Owen
Gue tidak menyangka kalau yang akan membuat gue sadar dari kebingungan dan yang membuat gue lepas dari jeratan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab seperti benang kusut di dalam otak gue adalah bacot laki-laki ini.
Laki-laki yang dulunya gue lihat dan gue dengar tidak banyak omong. Namun, siapa yang sangka. Meski tidak sering mengeluarkan kata-kata, sekalinya berbicara, yang keluar adalah kata-kata sampah seperti yang baru saja dia ucapkan.
"Sekarang karena elo udah tahu, jadi silakan tanda tangan surat itu."
Perhatian gue sekonyong-konyongnya beralih dari tempat antah-berantah ke dia untuk beberapa detik, kemudian barulah tertuju pada kertas yang dimaksud.
Surat yang masih tergeletak di atas lantai. Surat yang entah kenapa bisa kusut, gue benar-benar tidak bisa mengingat kenapa kertas itu sudah kusut seperti itu saja. Surat yang berjudul "Surat Persetujuan Pengangkatan Anak".
What the fxck is going on this fxcker's mind?
Setelah itu, tidak ada yang bisa menahan tangan gue untuk tidak melayangkan tinju demi tinju ke mukanya yang sempurna. Dengan amarah yang menggebu-gebu gue permak muka calon suami Olavia itu.
Si Cantik. Namanya Olavia.
Dan anak gue. Namanya Oleander.
Owen. Olavia. Oleander.
Fxck.
I think someone just knocked the air out of my lungs. Dan gue sepenuhnya sadar kalau itu bukan perbuatan Angga. Dari tadi dia hanya diam dan menerima pukulan demi pukulan yang gue layangkan ke arah mukanya.
Bukannya gue berhasil mendaratkan banyak pukulan di wajah itu. Hanya beberapa. Dan itu sakitnya sungguh luar biasa.
Dasar raksasa sialan. Tulangnya keras sekali seperti baja.
Gue lantas berhenti dan menghempaskan tubuh gue kembali ke lantai. Fxck. Napas gue tersengal-sengal. Bukan hanya karena "latihan" tinju yang barusan gue kerjakan, akan tetapi juga karena perasaan "aneh" yang gue rasakan di dalam dada.
Shxt.
What is happening with me?
Gue merasa perasaan gue berserakan di mana-mana. Gue merasa perasaan gue tertarik ke mana-mana. Gue merasa hati gue tidak bisa menentukan apa yang ingin dia rasakan. Terkejut, karena gue ternyata memiliki anak. Bingung, karena kenapa Olavia menyembunyikan hal itu selama ini dari gue. Cemas, karena apa yang akan gue lakukan dengan informasi ini. Apa yang akan gue lakukan selanjutnya? Gue tidak bisa bertindak seolah-olah tidak mengetahui apa pun soal Oleander. Gue tidak bisa berpura-pura tidak tahu sama sekali.
Bagaimana dengan karir gue? Apa dampak yang akan gue terima apabila berita ini tersebar ke media? Fxck. No, no, no. Gue tidak bisa melahirkan skandal yang lain lagi. Gue tidak bisa menciptakan kekacauan lagi. Bisa-bisa Bram benar-benar menggantung gue nanti.
Fxck. Fxck. Fxck. Fxck.
Gue merasa sedikit lega karena gue mengambil keputusan sepihak soal ini. Gue merasa lega karena, di balik tuntutan manajer gue yang memberikan instruksi agar gue melaporkan semua yang gue lakukan padanya, gue tidak memberi tahu Bram apa-apa soal kedatangan Angga. Begitu pula dengan berita yang diantarkannya literally ke pangkuan gue.
Fxcking hell.
Namun, tidak bisa dipungkiri. Gue juga merasa sangat menyukai rasa yang ditimbulkan ketika gue menyebut nama kami satu per satu. Owen. Olavia. Oleander.
It's so freaking cute. Right?
Gue sudah gila. Gue sudah gila.
"Get out," perintah gue di antara napas yang mulai teratur. "Get the fxck out of my house."
Gue harus menyuruh dia pergi dari sini. Gue harus membuat dia ke luar dari rumah ini secepatnya agar gue bisa berpikir dengan lebih tenang. Agar otak gue bisa berfungsi dengan lebih benar, lebih baik. Agar gue bisa merencanakan semuanya.
Tentu sebelum melakukan semua itu gue harus mengusir si Beruang Raksasa sialan ini.
"Get the fxck out!" Gue tunjuk pintu depan yang masih bisa terlihat dari ruangan tempat kami berada sekarang. "Ke luar dari sini sekarang juga. Dan bawa kertas sialan ini balik sama lo ke Jakarta. Gue gak mau tanda tangan apa pun!"
Ketika gue melihat Angga yang masih menyandarkan diri ke dinding di belakangnya itu tidak bergerak sama sekali, gue renggut kertas tersebut dari lantai dan gue tamparkan ke dadanya. Pun gue tarik lengannya yang besar dengan paksa agar dia bisa berdiri.
Fxck. This man is built like a brick. He's so fxcking heavy. Son of a bitxh.
Setelah berjuang sendirian selama beberapa detik, si Angga sialan ini akhirnya mau membantu gue untuk mengangkat bokongnya yang berat. Tangan kanannya sudah memegang tas punggung kecil berwarna hitam yang dia bawa tadi bersamanya. Sesudah dia berdiri, gue kemudian mendorong tubuhnya itu ke arah pintu. Langkahnya diseret ke sana.
"Pergi lo dari sini. Pergi. Sialan." Gue terus merepet di antara usaha gue untuk menyuruh si Beruang Raksasa Tak Bertenaga itu untuk kembali ke asalnya. "Dasar anxing. Pergi lo."
Tepat saat sampai di pintu, gue melangkah ke depan dia (sialan dia tidak mendongakkan kepalanya ketika gue seret tadi), gue setengah berbisik setengah menggeram. "Dan jaga mulut lo selama dalam perjalan kembali ke habitat. Gue gak mau ada satu orang pun yang tahu selain orang-orang yang tahu soal hal ini sekarang. Kalau sempat media mendengar semua ini, gue bakal menuntut lo. Gue gak peduli lo anaknya siapa, gue gak peduli kalau lo punya lebih banyak uang dari gue, gue gak peduli kalau lo punya becking-an dari mana aja. Gue gak peduli. Yang jelas, kalau lo berani mengucapkan satu kata saja soal ini, mampus lo. Gue seret bokong lo ke pengadilan sampai tetes darah terakhir!"
****
Angga
Gue tidak benar-benar sadar dengan apa yang gue lakukan. Setelah dibikin babak-belur oleh si bxjingan sialan itu, ditarik dan diseret keluar dari rumahnya, dan diancam dengan konyol, gue berjalan menyusuri jalan setapak kembali ke jalan besar. Gue lalu memesan taksi online. Sembari menunggu, gue sempatkan mencuci muka dengan air sawah yang mengalir di dekat tempat gue menunggu kedatangan jemputan gue.
"Fxcking hell." Gue mendesis saat air menyentuh luka-luka di sekitar wajah gue.
Sialan. Tangan lembek itu ternyata masih bisa mencederai kulit gue.
Setelah itu, gue mengangkat baju untuk menyeka wajah. Hal ini membuat gue tersadar dengan bentuk baju gue.
Sialan. Cowok kurus itu menang banyak sekarang. Tidak hanya membuat wajah gue luka dan lebam, akan tetapi dia juga merombak bentuk baju yang gue pakai.
Segera saja gue buka kaus Henley polos lengan pendek berwarna abu tua itu dan menggantinya dengan kaus yang sama namun dengan warna abu muda. Kemudian gue basahi kain rusak itu dengan air sawah lagi (pada stage ini gue sudah tidak peduli lagi soal kebersihan) dan kembali menepuk-nepuk muka gue alakadarnya, terutama di bagian pipi kiri dan rahang. Karena di situlah pusat tempat kejadian perkara.
Sesudah merasa cukup "bersih", gue keluarkan masker, topi, dan kacamata Rayban dari dalam tas. Gue kenakan semuanya.
Done.
Setidaknya, untuk saat ini bisa dikatakan done.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments