Cletus membopong anaknya menuju kandang kuda. Di sana, Roland menyaksikan kelahiran seekor kuda yang diberinama Veillantif. Nama itu diberikan oleh seorang tukang kebun yang membantu persalinan, kata tukang kebun itu Veillantif berarti waspada, dan kuda tersebut akan menjadi tunggangan setia Roland nanti di masa depan.
Roland menjadi amat girang, air mukanya berseri melihat bayi kuda yang masih tertatih jalannya, dijilati oleh indukannya, dan dikerubungi para pengurus rumah. Dia meminta diturunkan oleh ayahnya. Berjalan dengan lucu menghampiri si kuda kecil. Dengan lugu, Roland mengelus kuda itu. Sebenarnya Cletus merasa was-wasa, takut anaknya akan menyakiti hewan itu dengan tangan kuatnya, tetapi tidak. Roland adalah anak yang sangat penyayang, walau pun kekuatan sangat amat melimpah pada tubuhnnya.
Ladang yang dikelola keluarga Hidalgo Cletus amatlah luas. Penduduk sekitar pun banyak yang dipekerjakan menjadi buruh petani. Dapat dipastikan bahwa para warga daerah sana amat makmur. Para remaja yang masih bimbang menentukan masa depan mereka sebelum mengadu peruntungan di kota, biasanya akan bekerja pada ladang Cletus terlebih dahulu untuk mengumpulkan modal. Pun para orang tua yang tak memiliki keahlian tertentu dapat bekerja dengan tekun di ladang Cletus. Keluarga Cletus adalah salah satu keluarga yang memiliki kemakmuran berlebih di daerah Perbatasan Breton.
Gandum adalah tanaman paling lumrah yang ditanam di sana. Hamparan ladang saat gandum-gandum itu menguning sepenuhnya terlihat bagaikan koin-koin emas bertebaran yang mengkilap terkena bias cahaya surya. Di sisi lain, ada pula sebagian lahan yang ditanami sayur-sayuran menyesuaikan dengan musim tanamnya. Pekerja di ladang Cletus tak hanya mereka yang bertani saja, tapi ada juga beberapa penjaga ladang yang berasal dari pasukan garda depan di Perbatasan Breton.
Para pasukan tersebut memang ditugaskan ke tiap-tiap ladang atau perkampungan, guna melindungi sektor-sektor paling lemah terhadap serangan dan menahan atau mengejar musuh apabila ada pasukan musuh yang lolos dari sergapan pasukan garda depan. Setidaknya, pendidikan dasar pertahanan diri serta perlindungan properti pribadi diberikan oleh pasukan Perbatasan Breton agar para warga tak mudah untuk ditaklukan. Lokakarya penggunaan senjata semacam pedang, kapak, tombak, dan panah pun diberikan.
Pendidikan tersebut diberikan kepada anak-anak yang masih belia sampai kepada orang-orang dewasa. Rasa awas ditanamkan ke siapa saja, karena serangan musuh tak akan pandang bulu kepada siapa-siapanya. Porsi latihan pun disesuaikan antara anak-anak dan orang dewasa. Biasanya sesi pelatihan dilakukan ketika sore hari saat seluruh pekerjaan telah diselesaikan.
Untuk membayar jasa para penjaga dan rasa cinta tanah air, Cletus tak segan memberikan berkarung-karung gandum untuk diberikan ke para prajurit dan dikirimkan ke garda depan. Cletus amat memahami bahwa orang Breton amat keras kepala dan serangan ke perbatasan selalu menyulitkan para prajurit Frank. Maka dari itu, jika Cletus tak dapat membantu melalui jalan pedang maka dia berharap dapat membantu para prajurit melalui sokongan lumbung gandum dan ketersediaan pangan.
Alasan kenapa para prajurit lebih memilih gandum daripada produk yang sudah jadi adalah, gandum yang masih belum diolah akan lebih awet bertahan dari pada produk semacam roti yang sudah dicampur ragi dan dapat dengan mudah menjamur. Maka dari itu, para prajurit mengolah sendiri gandum-gandum mereka sesuai kebutuhan pangan mereka. Tak hanya gandum saja, tetapi para warga juga ada yang mengirim bahan makanan lain sesuai dengan kekayaan milik mereka masing-masing.
Apabila ada warga pemilik peternakan, mereka bisa saja mengirim keju, atau daging olahan. Terkadang pun susu, tapi susu biasanya akan langsung dihabiskan oleh para prajurit agar tidak sia-sia dan menjadi basi. Pengelolaan dan menejemen pangan para prajurit sangat diperhatikan, dan para warga juga telah memahaminya.
Daerah kekuasaan Frank di Perbatasan Breton tepatnya bernama Comte du Maine. Daerah ini pun berbatasan langsung dengan Normandie di sebelah utaranya. Terdapat dua benteng yang berdiri di Comte du Maine yang menghadap Perbatasan Breton yaitu, Benteng Mayenne yang agak menjorok ke utara dan Benteng Laval yang menghadap langsung daerah Breton.
Tak banyak memang benteng-benteng penjagaan yang ada di daerah Comte du Maine itu. Tetapi dengan bersinerginya para para prajurit dan warga dapat membuat pertahanan pada daerah ini cukup solid. Tak seperti daerah selatan Comte du Maine yang masih daerah milik Frank yaitu Anjou, daerah Anjou memiliki lebih banyak benteng di perbatasan mereka. Walau pun begitu, benteng-benteng Anjou yang berdekatan dengan Comte du Marie yaitu Benteng Chateau-Gontier, Craon, dan Pouance tetap memberi bala bantuan apabila daerah Comte du Marie mengalami kesulitan.
Penghalang benteng satu sama lain untuk saling mengirim bantuan hanyalah jarak dan persoalan daerah administrasi. Selain itu, tak ada perbedaan karena mereka semua adalah prajurit perbatasan di bawah pemerintahan Raja yang sama. Saling bahu membahu mempertahankan keutuhan daerah kekuasaan Karel Yang Agung adalah tanggung jawab para kaum Frank.
Selain para pasukan Breton di perbatasan, para warga dan prajurit pun harus selalu awas dengan para makhluk malam, sebutan untuk para makhluk buas selain manusia. Makhluk malam terdiri dari banyak jenis, mulai dari mereka yang berbentu humanoid seperti; goblin, orc, ghoul, troll, dan semacamnya, lalu; naga, chimera, pun makhluk air atau makhluk rawa yang banyak macamnya.
Penyerangan makhluk malam ada yang masih bisa diatasi oleh warga sendiri dan prajurit biasa, tapi ada juga makhluk yang tak bisa mereka tangani dan harus melibatkan paladin untuk turun tangan langsung. Makhluk-makhluk pencuri seperti goblin mudah saja dibasmi oleh para orang dewasa yang sudah menguasai ilmu dasar pedang. Untuk makhluk seperti naga dan chimera, tentu warga biasa akan sangat kesulitan menanganinya.
Pada tahun-tahun tersebut, pembasmian para makhluk malam belum sepenuhnya dilakukan. Para paladin dan pasukan kerajaan sedang bersinergi untuk peperangan yang sedang dipersiapkan Karel Yang Agung. Untuk saat-saat seperti itu, para warga memang harus awas dan waspada terhadap serangan makhluk malam yang dapat terjadi kapan saja.
Pun ladang gandum milik Cletus tak lepas dari incaran para makhluk malam. Kejadian yang paling sering dialami adalah kasus pencurian ikatan-ikatan gandum yang belum digiling dan pencurian sayuran. Kadang-kadang, kandang kuda dan peternakan sederhana keluarga Cletus pun diterobos juga.
Jika pencurinya adalah manusia itu sepertinya tak mungkin. Cletus menganggap bahwa para warga sekitar ladangnya pasti hidup berkecukupan. Apalagi keluarga Hidalgo Cletus tak segan meminjamkan atau memberikan sebagian milik mereka untuk orang-orang yang memang tak mampu. Jadi, mencuri adalah hal keji yang tak akan dapat Cletus ampuni.
Pada minggu-minggu panen gandum, kasus pencurian gandum di ladang Cletus semakin meningkat. Karena geram, Cletus pun mengajak para tukang kebun serta beberapa prajurit untuk berpatroli malam menggunakan obor atau lentera.
Mendengar hal tersebut, Roland kecil tertarik untuk ikut. Tetapi Cletus melarangnya. Cletus amat khawatir apabila benar-benar yang mencuri di ladang adalah para makhluk malam, dia tak ini anaknya menjadi korban atau menyaksikan kejadian-kejadian yang tak diinginkan.
Dengan ijin dari para prajurit, Cletus, serta tukang kebun dapat mempersenjatai diri mereka. Pedang dan kapak dipersiapkan. Busur-busur direntangkan dan diteliti kekuatan renggang serta pegasnya, anak panah dikumpulkan, tombak-tombak diruncingkan.
Persiapan telah selesai, Cletus segera memerintahkan para tukang kebun dan prajurit untuk berkeliling sesuai rute masing-masing.
Cahaya terang obor serta lentera-lentera menyebar luas ke berbagi sudut ladang. Mereka menyebar seperti kunang-kunang yang menerangi bimbang. Cahaya-cahaya itu harusnya dapat menggentarkan niat mereka yang ingin mencuri.
Sejatinya pencuri, mereka akan tetap mencuri. Gentar di hati akibat nyala lentera tak mengurungkan niat pencuri-pencuri itu. Mereka malah memanfaatkan keadaan dengan bersembunyi di area gelap yang tak terkena bias cahaya obor dan lentera.
Roland yang ditinggalkan di rumah merasa tak jenak dan berdebar hatinya. Petualangan di depan matanya tak boleh dilewatkan begitu saja. Maka dengan siasat bocahnya, Roland mulai mencari jalan kabur dari rumah untuk melakukan penyelidikan secara pribadi dan sembunyi-sembunyi dari ayahnya untuk mencari pencuri yang mengusik ladangnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!