Secangkir Teh

Nautiya menyodorkan sepucuk kertas pada Kakaknya, Berlian. Berlian mengernyit sebelum akhirnya menerimanya.

Berlian memandangi Nautiya seolah menagih penjelasan. Dengan lunglai Nautiya duduk di tepi ranjang kakaknya. Ia jengah.

"Tadi Mas Arhan datang, dia ngasih itu." Jelas Nautiya.

"Apa ini?"

"Kakak baca sendiri."

Barulah Berlian melihat sepucuk kertas itu. Surat perceraian. Hatinya membeku, seolah sedih merajai hati Berlian.

"Mas Arhan nyuruh kakak buat tanda tangan itu."

"Harusnya ini tugas pengacara, ngapain dia repot-repot ke sini?" Ucap Berlian heran.

Berlian mengedikkan bahunya. Ia juga sedikit bingung pada mantan abang iparnya itu.

"Aku rasa ini hanya dalihnya Mas Arhan aja. Dia pengen ketemu kakak deh." Terka Nautiya.

Begitukah? Tapi untuk apa? Apa pria itu masig menginginkannya.

"Kakak tanda tangan ya? Nanti biar aku yang kasih."

Berlian mengangguk.

"Kakak....," Berlian susah melanjutkannya lagi.

"Kenapa?"

"Kakak gak cinta lagi sama Mas Arhan kan? Kakak gak harepin Mas Arhan lagi kan?" Cecar Nautiya sedikit khawatir. Ia hanya takut Kakaknya masih mengharapkan pria itu lagi.

"Apa itu penting sekarang?"

Jeda.

"Apa jika kakak masih mengharapkan Mas Arhan, dia akan datang menjemput kakak?"

"Kakak akan terluka kalau kakak gak berusaha lupain Mas Arhan."

"Gak mungkin kakak gak lupain dia, hanya saja melupakannya gak semudah yang dibayangkan Ti. Dua tahun juga bukan waktu yang singkat untuk membuat kenangan indah."

Benar. Melupakan sesuatu yang sudah dipalu dalam ingatan sangat susah.

"Ah... terserah, kakak pusing mikirinnya." Kesal Berlian.

"Aku akan jagain kakak." Ujar Nautita sembari memeluk Berlian.

"Makasih Ti..." Lirih Berlian.

...****************...

Berlian meratapi nasibnya yang malang. Ia memandangi surat yang kemarin Nautiya berikan padanya. Ia juga sudah mennadatanginya.

Membayangkannya lagi, semua terasa begitu cepat. Kinu benar-benar ia telah kehilangan Arhan. Arhan menceraikannya tanpa ia tahu kesalahnnya.

Tiba-tiba saja air matanya lolos. Perpisahan itu nyata.

Berlian berangjat kerja setelah menitipkan surat pada Nautiya.

Tak lama setelahnya sebuah mobil berhenti di pekarangan rumah Berlian. Arhan.

Arhan kembali mengunjungi rumah Berlian dengan dalih mengambil apa yang ia titipkan tempo lalu. Alasan. Percayalah itu hanya alasan. Nyatanya ia ingin sekali bertemu Berlian, ia amat merindukannya. Perempuan yang selama dua tahun ini bertakhta baij di hatinya. Dan sampai sekarang Arhan masih enggan jika Berlian pergi dari singgasananya, walai Arhan sendiri yang mengusirnya.

Hari ini Arhan bertemu Bu Rahma, mantan ibu mertuanya. Bu Rahma mempersilakan Arhan masuk.

"Masuk Nak Arhan."

Arhan masuk dan duduk di sofa seperti biasanya. Arhan mengedarkan pandangannya, menilik adakah Berlian di sini?

"Minum Nak Arhan."

Bu Rahma menyuguhkan teh untuk Arhan. Dan jujur saja Arhan sangat merindukan teh buatan Bu Rahma, rasanya sama seperti buatan Berlian.

Dulu Arhan pernah bertanya mengapa teh Buatan Berlian begitu enak.

"*Li, gak tahu kenapa teh buatan kamu beda banget ya? Kamu tambahin apa sih?"

"Daun pandan sama melati Mas. Tambah harum kan*?"

Arhan menggeleng dan tersenyum mengingat kenangan itu. Arhan mengambil secangkir teh dan menyesapnya. Enak. Rasanya masih sama.

Semenjak ia bercerai dengan Berlian, untuk secangkir teh saja ia tak bisa menemukannya di tempat lain. Tak ada yang sama. Sungguh Arhan telah bergantung sepenuhnya pada Berlian.

"Tehnya masih sangat enak Bu." Puji Arhan.

Bu rahma hanya tersenyum kecil.

"Ada apa nak Arhan pagi-pagi ke rumah?" Tanya Bu Rahma lembut.

"Ada sedikit keperluan dengan dengan Berlian, Berlian ada Bu?" Arhan pun masih dengan nada yang sama, lembut tanpa ada perubahan.

"Gak ada!" Nautiya datang secara tiba-tiba. Nautiya meletakkan kertas putih di atas meja.

"Kalau yang Mas mau ini, tenang aja, Kak Berlian gak akan mempersulit Mas kok! Dia sudah tanda tangan."

"Tapi Berlian ke mana?" Arhan masih mengulik tentang Berlian.

"ke mana pun kak Berlian pergi, rasanya Mas Arhan gak lagi berhak tahu."

"Apa dia kerja?" Arhan keras kepala.

Berlian memutar bola matanya malas. Bagaimana bisa ada seorang laki-laki yang tak tahu malu, masih ingin tahu kehidupan mantan istri.

"Mas Arhan ini kenapa sih?" Geram Berlian, "Bersikap seolah-olah Mas Arhan masih suami kak Lian."

Nautiya melipak kedua tangannya di dada.

"Mas Arhan sudah membuangnya, jadi jangan berusaha memungutnya lagi."

Arhan kehabisan kata-kata, Nautiya begitu pintar dalam adu mulut. Kalau di pikir-pikir cocok juga ia jadi pengacara.

"Arhan pamit Bu." Arhan pasrah.

Arhan bangkit dan menyalami Bu Rahma yang ada di depannya.

"Hati-hati di jalan Nak Arhan." Pesan Bu Rahma.

"Baik Bu."

"Jangan kembali lagi Mas! Mas sudah tidak diterima lagi di rumah ini!"

"Nautiya!" Tegur Bu Raham yang sudah tidak enakan pada Arhan.

"Biar saja Bu! Biar dia tahu batasannya."

Arhan tetap tersenyum. Ia tak mau ambil hati dengan segala ucapan Nautiya. Ia tahu bahwa Nautiya marah padanya, dan hal itu pantas dilakukan. Arhan juga menjadi sedikit tenang , setidaknya Berlian ada yang jaga.

Arhan pun keluar dari rumah Berlian, tapi ia janji akan kembali lagi.

"Mas Arhan!"

Arhan membalikkan badannya ketika melihat Nautiya menghampirinya.

"Ambil ini. Jangan berusaha meninggalkannya lalu kembali ke rumah dengan alasan mengambil ini lagi. Aku muak melihay cara Mas Arhan."

Nautiya menyodorkan surat yang lupa Arhan ambil. Setelahnya ia pergi begitu saja.

...****************...

Hari ini adalah hari terakhir Berlian bekerja. Karna setelahnya Berlian akan tinghal di rumah. Apalagi ia juga ingin menyembunyikan kehamilannya dari Arhan. Otomatis ia harus berhenti, karna Arhan sudah tahu ia kembali bekerja di sini.

"Chel, makasih ya?" Ucap Berlian.

"Iya! Bakalan kangen lagi deh sama kamu."

"Nanti aku main-main deh ke sini lagi."

"Halah waktu ittu juga ngomongnya begitu."

Berlian hanya nyengir saja mendapat respon dari Rachel.

"Ya udah deh, aku pamit ya!?" Berlian pun mengambil amplop dari Rachel lalu berjalan beriringan dengan Cakra.

Cakra. Memang akhir-akhir ini ia selalu bersama Cakra.

Singkat cerita, Berlian sampai di rumah, ia mempersilakan Cakra masuk.

Bagi Cakra yang punya sifat ramah tamah, ia tak butuh waktu lama untuk bisa dekat denga keluarga Berlian, ia disambut baik oleh Bu Rahma dan juga Nautiya.

"Eh ada Nak Cakra, bikin minum Lian."

"Iya Bu!"

Setelah disuguhkan minuman oleh Berlian, Cakra kembali melanjutkan obrolannya dengan Bu Rahma. Ia nampak cocok dengan Bu Rahma.

"Tehnya enak, harum lagi." Ucap Cakra setelah menyesap teh buatan Berlian.

Berlian hanya tersenyum dan ikut bergabung.

"Mas Cakra suka?"

Cakra mengangguk. "Saya gak terlalu suak teh, tapi kayaknya saya mulai menyukainya."

Berlian kembali tersenyum mendapati pujian dari Cakra.

Tak berselang lama, Cakra ikut pamit pulang karna ada pasien. Dan setelah Cakra pergi, Bu Rahma menghampiri Berlian.

"Ibu suka deh liat Cakra."

"Iya, Mas Cakra memang baik Bu!" Jawab Berlian sembari duduk, Bu Rahma ikut duduk di sebelahnya.

"Kayaknya kalian cocok deh! Dia juga kelihatannya suka sama kamu." Bu Rahma berpendapat.

"Ibu jangan ngomong macam-macam deh. Berlian hanya menganggap dia teman. Lagi pula Lian belum resmi bercerai dengan Mas Arhan, rasanya gak baik kalau kita membahas pria lain. Gak enak di dengar orang Bu!" Berlian terlihat tak suka.

"Ibu hanya mengutarakan pendapat saja kok."

"Iya Lian tahu."

Maaf ya baru sempat update. Authornya ada acara kemarin. Semoga kalian suka.

Siapa nih yang tunggu Berlian?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!