12. Pencarian

"Pa, kira-kira Mama pergi kemana ya? Amara sudah capek keliling seharian. Apa Amara nakal ya, Pa? Kenapa Mama tega ninggalin Amara? Atau, apa Mama tidak sayang lagi sama Amara?" cerca bocah itu dengan polos, dia tertunduk lesu dengan punggung tersandar di sandaran bangku. Awan gelap nampak jelas menutupi mata almondnya yang indah.

Mendengar serentetan pertanyaan yang keluar dari mulut bocah polos itu, hati Alvian bak teriris sembilu tajam, perih seperti luka yang disiram air cuka. Bibirnya mendadak kelu, dia tidak tau harus menjawab apa.

"Anika, kamu kemana sebenarnya? Tolong kembalilah, aku membutuhkan kamu. Hanya kamu yang bisa membujuk Amara jika sudah seperti ini. Kenapa kamu harus pergi meninggalkan kami? Jika kamu benar-benar ada masalah, aku siap membantumu, tolong kembalilah!" batin Alvian dirundung rasa sedih yang mendalam. Dia merasa gagal menjadi seorang ayah, mengabulkan permintaan Amara saja dia tidak sanggup.

Lama terdiam dengan fokus yang masih tertuju pada stir, akhirnya Alvian menepikan mobilnya di depan sebuah taman. Dia membutuhkan banyak udara untuk menetralisir kegundahan di hatinya, sesak itu kian terasa menghujam dadanya.

Jika jalan satu satunya adalah menikahi Anika, dia siap dan dia mau bertanggung jawab atas diri gadis itu. Akan tetapi, kemana dia harus mencari Anika? Dia bahkan tidak tau dimana alamat gadis konyol itu.

Setelah menepikan mobilnya, Alvian turun dan membukakan pintu kiri untuk Amara. Keduanya memilih duduk di bangku taman sambil melihat banyaknya anak-anak yang tengah bermain di sana.

Namun bukannya terhibur, Amara malah semakin sedih melihat anak-anak seusianya yang tengah bermain dengan ibu mereka. Hal itu membuat mata bocah itu menggelap seperti awan hitam yang siap menurunkan hujan.

"Andai ada Mama di sini, Amara akan sangat bahagia bisa bermain seperti mereka. Kenapa Mama jahat sekali sama Amara?" lirih bocah lima setengah tahun itu, dia merasa Tuhan tidak adil padanya.

Dia sudah kehilangan sosok seorang ibu satu kali, sekarang dia harus kehilangan lagi. Tak terasa air mata Amara tiba-tiba jatuh membasahi pipi bakpaonya.

Lagi-lagi Alvian hanya bisa diam tanpa menjawab apa-apa. Semakin diingat, hatinya semakin hancur tak bersisa. Kenapa Tuhan memberikan cobaan serumit ini padanya?

Dulu Amara masih sangat kecil saat ditinggal ibunya, bocah itu tidak mengerti apa-apa. Namun sekarang, semua seperti bom yang siap menghancurkan Amara kapan saja. Alvian tidak bisa menahan rasa sakit ini sendirian, dia benar-benar tidak kuat melihat kesedihan putrinya.

"Sayang, kita beli eskrim yuk! Di sana ada yang jual eskrim jadul, pasti rasanya enak." bujuk Alvian, dia menunjuk seorang bapak-bapak yang tengah mangkal di depan taman.

"Tidak mau, Amara hanya butuh Mama." tolak bocah itu sambil menggelengkan kepala, dia tidak berselera dengan eskrim, dia hanya ingin Anika kembali ke sisinya.

Mendengar itu, Alvian memicingkan mata barang sejenak. Dia menghela nafas berat lalu membuangnya kasar. Entah bagaimana cara membujuk Amara agar tidak memikirkan Anika lagi.

"Ya sudah, kalau begitu kita pulang saja ya. Amara istirahat di rumah dulu, biar Papa yang mencari Mama. Sebentar lagi gelap, Amara belum mandi dan makan kan? Amara tidak boleh sakit biar Mama cepat kembali pada kita." bujuk Alvian lagi.

"Iya Pa, tapi Papa janji ya, Papa harus membawa Mama pulang ke rumah kita!" angguk Amara.

"Iya sayang, Papa janji." sahut Alvian, lalu menggendong Amara dan membawanya masuk ke dalam mobil.

Setengah jam kemudian, mobil Alvian tiba di depan kediamannya. Setelah memarkirkan mobil, dia menggendong Amara memasuki rumah.

"Kalian sudah pulang? Loh, Anika mana?" tanya Ratih menyambut kedatangan keduanya, dia nampak bingung karena tak melihat Anika bersama mereka.

"Nanti saja aku ceritakan. Tolong mandikan Amara dulu, abis itu makan dan tidur. Aku juga mau mandi sebentar," jawab Alvian lirih.

Setelah Amara berpindah ke gendongan Ratih, Alvian langsung berjalan memasuki kamar.

Rasanya dunia ini seakan berhenti berputar bagi Alvian. Tidak hanya terjebak karena permintaan Amara yang ingin memiliki seorang ibu, dia juga merasa terjebak dalam perasaan yang dia sendiri tidak tau apa. Dia merasa ada yang hilang dari dirinya saat tak melihat gadis pecicilan itu.

Tak ingin berlarut-larut dalam kegundahan hatinya, Alvian pun langsung masuk ke kamar mandi. Dia berendam sejenak menyegarkan pikiran dan tubuhnya yang benar-benar lelah memikirkan Anika.

"Tunggu saja, jika aku menemukanmu, aku akan mengikatmu kuat sehingga tak ada kesempatan lagi untuk menjauh dariku. Akan ku buat kamu menyesal karena sudah berani bermain-main denganku." batin Alvian seraya merendam tubuhnya di dalam bathtub, dia memicingkan mata sejenak mengingat kegalauan yang ditinggalkan Anika untuknya.

Setengah jam berlalu, Alvian keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang lebih segar dari sebelumnya. Setelah mengenakan pakaian rapi, dia keluar dan bergabung bersama Amara dan Ratih yang tengah asik menyantap makanan mereka.

"Papa jadikan kan mencari Mama?" tanya Amara seraya mematut sang papa yang sudah rapi, aura ketampanannya memancar dengan balutan kaos dan celana jeans yang melekat di tubuhnya.

"Iya, Papa akan pergi mencari Mama. Amara makan yang banyak ya, setelah itu gosok gigi dan lekas tidur. Pokoknya Amara tidak boleh sedih, Papa janji akan membawa Mama pulang secepatnya." sahut Alvian dengan penuh keyakinan. Dia percaya bahwa dia pasti bisa menemukan gadis gila itu.

Setelah mengisi perut, Alvian mengecup kening dan pipi Amara bergantian lalu pamit meninggalkan rumah. Dia akan memulai pencarian ke hotel cantika yang pernah dia datangi sebelumnya. Meski Anika sudah tidak bekerja di sana lagi, Alvian yakin ada jejak yang bisa dia kulik dari tempat itu.

Setelah menempuh perjalanan sekitar empat puluh menit, sampailah Alvian di parkiran hotel itu. Dia segera turun dan berjalan menuju meja resepsionis.

"Permisi, maaf mengganggu waktunya sebentar. Saya ingin menanyakan alamat pegawai hotel yang bernama Anika." tanya Alvian langsung ke intinya.

"Maaf, Anda siapa ya?" tanya balik resepsionis itu.

"Saya Alvian, saya calon suaminya." ucap ayah satu anak itu enteng.

"Oh, tapi maaf... Data pribadi pegawai maupun pengunjung bersifat privasi, kami tidak bisa memberikannya pada sembarang orang. Lagian Anika sudah tidak bekerja di sini lagi, kami tidak mempunyai hak-"

"Kalau begitu tolong hubungi Robert, aku tau dia pemilik hotel ini. Dia sahabatku, hanya saja kami sudah lama tidak berkomunikasi." potong Alvian.

"Tapi Tuan Robert sedang tidak ada di tempat," jawab resepsionis itu.

"Tidak masalah, aku hanya ingin bicara dengannya. Kalau dia mengizinkan, berarti Anda harus memberikan alamat Anika pada saya." tegas Alvian dengan mode serius.

"Baiklah," angguk resepsionis itu, mau tidak mau dia pun menghubungi Robert sesuai permintaan Alvian.

Setelah panggilan itu terhubung, Alvian merampas telepon itu dengan kasar, kesabarannya sedikit diuji karena malas berurusan dengan wanita itu.

Lama mengobrol dengan Robert, Alvian pun mengembalikan telepon itu ke tangan wanita yang masih berdiri di seberang meja.

"Baik Pak, iya, baik." angguk wanita itu lalu menutup teleponnya.

Dengan air muka sedikit pucat, wanita itu lekas mencari data atas nama Anika lalu menuliskan alamatnya pada secarik kertas. "Ini Pak, maaf atas ketidaknyamanannya." ucap wanita itu seraya menyodorkan kertas tadi ke tangan Alvian.

"Tidak apa-apa, aku mengerti. Kalau begitu terima kasih,"

Setelah mengucapkan terima kasih dan mengambil alih kertas itu, Alvian langsung berbalik dan lekas meninggalkan hotel. Dia memasuki mobil dan memulai pencarian ke alamat yang tertulis di atas kertas.

Terpopuler

Comments

LISA

LISA

Moga aj Anika segera ditemukan kasian bgt sm Amara..

2023-02-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!