"Maaf jika permintaan putriku menyulitkan bagimu, aku tidak tau kenapa Amara jadi berubah seperti ini. Sejak beberapa hari terakhir dia terlihat begitu mendambakan sosok seorang ibu. Aku sendiri tidak mampu mewujudkannya, aku tidak bisa membuka hatiku untuk wanita lain setelah pengkhianatan itu. Aku mohon jadilah pengasuhnya, aku akan membayar mu lebih. Katakan saja berapa nominal yang kamu inginkan!" ucap Alvian panjang lebar.
Alvian sengaja membawa Anika ke sebuah taman, dia ingin bicara dari hati ke hati tentang putrinya yang menginginkan Anika berada di sampingnya.
Sebenarnya Alvian bisa saja mencarikan pengasuh lain untuk Amara, tapi putrinya itu selalu menolak. Hanya Ratih yang bertahan karena Amara cukup menyukainya. Kini Amara malah menginginkan Anika, gadis yang baru sehari dia kenal.
"Memangnya Mama Amara kemana?" tanya Anika ingin tau.
Alvian diam sejenak lalu menghembuskan nafas kasar. "Entahlah, sejak perceraian itu kami tidak pernah lagi bertemu. Dia meninggalkan kami saat kondisiku benar-benar terpuruk. Aku pengangguran, Ayahku baru saja meninggal, perusahaan miliknya hancur dan rumah kami disita. Aku harus berjuang sendiri untuk bangkit, membesarkan Amara seorang diri tanpa ada yang peduli.
Sementara wanita itu lebih memilih pergi dengan pria lain tanpa memikirkan Amara yang saat itu masih berusia enam bulan." Alvian kembali diam dan mengusap wajahnya kasar.
"Aku hanya ingin Amara bahagia. Segala cara sudah kucoba agar Amara tidak merasa kekurangan kasih sayang, tapi tetap saja apa yang aku berikan tidak cukup untuk menggantikan peran seorang ibu." imbuh Alvian menundukkan kepala. Setetes demi setetes cairan bening jatuh di telapak tangannya.
"Jangan menangis! Apa Bapak tidak malu menangis di tempat umum seperti ini? Nanti disangka orang aku yang membuat Bapak menangis, Bapak mau aku dikeroyok sama massa?" seloroh Anika yang sengaja mencairkan suasana. Dia sudah bosan melihat orang menangis dan dia benci dengan air mata.
Anika pun reflek menyeka wajah Alvian dengan telapak tangannya. "Sudah, tidak perlu menangisi wanita seperti itu. Aku yakin suatu saat nanti Bapak akan bahagia bersama wanita yang benar-benar mencintai Bapak dengan tulus dan menyayangi Amara seperti putrinya sendiri."
Seketika manik mata Alvian menatap sendu pada Anika. Meski terkadang menjengkelkan, tapi ada sisi positif yang dia temukan di diri gadis itu.
"Berapa umurmu?" tanya Alvian penasaran setelah hatinya merasa cukup tenang.
"Dua puluh dua tahun, memangnya kenapa?" tanya Anika balik seraya menautkan alis.
"Tidak apa-apa, aku pikir masih tujuh belas tahun." Alvian mengulas senyum dan mengacak rambut Anika seperti adiknya sendiri. Wajah gadis itu terlihat lebih imut dari usianya, Alvian pikir Anika masih remaja.
"Ya sudah, untuk sementara waktu aku akan tinggal di rumah Bapak dan membantu Bapak menjaga Amara. Tapi jika suatu saat nanti aku harus pergi, Bapak tidak boleh melarangku." tegas Anika.
"Kenapa?" Alvian mengerutkan kening penasaran.
"Ada banyak hal yang tidak Bapak tau tentangku dan alangkah baiknya Bapak tidak usah tau. Yang pasti aku bukan orang jahat dan aku minta sama Bapak, jangan menakutiku lagi dan jangan lagi menyentuh aset pribadiku." tekan Anika yang tiba-tiba menunjukkan mode seriusnya.
"Entahlah, aku tidak bisa janji. Terkadang tanganku ini sedikit susah diajak kompromi." jawab Alvian asal.
"Ya sudah, kalau begitu aku pergi. Aku tidak bisa membantu Bapak menjaga Amara." Anika bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan Alvian, dia tidak akan main-main dengan ucapannya.
"Anika tunggu!" sorak Alvian, lalu bergegas menyusul Anika yang sudah tiba di dekat pagar.
Saat Anika hendak menyetop taksi, Alvian dengan cepat menarik tangannya dan membawanya masuk ke dalam mobil. "Iya, iya, aku janji tidak akan macam-macam." ucap Alvian, lalu memasangkan sabuk pengaman di badan Anika.
"Mau kemana?" tanya Anika menautkan alis.
"Ke sekolah, lima menit lagi kelas Amara selesai." jawab Alvian sembari menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Setelah Alvian duduk di bangku kemudi, mobil itu melesat pergi dengan kecepatan sedang. Anika menyandarkan punggungnya pada jok dan memejamkan mata perlahan.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Alvian turun tanpa membangunkan Anika yang tengah tertidur. Amara sendiri sudah menunggu di dekat pos satpam.
"Papa..." pekik Amara saat menangkap kedatangan Alvian, namun tiba-tiba raut wajahnya berubah cemberut ketika sorot matanya tidak bisa menemukan keberadaan Anika.
"Sayang, ayo kita pulang!" Alvian membungkukkan punggung dan membawa Amara ke gendongannya.
"Kak Anika mana, Pa? Apa Kak Anika meninggalkan Amara lagi?" tanya Amara tertunduk lesu.
"Tidak sayang, Kak Anika ada di mobil. Dia ketiduran, Papa tidak tega membangunkannya." terang Alvian.
"Oh, ya sudah. Ayo cepat!" ajak Amara yang kembali bersemangat.
Sesaat setelah membuka pintu mobil, Anika tiba-tiba terbangun dan mengucek matanya perlahan. Amara langsung melompat dari gendongan Alvian dan duduk di pangkuan Anika.
"Kakak ngantuk ya? Kalau begitu tidur saja, Amara tidak akan mengganggu." ucap bocah itu sambil duduk manis tanpa bergerak.
"Tidak sayang, Kakak tidak capek. Bagaimana sekolahnya tadi?" tanya Anika seraya memeluk Amara dan menggelitik perutnya.
"Hahaha... Geli Kak," Amara terkekeh sembari menggerakkan pinggangnya ke kiri dan ke kanan.
"Hihihi... Gemesin banget sih kamu," geram Anika dengan gigi bergemeletuk. Ingin sekali dia menggigit bocah itu saking gemasnya.
Melihat keceriaan buah hati tercintanya, kembali hati Alvian mencelos. Andai saja mantan istrinya bisa mengerti perasaan Amara, mungkin gadis kecil itu tidak akan kehilangan kasih sayang seorang ibu seperti saat ini.
Akan tetapi semua sudah terjadi dan kenyataannya wanita itu sama sekali tidak menginginkan putrinya, buktinya setelah lima tahun berlalu Lira tidak pernah berniat untuk melihat Amara.
"Mau langsung pulang atau kemana dulu?" tanya Alvian setelah menginjak pedal gas, dia melajukan mobil itu dengan kecepatan rendah.
"Beli eskrim boleh tidak, Pa?" Amara balik bertanya.
"Boleh, mau beli dimana?" tanya Alvian lagi.
"Terserah Papa saja," jawab Amara, lalu kembali fokus pada Anika. Keduanya asik berbincang membahas apa saja yang dilakukan Amara saat di sekolah tadi.
"Tadi teman-teman Amara pada nanya. Siapa wanita cantik yang mengantar kamu tadi? Lalu Amara jawab-" bocah itu menghentikan ucapannya, wajahnya tiba-tiba berubah murung.
"Amara jawab apa?" tanya Anika sambil mengusap kepala bocah itu.
"Mama..." lirih Amara tertunduk malu. Air matanya tiba-tiba jatuh membasahi roknya. "Maaf, Amara tidak bermaksud berbohong." imbuhnya merasa bersalah.
Anika dan Alvian terkejut bukan main, lalu saling melirik satu sama lain dengan mata sama-sama terbelalak.
"Amara, kenapa kamu-"
"Sssttt..." Anika dengan cepat menyelang perkataan Alvian dengan cara menaruh tangannya di mulut pria itu.
"Tidak apa-apa sayang, jangan sedih gitu dong. Katanya anak pintar, mana buktinya?" seloroh Anika seraya mencubit kedua pipi Amara gemas.
"Kak Anika tidak marah?" tanya Amara untuk memastikan.
"Tidak, kenapa harus marah?" jawab Anika enteng, dia malah tersenyum menunjukkan barisan giginya yang tersusun rapi.
"Berarti Amara boleh manggil Mama dong," ucap Amara dengan polosnya.
"Deg..."
Sontak Anika dan Alvian terperanjat kaget. Alvian bahkan sampai menghentikan laju mobilnya di pinggir jalan.
"Amara..." Alvian membulatkan matanya sembari menggelengkan kepala. Bermaksud menghentikan putrinya agar tidak terlalu lancang terhadap Anika.
"Maaf," lirih Amara yang kembali menitikkan air matanya. Dia pun beranjak dari pangkuan Anika dan melompat ke bangku belakang.
"Hiks..." gadis kecil itu terisak dan menyembunyikan wajahnya pada sandaran jok.
"Amara..." Alvian memutar badan dan menghadap ke belakang. Dadanya sesak menyaksikan kesedihan putrinya, dia benar-benar tidak sanggup melihatnya, tapi apa yang bisa dia lakukan?
Lalu Alvian memilih turun dari mobil dan membuka pintu belakang, dia duduk dan mencoba mengangkat tubuh mungil Amara. "Maafkan Papa, sayang. Papa tidak bermaksud-"
"Amara benci Papa, Amara benci semua orang. Tidak ada yang menyayangi Amara, kalian semua jahat." bentak gadis itu sambil mendorong Alvian agar menjauh darinya. "Mama... Hiks..." kembali Amara terisak sesenggukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
MIKU CHANNEL
tapi masih penasan sebenarnya siapa Anika ini? apakah dia berasal dari kel kaya raya atau sebaliknya
2023-02-06
2
MIKU CHANNEL
aduh kasihan lihat Amara, sangking rindunya dengan sosok seorang ibu dia sampai berharap kalau dia bisa memanggil Anika dgn sebutan Mama 😢
Ayo Anika kabulkan lah harapan Amara, kasihan lho liat anak sekecil Itu harus tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu,
2023-02-06
2