9. Permintaan Ratih

Malam hari Alvian duduk di taman depan rumah sembari menikmati secangkir kopi dan cemilan buatan Ratih. Wanita itu ikut duduk menemani Alvian yang membutuhkan teman untuk berbagi cerita.

"Apa yang harus aku lakukan, Ratih? Amara sepertinya sangat terobsesi pada Anika, aku merasa tidak enak hati dengan gadis itu." ujar Alvian dengan tatapan sendu. Dia bingung bagaimana cara menyikapi tingkah Amara yang mulai susah diajak kompromi.

"Menurutku wajar Amara seperti itu, tidak perlu menyalahkan dia. Dari umur enam bulan dia sudah kehilangan Lira, bagaimana wajah ibunya saja dia tidak tau. Dia juga butuh kasih sayang seorang ibu, apalagi di usianya saat ini." sahut Ratih memberi penjelasan.

"Bukan, aku tidak menyalahkan Amara, tapi aku takut Anika tertekan dengan tingkah putriku itu. Kamu tidak lihat apa yang dia lakukan? Pertama menyuruhku mencari Anika, lalu memanggilnya Mama, setelah itu meminta kami tidur bersama. Ini gila Ratih, aku tidak bisa melakukan ini lagi." terang Alvian.

"Ya sudah, nikahi saja dia!" ucap Ratih enteng.

"Apa? Nikah?" Alvian sangat terkejut dan membuka mata lebar-lebar. "Kamu jangan ikut-ikutan gila seperti Amara, mana mungkin aku menikahi dia?" sergah Alvian, dia tidak percaya Ratih akan menyuruhnya menikahi gadis pecicilan itu.

"Hanya itu satu satunya cara agar Amara memiliki ibu. Atau, apa kamu mau kembali pada Lira? Rujuk sama dia agar Amara bisa-"

"Tidak Ratih, omong kosong macam apa ini? Lebih baik aku menduda seumur hidup daripada harus kembali pada wanita pengkhianat itu." ketus Alvian menatap marah pada Ratih.

Meski di dunia ini hanya tersisa Lira seorang, dia tidak akan mau kembali pada wanita murahan itu. Wanita yang tega meninggalkan putri dan suaminya hanya demi nafsu dan kepuasan dunia sesaat.

"Aku juga tidak setuju, aku cuma iseng doang. Sebagai perempuan, aku malu melihat kelakuan mantan istrimu itu." jelas Ratih, dia tidak serius menyuruh Alvian kembali pada Lira.

Barang yang sudah menjadi sampah, tidak usah dipungut lagi. Biarkan dia membusuk di dalam tong sampah, pikir Ratih.

Ya, Ratih tau persis bagaimana karakter wanita seperti Lira. Tidak hanya meninggalkan suami dan putrinya, tapi Lira juga pernah bermain mata dengan klien bisnis Anggara, ayah Alvian.

Dari sanalah asal mula kehancuran keluarga Alvian dimulai. Hanya saja Ratih tidak bisa mengatakan itu pada Alvian, dia takut Alvian semakin terpuruk jika mengetahui kenyataan menyakitkan itu.

Sampai detik ini, Ratih masih betah menyimpan rahasia itu dan mengunci mulut rapat-rapat. Entah sampai kapan dia sendiri tidak tau.

Ratih hanya ingin Alvian dan Amara bahagia meski tanpa kehadiran Lira di tengah-tengah mereka. Ratih juga berharap Alvian mau membuka hati untuk wanita lain. Mungkin Anika adalah calon yang tepat untuk Alvian, apalagi Amara sangat menyukainya.

"Bagaimana? Kamu mau kan mengakhiri status dudamu ini? Jangan kelamaan Alvian, nanti keburu berkarat!" seloroh Ratih, lalu terkekeh menertawakan Alvian.

"Berkarat kepalamu. Jangan bisanya hanya mengomentari hidup orang, lihat dirimu sendiri! Apa sudah basi?" Alvian tak mau kalah dan balas menertawakan Ratih.

Tawa keduanya pecah sampai terdengar ke telinga Anika yang baru saja hendak istirahat di kamar. Karena penasaran, gadis itu mengintip dari tirai jendela dan melihat jelas keakraban kedua anak manusia itu.

Ya, Ratih dan Alvian memang sudah seperti kakak beradik.

Pertama kali Ratih menginjakkan kaki di rumah Alvian, sejak dia baru tamat SMA. Saat itu Ratih harus menggantikan pekerjaan ibunya yang tengah sakit. Alvian yang biasanya kesepian, sangat senang karena Ratih bisa menjadi temannya mulai saat itu.

Saking dekatnya mereka, Anggara sempat berpikir untuk menikahkan mereka berdua. Tapi karena tidak berjodoh, pernikahan itupun urung dilaksanakan.

"Ya sudah, masuklah ke dalam! Cuaca mulai dingin, kalau kamu sakit aku juga yang repot." imbuh Alvian setelah tawa mereka mereda.

"Iya, tapi tolong pikirkan lagi apa yang aku katakan tadi!" jawab Ratih mengulum senyum.

"Hmm... Nanti aku pikirkan," sahut Alvian.

Setelah Ratih memasuki rumah, Alvian terdiam sejenak. Sepertinya dia sedang menelaah kata-kata Ratih barusan.

Apa mungkin dia menikahi Anika disaat luka hatinya belum mengering seutuhnya? Lagian mana mungkin Anika mau menikah dengannya yang seorang duda beranak satu, jelas tidak mungkin.

Seketika Alvian pun tersenyum getir. Lima tahun lamanya dia menutup diri, hati dan keinginan untuk berumah tangga kembali. Trauma itu masih ada dan mengikat kuat hatinya sehingga sulit membukanya untuk wanita lain.

"Anika..." gumam Alvian, lalu mengetok kepalanya sendiri dan mengacak rambutnya sampai berantakan. Bisa-bisanya dia memikirkan gadis menjengkelkan itu setelah mendengar ucapan Ratih tadi.

Tapi entah kenapa, makin ke sini sikap Anika malah membuatnya semakin penasaran. Meski pecicilan tapi gadis itu cukup polos, apalagi setelah melihat langsung bagaimana sabarnya Anika menghadapi Amara. Alvian bisa merasakan ketulusan di hati gadis itu.

Puas bergelut dengan pemikirannya, Alvian pun meninggalkan taman dan memilih masuk ke kamar. Sudah saatnya istirahat dan mengumpulkan tenaga untuk besok. Entah apa lagi yang akan dilakukan Amara setelah kejadian memalukan sore tadi. Alvian benar-benar kehilangan muka di hadapan Anika.

...****************...

"Pagi Ma," sapa Amara saat tiba di kamar Anika. Bocah itu mengukir senyum manis dan berhamburan ke pelukan Anika yang tengah merapikan tempat tidur.

"Pagi sayang," sahut Anika membalas pelukan Amara, lalu mencium pipi bakpao bocah itu. "Cantik sekali, mau kemana?" tanya Anika menyipitkan mata.

Ya, Amara sudah wangi dan rapi dengan dress selutut tanpa lengan yang melekat di tubuh mungilnya. Rambutnya dikuncir dua dan dijalin dengan rapi.

"Loh, ini kan hari Minggu Ma. Amara mau ikut Papa ke restoran, Mama ikut juga ya!" ajak Amara dengan semangat empat lima. Air mukanya nampak bersinar secerah sinar mentari pagi.

"Tapi-"

"Ayolah, Ma!" bujuk Amara dengan manja seraya bergelayut di tengkuk Anika.

"Iya, iya, Mama ikut." mau tidak mau Anika terpaksa mengangguk setuju.

Sebenarnya Anika belum siap bertatap muka dengan Alvian, kejadian sore kemarin masih menyisakan rasa canggung dan malu di hatinya. Bagaimana cara menghadapi tatapan tajam Alvian setelah ini?

Tapi bagaimanapun, dia tidak mungkin menghindar terus menerus dari Alvian. Keduanya tinggal di rumah yang sama, suka tidak suka pasti akan sering bertemu. Anika harus siap menanggung segala resiko karena keputusannya yang sudah setuju menjadi pengasuh Amara.

Karena Anika sudah setuju, Amara pun membawanya ke ruang makan. Mereka harus sarapan sebelum meninggalkan rumah, kebetulan Ratih sudah selesai menghidangkan makanan di atas meja.

"Suapi ya, Ma!" pinta Amara dengan manja.

"Iya sayang," sahut Anika, lalu dengan cepat mengambil piring dan mengisinya dengan makanan. Anika pun lekas menyuapi Amara.

Tidak lama, Alvian datang dan ikut bergabung bersama mereka. Namun dia tidak berani menatap Anika sebab perasaan malu yang masih membelenggu hatinya. Dia hanya fokus dengan makanan yang ada di piringnya dan melahapnya sampai tandas.

Terpopuler

Comments

Windarti08

Windarti08

Alvian dan Anika sama-sama malu ternyata😆😆

2023-06-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!