Tepat pada saat jam makan siang tiba, mobil Alvian sudah terparkir di halaman rumah. Dia urung membawa Amara mencari eskrim karena sampai detik ini gadis kecil itu masih mendiamkannya dan terus menangis tanpa lelah.
Setelah Alvian mematikan mesin mobil, Amara membuka pintu belakang dengan tangan mungilnya, dia melompat turun dan berlari ke dalam rumah lalu masuk ke kamar, dia pun mengunci pintu dan memilih mengurung diri.
"Amara... Buka pintunya sayang, Papa mohon!" sorak Alvian yang sudah berdiri di depan pintu, dia menggedor-gedor pintu itu tapi Amara sama sekali tidak peduli.
Alvian tidak bisa seperti ini, dadanya sesak melihat putrinya menanggung kesedihan sedalam ini sendirian. Kenapa dia harus dihadapkan dengan situasi serumit ini?
"Pak, biar aku saja!" ucap Anika menawarkan bantuan. Alvian lantas mengangguk dan mengusap wajahnya kasar, lalu bergeser memberi ruang untuk Anika.
"Amara... Buka pintunya sebentar sayang, Kakak mau bicara." bujuk Anika dengan penuh kelembutan, berharap Amara mau mendengarnya.
"Pergi! Amara tidak mau melihat kalian berdua," teriak gadis kecil itu dengan suara serak dan bergetar. Dia berjongkok di daun pintu dan memeluk kakinya berderai air mata.
"Amara, dengar Kakak dulu!" ucap Anika dengan pandangan mengabut, hatinya mencelos menghadapi sikap keras kepala bocah itu.
"Tidak mau, huhu..." pekik Amara meraung sekencangnya.
"Ya sudah kalau tidak mau. Sekarang Kakak pulang dulu ya, Kakak tidak bisa tinggal di sini. Amara saja tidak mau melihat Kakak," ucap Anika, berharap kali ini Amara mau membukakan pintu.
"Pergilah, Amara tidak butuh kalian semua. Huuu... Besok Amara juga mau pergi dari rumah ini, Amara mau mencari Mama sendirian. Hiks..." isak gadis kecil itu.
"Deg..."
Anika dan Alvian sontak terkejut dan saling melirik satu sama lain.
Segitu inginnya Amara memiliki seorang ibu sehingga dengan polosnya mau mencari sang mama. Kemana dia akan mencarinya? Alvian saja tidak tau dimana keberadaan mantan istrinya itu.
"Amara..." panggil Anika lagi.
"Pergi!" pekik Amara.
"Amara jangan gini dong, sayang! Ya sudah, Amara boleh manggil Kak Anika dengan sebutan Mama. Sekarang buka pintunya ya!" bujuk Anika, mau tidak mau dia harus rela dipanggil Mama oleh Amara. Lagian tidak ada ruginya jika hanya sekedar dipanggil dengan sebutan itu.
"Anika..." Alvian menarik tangan gadis itu dan menatapnya tajam dengan gigi bergemeletuk.
"Tidak apa-apa, Pak. Biarkan saja!" ucap Anika.
Tidak lama, pintu berderit pelan dan terbuka lebar. Amara berdiri tegak sambil menundukkan wajahnya dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.
Anika pun berjongkok dan menangkup tangan di pipi Amara, lalu menyekanya perlahan.
"Sudah ya, tidak boleh menangis lagi. Nanti matanya berulat loh, Amara mau?" ucap Anika menakuti Amara.
Bocah itu menggelengkan kepalanya dengan bibir mencebik.
"Mama..." gumam Amara pelan, Alvian yang mendengar itu sontak terdiam. Dadanya ngilu bak dihujam tombak besi, tatapannya mengabur menahan genangan air mata yang ingin jatuh.
"Iya sayang," angguk Anika dengan mata yang ikut berkaca. Dipeluknya Amara dengan erat lalu diciumnya pucuk kepala bocah itu.
Anika tau persis bagaimana rasanya kehilangan sosok seorang ibu yang sangat dibutuhkan oleh anak sekecil Amara. Anika sendiri sudah merasakan itu meski baru beberapa tahun berlalu.
Dia kehilangan ibunya saat masih duduk di bangku SMA. Meski sudah cukup dewasa, tapi tetap saja kepergian sang ibu menyisakan luka mendalam di hatinya.
Hingga pada saat hari kelulusannya tiba, Anika memutuskan untuk lari dari rumah. Sampai detik ini, dia bahkan tidak ingin pulang untuk melihat bagaimana keadaan ayahnya.
Tanpa terasa air mata Anika jatuh berderai di pundak Amara. Dia pun dengan cepat mengusap wajahnya agar Alvian tidak melihat semua itu. Dia bukan gadis lemah, jadi dia tidak ingin dikasihani oleh siapapun.
Ternyata diam-diam Alvian memperhatikan Anika tanpa berkedip. Pria itu tau ada yang tidak wajar dengan gelagat gadis itu.
"Mandi yuk, setelah itu kita makan lalu bobok siang. Amara mau kan?" ajak Anika setelah melepaskan pelukan mereka. Wajahnya kembali ceria, dia mencoba melupakan apa yang tadi memenuhi pikirannya.
"Mandiin ya, Ma!" pinta Amara dengan wajah memelas.
"Iya boleh, yuk!" Anika bangkit dari jongkoknya dan membawa Amara mendekati ranjang, lalu membantu Amara melepaskan seragam sekolah hingga menyisakan segitiga pengaman yang menutupi intinya. Setelah itu keduanya masuk ke kamar mandi.
Alvian yang masih mematung di pintu lantas tersenyum dan mengusap matanya. Meski terlihat pecicilan tapi Anika memiliki hati yang lembut dan penyayang. Alvian tidak menyangka gadis itu mampu meluluhkan hati Amara secepat ini.
Dengan perasaan lega, Alvian meninggalkan tempat itu dan masuk ke kamarnya. Dia pun melepaskan pakaian dan memilih berendam di dalam bathtub untuk menyegarkan diri.
Sejenak mata Alvian terpejam perlahan, tiba-tiba bayangan Anika melintas begitu saja di pikirannya. Sekujur tubuhnya merinding kala mengingat bagaimana Anika meraih tengkuk dan memagut bibirnya semalam.
Alvian pun menggigit bibir mengingat bagaimana lembutnya Anika melu*mat bibirnya.
"Aaakh..." lenguh Alvian yang tiba-tiba sudah bermain dengan juniornya. Benda itu membesar menonjolkan uratnya tanpa Alvian sadari, mau tidak mau dia terpaksa menuntaskannya sendiri.
Lima tahun menduda tidak sekalipun Alvian memikirkan kepuasan pribadinya. Hari-harinya disibukkan dengan restoran dan Amara, tapi entah kenapa hari ini keinginan itu kembali muncul setelah lama mengabaikannya.
Setelah berhasil mencapai puncak kenikmatan, Alvian lekas berdiri dan membilas tubuhnya kemudian meninggalkan kamar mandi dan mengenakan pakaian santai.
Saat Alvian hendak membuka pintu, Amara muncul dengan dress selutut yang melekat di tubuh mungilnya. Wajah bocah itu memancarkan kebahagiaan dengan senyuman manis yang terukir di bibirnya.
"Pa..." sapa Amara kegirangan.
"Iya sayang, kenapa?" Alvian berjongkok dan membelai rambut Amara yang di kuncir seperti ekor kuda.
"Mama kedinginan di kamar Amara. Tadi Amara tidak sengaja menyiram pakaian Mama hingga basah, Mama tidak punya pakaian. Masa' Mama cuma pakai handuk doang?" ucap Amara dengan polosnya.
Mendengar penuturan Amara itu, wajah Alvian tiba-tiba memerah. Dia meneguk ludah dengan susah payah kala kejadian di kamar mandi tadi kembali menghantui pikirannya.
"Papa ikut ke kamar Amara yuk, lihat Mama dulu!" ajak Amara seraya menarik pergelangan tangan Alvian. Sontak tangan Alvian gemetaran dengan pipi kian memerah.
"J-jangan sayang, tidak boleh." Alvian menahan tangannya dengan deru nafas tak beraturan. Sungguh permintaan kali ini lebih berat dari permintaan Amara sebelumnya. Mana mungkin Alvian boleh melihat itu, jelas tidak masuk akal. Mereka bukan suami istri seperti yang Amara pikirkan.
Amara pun mencebik dengan pipi menggembung. "Ayo, Pa! Papa tidak kasihan sama Mama?" desak bocah itu.
"T-tidak, bukan begitu sayang." Alvian kehilangan akal untuk berkata-kata. "Amara ke kamar saja dulu, Papa mau membelikan pakaian untuk Kak Anika." imbuh Alvian mengalihkan pembicaraan.
"Kok Kak Anika lagi sih, Pa? Mama, panggil Mama seperti Amara." tukas bocah itu.
"Iya, iya, Mama." angguk Alvian gelagapan.
Setelah Amara pergi meninggalkan kamar, Alvian mengusap wajahnya kasar dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Belum satu hari dia sudah dibuat jantungan seperti ini, bagaimana selanjutnya? Ini benar-benar diluar kendali, Alvian sendiri bingung bagaimana cara menjelaskannya pada Amara.
Lalu Alvian mengambil ponselnya dan memesan pakaian untuk Anika, setidaknya untuk hari ini. Nanti malam dia akan membawa Anika berbelanja membeli barang-barang yang gadis itu butuhkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
MIKU CHANNEL
setres2 dah kamu dibuat anak mu, kayak nya kamu harus mengambil sikap Alvian, kamu harus menikahi Anika demi putrimu, awal2 sih demi Amara ngak tau nanti kedepannya, kayak kamu bakal bucin akut sama Anika 🤭
2023-02-07
2