Pagi hari Alvian sudah rapi dengan pakaian kasual yang melekat di tubuhnya. Kaos oblong putih berpadu dengan sweater garis-garis serta celana panjang berbahan corduroy, semakin kece dengan sneaker putih yang menutupi kakinya.
"Papa..." pekik Amara sesaat setelah membuka pintu kamar Alvian. Pria yang tengah berdiri di depan cermin itu memutar leher dan sontak mengukir senyum.
"Tuan Putri sudah bangun?" tanya Alvian meluruskan tegaknya, lalu berjongkok dan merentangkan kedua tangannya. Amara pun langsung masuk ke dalam dekapannya.
"Mmuach..." sebuah kecupan lembut mendarat di pipi Alvian.
"Mmuach... Mmuach..." balas Alvian di setiap sisi pipi gembul Amara.
"Tuan Putri sudah sarapan?" tanya Alvian seraya mencubit pipi gembul Amara yang sudah rapi dengan pakaian seragam sekolahnya.
"Belum, kan nungguin Pangeran Tampan dulu." geleng Amara, lalu mengambil alih sisir yang ada di tangan Alvian dan merapikan rambut sang papa seperti biasanya.
"Ayo, Papa punya kejutan untuk Amara." Alvian membawa Amara ke dalam gendongannya dan berjalan menuju pintu.
Setibanya di luar, langkah Alvian mengarah ke kamar yang ditempati Anika. Sebelum masuk dia mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Tok Tok Tok..."
"Iya, tunggu sebentar." sahut Anika dari dalam sana. Dia baru saja selesai mandi, tapi sayang harus mengenakan baju semalam karena tidak mempunyai pakaian ganti.
"Ceklek..."
Pintu terbuka lebar, sontak mata Amara membulat menangkap keberadaan Anika yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Kak Anika..." pekik Amara histeris lalu mengulurkan kedua tangannya, dia ingin pindah ke gendongan Anika.
Anika sejenak bergeming, dia tersadar saat Alvian semakin dekat dengan dirinya dan saat merasakan beban yang bergelayut di tengkuknya.
"Kak Anika jahat, kemarin kenapa meninggalkan aku sendirian?" lirih Amara dengan bibir mengerucut, lalu memeluk Anika seeratnya.
Seketika manik mata Anika dan Alvian menyatu, Anika menatap bingung sedangkan Alvian malah tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang sangat rapi.
"Apa yang kamu berikan pada putriku, hah? Tidak biasanya dia sedekat ini dengan orang asing," ucap Alvian beralih mengerutkan kening.
Anika tidak menjawab, dia masih setia mematung dan larut dalam pemikirannya sendiri.
Jadi pria yang berdiri di depannya itu papanya Amara? Saat di restoran, Anika tidak begitu memperhatikan wajahnya sehingga lupa bagaimana raut pria yang sempat dituduhnya penculik anak itu.
"Bapak Papanya Amara?" Anika memberanikan diri bertanya sambil membelai lembut rambut Amara.
"Ehm... Sebab itulah aku membawamu ke rumah ini. Amara yang memintaku mencarimu, putriku sepertinya sangat senang sama kamu." jelas Alvian apa adanya.
"Kak Anika jangan pergi lagi ya, Kakak di sini saja sama Amara. Amara sayang sama Kakak," pinta gadis kecil itu dengan polosnya. Dia tidak mau melepaskan tangannya yang melingkar di tengkuk Anika, dia takut Anika pergi lagi meninggalkannya.
Melihat putrinya seperti itu, hati Alvian tiba-tiba mencelos. Pandangannya mengabur menahan cairan yang menggenang di pelupuk matanya.
Dengan satu tetesan air mata, Alvian menangkup tangan di depan dada, berharap Anika mau mengabulkan keinginan putrinya. Bibirnya bergerak mengisyaratkan kata tolong tanpa menyuarakannya.
Melihat Alvian memohon seperti itu, hati Anika pun terenyuh. Segitu besarnya cinta seorang ayah pada putrinya sehingga berusaha keras menuruti semua keinginannya.
Tanpa pikir panjang, Anika lantas mengangguk yang membuat air mata Alvian semakin berderai.
"Makasih, kamu memang gadis yang baik." spontan Alvian mencubit pipi Anika dan mengacak rambutnya hingga berantakan. Hal itu membuat Anika kesal, dia menajamkan tatapan dengan bibir mencebik. Tidak dengan Alvian yang malah tersenyum dengan sendirinya.
"Sudah sayang, Kak Anika tidak akan kemana-mana. Sekarang kita sarapan dulu yuk, ajak Kakaknya sekalian!" ucap Alvian, dia berjalan lebih dulu sambil membersihkan sisa-sisa air mata yang masih menempel di pipinya.
Di meja makan, Ratih sudah menata nasi goreng lengkap dengan sosis dan telur ceplok kesukaan Amara. Biasanya hanya mereka bertiga yang duduk di meja makan tapi pagi ini mereka kedatangan tamu baru.
"Kakak duduk di sini ya," Amara menunjuk kursi kosong yang ada di sebelah Alvian. Sontak Anika menoleh ke arah pria itu, dia takut Alvian akan memarahinya lagi seperti tadi malam.
"Duduklah!" ucap Alvian mengukir senyum. Entah kenapa setiap melihat gadis itu Alvian bawaannya ingin tersenyum, lama-lama dia bisa dianggap gila jika seperti ini terus.
Dengan berat hati Anika pun duduk sesuai keinginan Amara, lalu mengambilkan nasi goreng untuk gadis kecil itu.
"Sini, biar Bibi suapi!" tawar Ratih, biasanya setiap pagi dialah yang selalu menyuapi Amara sebelum berangkat sekolah.
"Tidak usah Bi, Amara disuapi sama Kak Anika saja." tolak gadis kecil itu, dia ingin Anika yang menyuapinya.
"Baiklah, sekarang buka mulutnya!" ucap Anika lembut, Amara pun membuka mulutnya lebar-lebar.
Lagi-lagi hati Alvian mencelos melihat kebahagiaan putrinya. Tak disangka Amara bisa jatuh hati pada gadis yang baru saja dia jumpai. Alvian berharap Anika mau menjadi pengasuh untuk Amara, dengan begitu Anika tidak perlu bekerja di hotel lagi. Alvian juga siap menggajinya lebih asal Amara bahagia.
Usai sarapan, Ratih bergegas memasukkan bekal Amara ke dalam tas. Biasanya Alvian sendiri yang mengantar Amara ke sekolah, tapi kali ini Amara ingin Anika ikut bersama mereka. Mau tidak mau, Anika terpaksa menyetujuinya.
"Dah Bibi, nanti siang masak yang enak ya. Mmuach..." Amara mengecup pipi Ratih, setelah itu menyalami dan mencium punggung tangannya.
"Hati-hati sayang," ucap Ratih mengulas senyum.
Ya, meski Ratih hanya seorang pembantu tapi dia sudah seperti ibu untuk Amara, Alvian pun sudah menganggapnya seperti adik sendiri.
"Kami pergi dulu ya Bi," Anika ikut pamit, lalu membantu Amara masuk ke dalam mobil. Bukan di bangku penumpang tapi keduanya duduk di samping Alvian. Sekilas terlihat seperti suami istri dengan satu anak yang menggemaskan.
Sepanjang perjalanan, Amara tampak begitu ceria dengan celetukan-celetukan lucu yang keluar dari mulut mungilnya. Anika sendiri tidak kalah heboh sehingga menimbulkan kebisingan di dalam mobil.
Bukannya marah, Alvian justru menikmati kelakar kedua gadis cantik itu. Baru kali ini dia melihat Amara seagresif ini saat bercanda dengan orang lain. Amara bahkan dengan leluasa memeluk Anika, menciumnya dan memainkan ujung rambutnya.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Alvian menepikan mobil. Dia dan Anika ikut turun mengantarkan Amara hingga memasuki gerbang.
"Dah Papa, dah Kakak, nanti jemput Amara barengan lagi ya." pinta gadis mungil itu dengan polosnya.
"Iya sayang, sekarang masuk dulu. Jangan nakal dan belajar yang rajin ya!" ucap Anika.
"Siap Permaisuri cantik, mmuach..." Amara mengecup pipi Anika, setelah itu beralih mengecup pipi Alvian.
Setelah Amara menghilang dari pandangannya, Anika lekas berjalan menghampiri mobil dan memilih duduk di bangku belakang. Ini benar-benar aneh untuknya, dia harus menjelma menjadi seorang ibu untuk anak yang baru saja dia kenal.
"Pindah ke depan!" seru Alvian sesaat setelah membuka kembali pintu yang dinaiki Anika barusan.
"Tapi Pak-"
"Jangan membantah, ayo cepat!" Alvian menggenggam tangan Anika dan menariknya turun. Setelah itu membukakan pintu depan dan mendorong bokong Anika.
"Pak..." ketus Anika memelototi Alvian. "Sudah aku bilang jangan sentuh bokongku, Bapak mesum banget sih. Sumpah, aku takut loh kalau begini." omel Anika penuh kekesalan.
"Sudah, masuk saja. Apa mau aku cium sekalian?" goda Alvian mengulum senyum.
"Tidak, tidak, aku tidak mau." Anika pun dengan cepat menaiki mobil itu.
Setelah Anika duduk manis dengan bibir komat kamit mengumpati Alvian, pria itu dengan cepat mengitari mobil. Dia kembali duduk di bangku kemudi dan melajukan mobil itu menyisir jalan raya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments