10. Menjauh

Tak terasa satu jam telah berlalu dan mereka bertiga sudah tiba di restoran.

Ya, restoran itu mulai buka dari pukul sembilan pagi dan tutup pada jam sepuluh malam. Di sana tersedia berbagai macam makanan lokal dan makanan internasional sesuai selera pengunjung.

Untuk saat ini, restoran tersebut memiliki empat chef handal dan dua puluh orang karyawan. Setiap harinya Alvian bisa mencapai omset kisaran dua puluh sampai empat puluh juta rupiah, tergantung ramainya pengunjung yang berdatangan.

"Papa ke ruangan dulu, Amara jangan nakal ya!" ucap Alvian pada Amara yang tengah berada di gendongannya. Setelah Alvian menurunkan Amara, dia pun meninggalkan putrinya dan Anika di bawah. Alvian sama sekali tidak mengatakan apa-apa pada Anika.

Setelah Alvian menghilang dari sorot mata Anika, dia pun mengajak Amara mengelilingi tempat itu. Keduanya asik berbincang-bincang membicarakan apa saja yang terlintas di pikiran mereka.

Lelah berjalan ke sana kemari, keduanya memilih duduk di area outdoor. Amara meminta eskrim dan Anika pun memesannya.

"Ma, semalam kenapa Mama tidak tidur di kamar Papa?" tanya Amara dengan polos. Hal itu sontak membuat Anika tersedak hingga eskrim yang dia makan berserakan di bajunya. Anika bingung, dia tidak tau harus menjawab apa.

Bisa-bisanya Amara menanyakan hal gila seperti itu padanya. Memangnya boleh sepasang manusia tidur berdua tanpa ikatan yang jelas diantara mereka? Anika mulai risih, sepertinya dia salah menuruti kemauan Amara sejak awal.

Sekarang Anika seperti terjebak di tengah jurang yang sangat dalam, dia takut tidak bisa mengabulkan permintaan Amara selanjutnya.

"Astaga Ma, kenapa makannya jadi berantakan begini? Kayak anak kecil saja," Amara terkekeh geli, dia mengambil tisu dan menyeka bibir Anika lalu mengelap baju sang mama.

Amara terlalu polos sehingga belum bisa membedakan suatu hubungan. Dia pikir setelah memanggil Anika dengan sebutan mama, dia sudah memiliki hak sepenuhnya atas gadis itu.

"Kenapa diam saja, Ma? Apa Mama bertengkar sama Papa? Nanti Amara marahin Papa ya, Amara tidak suka-"

"Tidak Amara, bukan begitu." selang Anika. Dia menghela nafas dalam-dalam lalu membuangnya kasar. Entah bagaimana cara menjelaskan ini pada Amara, bocah itu terlalu kecil untuk memahami urusan orang dewasa.

"Sayang, Papa dan Mama tidak boleh tidur di kamar yang sama. Papa bukan suami Mama dan Mama juga bukan istri Papa. Hubungan kami hanya sebatas majikan dan pengasuh, Amara ngerti kan?" Anika mencoba menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami, berharap Amara bisa mengerti maksud ucapannya.

Namun tiba-tiba Amara menggembungkan pipi dengan bibir mengerucut. Dia tidak senang mendengar ucapan Anika barusan. "Amara mau ke ruangan Papa saja," ucapnya, lalu membuang eskrim yang ada di tangannya dan berlari memasuki restoran.

Hal itu membuat Anika menjadi serba salah, dia benar-benar bingung. Dia lebih baik menghadapi orang dewasa dari pada bocah sekecil itu. Rasanya dia ingin menyerah dan pergi saja meninggalkan mereka.

Anika mulai lelah menghadapi masalah demi masalah yang datang silih berganti tanpa henti. Dia capek menghadapi jalan hidup yang selalu dihadang kerikil tajam, dia seperti mati langkah memilah jalan mana yang harus dia tempuh.

Akankah dia bertahan menjadi sosok lain untuk Amara, ataukah dia harus berhenti sampai di sini? Dia tidak sanggup melanjutkan drama aneh ini, dia takut terjebak terlalu dalam sehingga kesulitan meninggalkan Amara nantinya. Lambat laut hal itu akan tetap terjadi.

Lama bercakak dalam pemikiran yang membelit kepalanya, Anika pun akhirnya memutuskan menyusul Amara ke ruangan Alvian. Dia tidak akan menunggu lagi, dia harus membicarakan ini dengan Alvian secepatnya.

Sesampainya di lantai dua, langkah Anika tiba-tiba terhenti di depan pintu yang terbuka sedikit. Dia terpaku menguping pembicaraan Alvian dan Amara yang terdengar sedikit serius.

"Lalu Amara maunya apa, Nak? Yang dikatakan Mama itu benar, kami tidak boleh tidur berdua, itu melanggar aturan." jelas Alvian.

"Kenapa, Pa? Kata teman-teman Amara, orang tua mereka tidur satu kamar dan mereka juga punya adek. Amara juga mau punya adek seperti mereka," tegas Amara dengan bibir mencebik, dia melipat tangan di depan dada.

Seketika Alvian terhenyak mendengar keinginan Amara yang semakin hari semakin aneh saja. Setelah Amara memanggil Anika mama, lalu dia meminta mereka berdua tidur bersama, kini dia dengan enteng meminta adek.

Lelucon macam apa ini? Rasanya jantung Alvian ingin keluar dari tempatnya, dia seperti mati langkah. Apa sebentar lagi Alvian akan mati berdiri menuruti kehendak Amara yang membuatnya galau tingkat tinggi?

"Amara, ini tidak semudah yang kamu bayangkan. Untuk memiliki adek, Papa harus menikah dulu sama Mama. Tapi masalahnya, Mama tidak mungkin mau menikah sama Papa." Alvian mengusap wajah kasar lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya. Entah bagaimana cara meyakinkan putrinya itu.

"Ya sudah, kalau begitu Papa nikah saja sama Mama biar Amara bisa punya adek." ujar Amara.

"Tidak semudah itu Amara. Mama itu masih gadis, dia belum pernah menikah. Mana mungkin Mama mau menikah sama Papa, Papa ini duda anak satu. Ini tidak mungkin," terang Alvian dengan sorot mata menggelap.

Tanpa menyahut, Amara pun melompat turun dari pangkuan Alvian lalu berlari menghampiri ranjang dan membanting tubuhnya di sana. Dia merasa kecewa karena kedua orang itu tidak ada yang mengerti kemauannya.

"Kalian semua jahat, Amara benci." teriak bocah itu seraya menyembunyikan wajahnya di balik bantal, dia benar-benar kecewa.

Alvian yang melihat itu hanya bisa mendengus lesu, dia menyandarkan punggung pada sandaran kursi dan menengadah menghadap langit-langit. Ini benar-benar rumit, dia rasanya ingin menyerah dengan keadaan.

Sementara Anika yang masih mematung di balik pintu, akhirnya memilih pergi dari tempat itu. Dia tidak mengerti bagaimana menyikapi kemelut ini. Menikah bukan perkara mudah baginya, dia memiliki trauma mendalam melihat rumah tangga kedua orang tuanya yang hancur berantakan.

Dia tidak ingin mengalami kejadian yang sama, apalagi menikah tanpa didasari cinta. Baginya hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Dengan langkah gontai, Anika berjalan menuruni anak tangga. Dia tidak bisa berpikir untuk saat ini, dia hanya ingin menjauh dan menyendiri untuk beberapa saat.

Lalu Anika menghampiri kasir dan meminta sehelai kertas serta pulpen. Dia tidak bisa lagi berada di tengah mereka, dia akan kembali ke kehidupannya yang kosong tanpa siapapun. Mungkin inilah jalan terbaik untuk mereka semua.

Setelah menuliskan beberapa kalimat di kertas itu, Anika kemudian melipatnya dan menitipkan kertas itu untuk diberikan pada Alvian. Dia pun berlalu pergi setelah mengucapkan terima kasih pada kasir perempuan itu.

"Maafin Mama Amara, Mama tidak bisa tinggal lagi bersama kalian. Mama tidak mungkin menikah dengan Papa kamu." batin Anika dengan pandangan mengabur dan langkah terombang-ambing seperti tengah melayang di udara.

Terpopuler

Comments

mieya723

mieya723

Apa jangan jangan papanya Anika selingkuhan Lira

2023-03-18

1

LISA

LISA

Kasian bgt Anika..posisinya membingungkan jg..y moga Alvian bisa mengatasi mslh ini..gmnpun Amara jg butuh Mama..

2023-02-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!