Setelah mengobrol cukup lama bersama Suherman di ruang keluarga, Anika kemudian pamit meninggalkan sang ayah. Dia berjalan menaiki anak tangga dan tidak sengaja berpapasan dengan ibu tirinya.
Wanita itu tampak segar dengan rambut basah yang terurai panjang. Anika mematutnya sejenak lalu melanjutkan langkah tanpa bicara sepatah katapun.
Ya, Anika tidak pernah respect pada ibu tirinya itu, bagi Anika wanita itu tidak lebih dari seorang pelakor yang sudah menghancurkan rumah tangga kedua orang tuanya dan bahkan membuat ibu kandungnya meninggal.
Kini Anika semakin membencinya dan bertekad untuk mencari tau penyebab ibunya meninggal. Meski tidak ada bukti yang menguatkan dugaannya, tapi Anika tidak akan menyerah untuk mencari tau kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi. Dia meyakini kalau kematian ibunya ada sangkut pautnya dengan wanita itu.
Sesampainya di kamar, Anika bergegas mengambil laptop miliknya yang terletak di dalam laci. Dia pun membawanya ke sofa dan mulai membukanya.
Entah apa yang Anika cari, tapi yang jelas manik matanya tampak fokus menatap layar laptop itu. Tangannya asik memainkan tombol keyboard dengan lincah.
Di tempat lain, Alvian tengah duduk di pinggir jalan dengan raut gusar dan rambut acak-acakan. Seharian ini dia tidak tau harus kemana, dia bahkan tidak berselera untuk makan apalagi pulang ke rumah. Dia benar-benar tidak tau harus bagaimana menyikapi masalah ini.
Beruntung Alvian bukan tipe pria yang suka mencari pelarian ke tempat maksiat. Dia sadar tidak boleh salah langkah dan terjerumus dalam dunia hitam. Dia masih waras, dia tidak akan merusak dirinya sendiri. Dia masih memikirkan gadis kecil kesayangannya yang sebentar lagi akan tumbuh dewasa, dia tidak akan pernah mengecewakan buah hatinya itu.
Disaat jam di pergelangan tangannya sudah menunjuk angka sepuluh, Alvian memutuskan untuk kembali ke rumah sakit. Dia mulai rindu dengan senyuman manis Amara yang seharian ini belum dia lihat sama sekali.
Alvian lekas masuk ke dalam mobil dan melesat pergi meninggalkan tempat itu.
Setibanya di parkiran rumah sakit, Alvian turun setelah mematikan kontak mobil. Dia berjalan memasuki bangunan itu dan langsung menghampiri kamar Amara.
Dari balik pintu kaca yang membatasi mereka, Alvian diam sejenak mematut wajah lelap Amara yang nampak begitu polos. Seketika hati Alvian mencelos, dia sadar belum bisa memberikan yang terbaik untuk putrinya.
Setelah cukup lama mematung di ambang pintu, Alvian pun mendorongnya perlahan. Dia tidak ingin kedatangannya mengusik istirahat Amara, bisa melihatnya saja Alvian sudah sangat bahagia.
"Kemana saja? Sudah selarut ini baru datang," tanya Ratih dengan tatapan mengintimidasi. Wanita itu tengah duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada.
"Mencari udara segar," jawab Alvian enteng, lalu memasuki kamar mandi untuk mencuci muka.
Tidak lama kemudian, Alvian keluar dengan muka yang masih basah setelah diguyur air lalu memilih duduk di dekat Ratih. Hembusan nafasnya terdengar berat.
"Bagaimana? Apa Amara berulah?" cerca Alvian dengan tatapan sendu.
"Tidak, hanya saja dia lebih pendiam dari sebelumnya. Dia sepertinya sangat terpukul setelah kehilangan Anika." jelas Ratih dengan tatapan yang sama.
"Anika tidak hilang, dia sudah kembali ke keluarganya." ucap Alvian dengan suara bergetar.
"Dari mana kamu tau?" Ratih menautkan alis bingung.
"Tadi pagi dialah yang membawa Amara ke rumah sakit ini, hanya saja sekarang keadaannya sudah berbeda. Gadis itu bukan milik kita lagi, dia sudah bertunangan dan akan menikah dalam waktu dekat." lirih Alvian menjelaskan dengan mata berkaca-kaca.
Mendengar itu, mata Ratih tiba-tiba membola dengan mulut sedikit menganga. "Apa yang kamu katakan?"
"Hmm... Begitulah kenyataannya," angguk Alvian mengangkat bahu dengan bibir mencebik.
"Ya Tuhan, lalu bagaimana dengan Amara? Dia menaruh harapan besar pada gadis itu," Ratih sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Amara jika mengetahui hal ini.
"Entahlah, aku sendiri bingung. Aku sudah memohon pada Anika untuk membatalkan pernikahan itu, tapi gadis itu malah mengatakan kalau dia mencintai pria itu. Apa lagi yang bisa aku lakukan?" Alvian menekuk punggung dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku benar-benar tersiksa, Ratih. Apa yang harus aku lakukan?" imbuh Alvian dengan nafas tercekat di tenggorokan.
Ratih hanya diam tanpa bicara sepatah katapun, dia sangat mengerti bagaimana menderitanya Alvian di situasi seperti ini. Namun dia sendiri tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Elis yulianti
di tunggu lanjutan nya
2023-02-23
2