8. Tidur Seranjang

Pukul dua siang seorang kurir datang mengantarkan pesanan, Alvian sendiri yang mengambil paket itu dan meminta Ratih mengantarnya ke kamar Amara. Anika pun dengan cepat mengenakan pakaian itu.

Setelah penampilannya rapi, Anika membawa Amara ke meja makan. Di sana sudah ada Alvian dan Ratih yang menunggu untuk makan siang. Amara pun makan dengan lahap karena disuapi Anika yang kini sudah menjadi mama untuknya.

Usai makan, Ratih bergegas membereskan meja dan mencuci piring kotor. Sedangkan Amara dengan santainya menggenggam tangan Anika dan Alvian di setiap sisinya, lalu membawa mereka berdua ke kamar.

"Papa dan Mama jangan pergi ya, Amara mau tidur sama kalian berdua." pinta bocah itu dengan polosnya, dia ingin tau bagaimana rasanya diapit oleh kedua orang yang dia sayangi itu.

Sontak Anika dan Alvian terkejut dengan mata membulat sempurna, keduanya saling memandang meresapi perasaan gugup yang berkecamuk di hati masing-masing, pipi mereka pun memerah menelaah permintaan Amara yang tidak masuk akal.

Bagaimana mungkin mereka bisa tidur di atas ranjang yang sama?Sementara jelas tidak ada ikatan apa-apa diantara keduanya.

"Ayo Ma, Pa, sini!" seru Amara yang sudah berbaring di tengah-tengah kasur, bocah itu mengusap permukaan kasur dengan tangan mungilnya.

Alvian menghela nafas sejenak lalu menghembuskannya dengan kasar. Lama-lama dia bisa mati berdiri kalau seperti ini terus. "Amara tidurnya sama Mama saja ya, Papa masih ada urusan." alibi Alvian menolak halus permintaan putrinya itu. Tidak mungkin dia mengindahkan keinginan Amara, dia tidak ingin Anika semakin tertekan dengan keadaan yang kian menyulitkan dirinya.

Amara lantas mengerucutkan bibir mendengar penolakan Alvian, matanya memerah dan berkaca menatap lekat pada sang papa. "Papa tidak sayang lagi sama Amara, Papa lebih mementingkan urusan Papa daripada putri Papa sendiri." lirihnya dengan mata berkabut menelan rasa kecewa, lalu membuang muka ke arah lain.

"Bukan begitu sayang, maksud Papa-"

"Pergi saja, biar Amara tidur sendiri!" potong bocah itu menyela ucapan Alvian, air matanya tiba-tiba jatuh membasahi bantal.

Hari ini pertama kalinya Amara ingin merasakan pelukan hangat seorang ayah dan ibu seperti yang diceritakan teman-temannya. Mereka mengatakan kalau ibu dan ayah mereka sering menemani mereka tidur.

Tapi kenapa Alvian malah menolaknya? Bukankah Anika mamanya dan Alvian papanya? Apa yang salah jika mereka tidur bersama?

"Pak..." Anika mengangguk lemah, dia tidak keberatan sama sekali. Lagian mereka tidak hanya tidur berdua saja, tapi ada Amara yang membatasi.

"Anika..." Alvian mengerutkan kening dengan mata menyipit, lalu menggelengkan kepalanya.

"Tidak apa-apa, Pak." Anika pun naik ke kasur dan berbaring di samping Amara.

Bocah itu berhamburan ke pelukan Anika dengan raut muka sendu. "Dulu Amara mempunyai Papa tapi tidak memiliki Mama, sekarang Amara sudah punya Mama, tapi kehilangan Papa." lirihnya menenggelamkan wajah di dada Anika.

Ucapan Amara itu sontak membuat hati Alvian tercabik-cabik bak disayat sembilu tajam, dia ingin berteriak sekencangnya dan membenturkan kepalanya ke dinding. Berharap dia bisa lupa dengan segala kepahitan yang ditinggalkan Lira untuknya.

"Pak..." Anika mengerjap memberi isyarat agar Alvian ikut berbaring di samping Amara.

Mau tidak mau, Alvian terpaksa menyetujuinya. Dia pun membaringkan diri dengan jarak cukup aman. Meski sekilas terlihat santai, tapi percayalah jantung Alvian tengah dihadang guncangan berkekuatan besar, seperti kuda yang tengah berpacu di gelanggang.

"Tuh kan, Papa bahkan tidak mau memeluk Amara." celetuk bocah yang masih berada di pelukan Anika itu.

"Iya, iya, Papa peluk." Alvian beringsut dan menarik Amara ke dalam dekapannya. Hal itu membuat Amara tersenyum penuh kemenangan.

"Bukan begitu Pa, tapi seperti ini." Amara meluruskan badannya dan meminta Alvian serta Anika memiringkan tubuh mereka, lalu Amara mengambil tangan Alvian dan menaruhnya di pinggang Anika, begitupun sebaliknya.

Tiba-tiba air muka Anika memerah merasakan beban yang menekan pinggangnya, ingin sekali dia berteriak dan menyembunyikan wajahnya di kolong tempat tidur. Rasa malunya memuncak hingga ubun-ubun.

Sepertinya ini tidak baik untuk kesehatan Anika, dia membutuhkan dokter spesialis jantung saat ini juga. Dia tidak sanggup menetralisir guncangan yang menghantam dadanya. Kenapa dia harus tersesat dalam situasi serumit ini? Apa lagi yang akan menerpa hidupnya setelah ini?

Tidak hanya Anika yang merasa terpojok dalam keadaan ini, Alvian sendiri tak jauh berbeda. Setelah lima tahun, ini kali pertama dia menyentuh wanita hingga berada di atas ranjang yang sama.

Ini tidak benar, alat pernafasan Alvian tiba-tiba menyempit. Dia kesulitan mengendalikan rasa sesak yang kian menghunus dadanya.

Lama termangu dalam pemikiran masing-masing, keduanya ikut tertidur menyusul Amara yang sudah bermain di alam mimpinya.

...****************...

"Bi Ratih, Amara haus." ucap bocah itu setelah tiba di dapur, dia mengucek mata yang masih berat untuk dibuka. Bahkan jalannya nampak sempoyongan seperti orang mabuk.

"Iya sayang, tunggu Bibi ambilkan minum." Ratih mengangkat tubuh mungil itu dan mendudukkannya di kursi, lalu mengambil ceret dan menuang isinya ke dalam gelas.

"Glug..."

Setelah menyeruput air putih itu, Amara melipat tangan di atas meja dan menjatuhkan wajahnya di sana.

"Amara kenapa sendirian saja? Papa sama Mama mana?" tanya Ratih penasaran.

"Di kamar, masih bobok." gumam Amara dengan mata merem melek menetralisir rasa kantuknya.

"Bobok?" Ratih mengulangi kata itu dengan mata membulat sempurna. Apa itu artinya-?

Tidak, tidak, Ratih tidak boleh berprasangka buruk. Mungkin saja mereka berdua hanya sekedar tidur, lagian mana mungkin mereka melakukan itu di depan Amara. Tidak mungkin Alvian seceroboh itu.

Di kamar, Anika tengah tenggelam di dada Alvian. Rasa hangat yang dia dapatkan dari tubuh pria anak satu itu membuat tidurnya semakin nyenyak. Sama seperti Alvian yang dengan leluasa memeluk Anika dan mendekapnya erat. Tanpa dia sadari, sesekali bibirnya berlabuh di pucuk kepala gadis itu.

Beberapa menit berselang, Anika mende*sah saat tubuhnya terasa berat untuk digerakkan. Perlahan matanya terbuka dan,

"Deg..."

Sontak Anika terperanjat dengan mata melotot tajam, jantungnya berdegup kencang seperti tengah lari maraton.

Apa-apaan ini? Kenapa duda itu malah memeluk dirinya seerat ini?

"Pak..." panggil Anika seraya menggeliat membebaskan diri, tapi pelukan Alvian malah semakin kuat menekan pinggangnya.

"Pak, bangun! Tolong lepaskan aku!" pinta Anika yang mulai tersulut emosi. Bisa-bisanya Alvian tidur seperti kerbau dan seenaknya membelit tubuhnya.

"Plaak..."

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Alvian, hal itu membuatnya tersentak dan membulatkan mata lebar-lebar. Alvian sendiri terkejut melihat Anika yang terkunci di pelukannya.

"M-maaf, aku tidak sengaja." Alvian dengan cepat melepaskan Anika dan melompat turun dari ranjang. Seketika hembusan nafasnya terdengar berat.

Apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia tidak menyadari apa yang sudah dia lakukan?

"Tolong maafkan aku, aku benar-benar tidak sengaja." Alvian menangkup tangan di depan dada, lalu melarikan diri dari kamar Amara. Inilah yang dia takutkan sebenarnya, dia takut Anika semakin tersudutkan dalam situasi ini.

Terpopuler

Comments

Windarti08

Windarti08

pinter amat loe ngomongnya Cil...Cil...😅
bikin bapakmu senewen aja, td udah buka puasa tanpa lawan, ntar entah apa lagi yang terjadi setelah drama bobok bareng bertiga, apa gak berontak lagi itu junior bapakmu🤭🙈

2023-06-04

0

MIKU CHANNEL

MIKU CHANNEL

ya pun bocil ngak gitu juga kali, suruh papamu menikahi mamamu dulu baru boleh tidur sama sama 🤦efek gebet ingin punya Mama nih Amara

2023-02-08

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!