15. Perubahan Amara

Keesokan hari, Amara termangu di meja makan. Dia sama sekali tidak berselera menyantap sarapan yang sudah diambilkan Ratih untuknya, tatapan bocah itu nampak kosong dengan binar-binar cairan yang menggenang.

"Amara, kenapa sarapannya tidak dimakan sayang?" tanya Ratih dengan alis bertautan, hatinya mencelos melihat raut wajah Amara yang nampak kehilangan semangat.

Tidak ada senyum dan keceriaan seperti biasa. Yang ada hanya kesedihan dan kekecewaan yang mendalam di hatinya.

"Kenapa semua orang yang Amara sayangi begitu tega meninggalkan Amara, Bi? Apa salah Amara? Apa Amara nakal?" lirih bocah itu menitikkan air mata.

"Dulu, Mama pergi dan tidak pernah kembali. Amara bahkan tidak tau bagaimana rupa Mama. Sekarang, Mama Anika juga pergi meninggalkan Amara. Kenapa, Bi? Apa Amara tidak boleh mempunyai Mama?" imbuhnya terisak.

Ratih yang mendengar itu tidak sanggup menahan perih di hatinya. Dia berusaha keras menahan diri untuk tidak menangis, tapi air mata itu tiba-tiba jatuh tanpa bisa dia bendung. Malang sekali nasib bocah itu, kenapa Tuhan memberinya cobaan diusia sekecil ini?

"Amara..." ucap Ratih.

"Amara tidak mau makan, Amara mau ke kamar saja." tanpa mendengar ucapan Ratih, Amara langsung melompat dari tempat duduk dan berlari memasuki kamar. Dia tidak ingin bertemu siapa-siapa dan memilih mengunci pintu.

Ya, harapan untuk memiliki seorang ibu tampaknya sangat mustahil untuk Amara. Apalagi setelah tau bahwa Alvian semalam pulang tanpa membawa Anika bersamanya.

Tadi malam Amara sempat menunggu Alvian di jendela kamar dan menopang dagu pada kusen. Saat mobil Alvian tiba, dia sudah sangat bahagia dengan mata berbinar dan senyum melebar. Namun seketika kebahagiaan itu lenyap melihat wajah murung Alvian yang tidak membawa siapa-siapa.

Disitulah hati Amara hancur tanpa sisa. Dia berpikir bahwa Anika tidak menyayanginya dan sengaja menjauhkan diri darinya. Amara tidak ingin berharap lagi, dia juga tidak ingin menjadi anak baik lagi.

Untuk apa? Semua itu percuma karena menjadi anak baik tidak akan membuatnya mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Amara mana, Ratih?" tanya Alvian saat tiba di meja makan. Sorot matanya mengedar mencari keberadaan putri semata wayangnya itu, tapi dia tidak bisa menemukannya. Bahkan makanan yang ada di piring masih utuh tanpa kurang sedikitpun.

Bukannya menjawab, Ratih malah menangis sambil menutup mulut. Dia benar-benar tidak tahan dan memilih pergi karena tidak sanggup mengatakan apa-apa.

Alvian yang melihat itu sontak mengerutkan kening, dia bingung melihat Ratih yang tidak biasanya seperti tadi. Apa wanita itu sedang patah hati? Pikir Alvian mengangkat bahu.

Karena tidak kunjung melihat batang hidung Amara, Alvian pun mengayunkan kaki menuju kamar putrinya.

"Amara..." panggil Alvian sembari mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban sama sekali.

"Sayang, ini Papa. Buka pintunya, Nak!" seru Alvian lagi, kali ini air mukanya nampak khawatir.

Entah sudah berapa lama Alvian berdiri memanggil Amara, tapi gadis cilik itu masih enggan membukakan pintu, menyahut pun dia sangat malas.

Namun tidak lama kemudian, pintu tiba-tiba terbuka. Amara yang sudah berpakaian sekolah menatap Alvian sekilas, lalu membuang muka dan berlalu pergi begitu saja.

Alvian benar-benar bingung dan lekas menyusulnya.

"Pak Munir, tolong antar Amara ke sekolah ya!" pinta bocah itu pada pria paruh baya yang bertugas menjaga rumah.

"Amara, sama Papa saja ya Nak." Alvian menimpali saat tiba di halaman.

"Tidak perlu, Amara maunya sama Pak Munir saja." ketus bocah itu tanpa menatap Alvian, dia pun meninggalkan sang papa dan masuk ke dalam mobil.

"Cepat, Pak!" seru Amara lalu menarik pintu dengan tangan mungilnya.

Setelah pintu tertutup, Amara menyandarkan punggung pada sandaran bangku lalu melipat tangan di depan dada dan memicingkan mata perlahan.

Dia tidak ingin bicara dengan Alvian dan dia juga tidak mau ke sekolah bersama sang papa. Dia membenci semua orang karena merasa tak seorangpun menyayanginya.

Setelah Pak Munir menginjak pedal gas, Amara kembali membuka mata dan mengusapnya kasar. Ingin sekali dia berteriak tapi semua itu hanya akan membuatnya semakin tersakiti. Amara pun memilih diam dengan pandangan lurus ke depan.

Setengah jam berlalu, mobil itu menepi tepat di depan gerbang sekolah. Amara turun setelah Pak Munir membukakan pintu untuknya, dia pun berlarian menuju gerbang.

"Bug..."

Tanpa disengaja tubuh Amara tiba-tiba membentur seorang pria yang tengah berjalan bersama seorang wanita, di tengah mereka ada seorang bocah laki-laki yang mengenakan seragam yang sama.

"Aaaa..." Amara menjerit saat bokongnya terhenyak di lantai.

"M-maaf, kamu tidak apa-apa?" pria itu berjongkok dan mengulurkan tangan untuk membantu Amara.

Amara menepis tangan pria itu dengan kasar lalu memilih berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun saat menoleh ke arah samping, mata Amara tiba-tiba membulat, begitupun dengan wanita yang juga tengah menatap ke arahnya.

"Amara..." seru wanita itu, lalu mencoba mendekati Amara.

"Jangan sentuh aku!" pekik Amara lantang dengan mata memerah, lalu kabur meninggalkan gerbang. Amara berlari kencang menuju taman dan terjatuh tepat di dekat bangku panjang.

"Huu... Huu..." Amara menangis sejadi-jadinya sambil memandangi lututnya yang sudah berdarah. Tapi rasa sakit itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan luka yang tengah mengoyak hatinya.

"Hiks... Huu..." isak Amara sesenggukan.

"Amara..." mata wanita tadi terbelalak melihat Amara yang terduduk lemah di tengah taman, lalu berlari mendekati bocah itu.

Baru saja wanita itu hendak meraih tangan Amara, bocah itu sudah menyembunyikan tangannya ke belakang. Dia menatap wanita itu dengan penuh kebencian dan api kemarahan yang membara.

"Pergi, aku tidak ingin melihat kalian lagi. Kalian semua jahat, aku benci pada kalian." bentak Amara dengan suara melengking, dia mengambil batu dan melemparkannya kepada wanita itu. Beruntung wanita itu bisa menghindar dengan cepat.

"Amara, kenapa kamu jadi seperti ini sayang?" wanita itu mengerutkan dahi bingung, Amara yang dia kenal tidak pernah seperti ini. Apalagi melawan orang dewasa seperti saat ini.

"Aku bukan Amara yang manja dan cengeng seperti dulu. Aku bukan Amara yang kamu kenal, pergi dan jangan temui aku lagi. Aku tidak ingin melihat kalian semua," teriak Amara lantang. Bocah itu kemudian berdiri dengan susah payah dan berlari sekencangnya meninggalkan gerbang sekolah.

"Sreeet..."

"Braak..."

Karena Amara melintasi jalanan tanpa melihat kiri kanan, tubuhnya tiba-tiba terpental dihantam sebuah sepeda motor yang tengah melaju kencang.

"Amara..." teriak wanita tadi, baru saja di hendak menyusul Amara tapi ternyata kecelakaan naas itu terjadi begitu cepat tepat di depan mata kepalanya. Dia pun berlari kencang menghampiri Amara dan memeluknya erat.

Seketika kejadian itu menyita perhatian semua orang hingga membuat jalanan macet, satpam sekolah pun berhamburan mengejar Amara yang sudah terkapar di badan jalan.

"Kenapa Mama tega ninggalin Amara, Ma? Amara minta maaf kalau Amara nakal," gumam bocah itu, beberapa detik kemudian dia pun terkulai lemah tak sadarkan diri.

Terpopuler

Comments

LISA

LISA

Siapa y wanita itu

2023-02-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!