Angga
Gue tidak sadar kalau sekujur tubuh gue bergetar ketika akhirnya membawa tubuh Olavia berdiri bersama tegaknya tubuh gue. Gue tidak sadar dengan air mata yang membanjiri kedua wajah kami. Gue tidak sadar dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang mengudara dari orang-orang di sekeliling kami. Gue tidak sadar akan apa pun selain Olavia dan gue sampai akhirnya gue mendengar rengekan dari suara tersebut. "Papa, Mama, Papa, Mama."
Saat gue menunduk, Ole sudah ada di antara kaki kami. Dia mengangkat-angkat kedua tangannya minta digendong.
Lekas gue masukkan tubuh mungilnya ke dalam dekapan sehingga kepalanya kini hampir sejajar dengan kepala mamanya. "Mama, kok, nangis?" tanya Ole curiga. Kerutan di keningnya persis seperti yang sering Olavia tampakkan ketika dia menaruh perhatian lebih pada sesuatu.
Mau tertawa, akan tetapi gue sadar kalau itu akan membuat anak gue menjadi semakin bingung. So, gue memilih jalan tengah dengan menjelaskan. "Mama kamu lagi senang, Le."
Bukannya mengerti, Oleander malah semakin kehilangan petunjuk. "Kalau Mama senang, kenapa Mama nangis, Pa?"
"Yaa, karena pas senang kita juga bisa nangis," sahut gue lagi.
Si yang berulang tahun menelengkan kepalanya penuh tanda tanya.
Olavia melihat ini sebagai kesempatan untuk mengambil alih percakapan. "Eh, kamu masih mau main apa udah pengen potong kuenya?"
"Potong kue!" Secara ajaib kerutan di dahinya tadi mendadak hilang dari wajah malaikatnya. Tatapan bingung yang ada sebelumnya kini sudah berganti dengan keceriaan. Tangan Oleander pun terangkat untuk alasan yang lain.
"Kalau begitu, kamu harus cuci tangan dulu, ya? Tadi, kan , selesai main pasir." Wanita gue menambahkan di kemudian.
"Sini, biar Ole cuci tangannya sama Oma aja."
"Iya, Oma juga mau nemenin Oleander ganteng cuci tangan, nih. Yuk."
Dan, secara ajaibnya lagi, dua orang wanita yang melahirkan kami juga sudah muncul dan berada di sana. Olavia entah mengapa tersipu malu mendengar suara kedua ibu-ibu itu.
"Eh, Mama. Eh, Tante," sapanya penuh segan.
Tante Yuni segera memeluk putri semata wayangnya itu. "Selamat, ya, Sayang." Dikecupnya kening Olavia.
"Thanks, Mama."
Selanjutnya giliran bokap gue yang memeluknya. Mama hanya melihatnya dengan senyum sebelum ikut membubuhkan sebuah kecupan di kening wanita pujaan gue itu. "Gak usah panggil Tante lagi. Mulai sekarang panggil Mama juga, ya?" suruh Mama dengan penuh kasih sayang.
Daaaamn. Rasanya hati gue benar-benar penuh melihat interaksi dua wanita gue itu. Wanita yang telah melahirkan gue dan wanita yang kkelak akan melahirkan anak-anak gue.
Calon istri gue.
Fxcking hell. Semua masih terasa begitu tidak nyata.
Lalu, para wanita itu bergantian mengambil giliran untuk mengecup pipi gue.
"Akhirnya, ya, Ngga," ucap Tante Yuni penuh arti.
"Akhirnya, Tante." Gue menanggapi.
Gue langsung ditusuk oleh lirikan wanita paruh baya itu. "Kamu juga, Ngga." Tante Yuni menepuk lengan gue dengan lembut. "Gak usah manggil Tante lagi. Kelamaan. Udah bosan juga dipanggil Tante sama kamu."
Okay, then. "Ah, Tan–eh, Mama bisa aja."
Wanita-wanita yang mengelilingi gue terkikik.
Rengekan Oleander kembali berhasil membuat percakapan para orang dewasa kembali ke jalan yang benar. "Mama, kue! Oma, kue. Kue, kue, kue!"
Seketika gelak pun pecah.
"Ya, sudah. Ayo, sini."
Ole yang sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kue ulang tahunnya segera mencondongkan tubuh ke depan, ke arah tangan nyokapnya Olavia. Dan kedua ibu-ibu itu pun membawanya pergi dari kami.
Setelah Oleander menghilang, orang-orang seperti berlomba-lomba untuk menghampiri gue dan Olavia untuk memberikan selamat.
Shxxxxt. Bagaimana gue bisa lupa kalau ada tamu sebanyak ini yang menyaksikan lamaran gue tadi? Sialan. Kebahagiaan kadang memang membuat lo lupa daratan.
Kami menyambut ucapan selamat satu per satu. Gue bahkan harus pura-pura rela dipeluk oleh sepupu dan Tante Olavia yang gue tahu selama ini telah menjulidi kehidupan wanita gue itu. Ingin rasanya gue maki mereka atas perkataan tidak pantas yang sudah ke luar daei mulut busuk mereka. Namun, akhirnya gue memutuskan untuk tetap menahannya di dalam hati. Gue tidak mau merusak hari bahagia ini dengan tindakan bersikap picik.
"Weeee, selamat, bos!" seru Bang Coki setelah Pak Joko menyalami gue. "Akhirnya jadi juga, nih!"
Gue juga memilih untuk memaafkan sikap girangnya yang terlalu berlebihan itu. "Thanks, Bang," sahut gue. "Belum jadi, sih. Baru setengah mateng." Gue balas bercandaannya.
"Sial. Gue masih gak nyangka kalau lo juga bisa bercanda. Kirain Tuhan cuma kasih lo satu emosi doang. Ternyata ...."
Gue tidak tahan untuk tidak mengumpat dia untuk komentar yang baru saja dilontarkan. "Sialan lo, Bang! Lo pikir gue apaan?"
Kami semua tertawa.
"Kalau gini caranya, kayaknya akuharus cepat-cepat tobat, nih!" sela Mbak Lina yang merujuk pada percakapan—no, bukan percakapan, akan tetapi perkataan Olavia pada zaman dahulu kala.
Empat tahun yang lalu terasa begitu jauh sekarang.
Wanita gue sekonyong-konyongnya menundukkan kepala dan menyurukkan wajahnya di dada gue. Hal itu jelas berhasil menyulut api overprotektif gue terhadap Olavia. "Come on, Mbak. Gakusah bahas itu sekarang lah. Gue aja udah lupa." Gue memprotes.
Mbak Lina masih mempunyai hati nurani untuk merasa bersalah. "Eh, sorry. Maksud Mbak bukan gitu, La," ringisnya.
Olavia di kalakian mengangkat wajahnya lagi. Dia tidak lupa untuk menyikut perut gue terlebih dahulu sebelum tersenyum pada server restoran kami itu. "Gak apa-apa, Mbak. Kayaknya Mbak emang harus cepetan tobat, deh. Daripada telat nanti."
Tak lama setelah Mbak Lina menyudahi ucapannya, kami menyambut Bu Renata yang mendekat bersama suaminya, kontraktor kepercayaan gue. Baru tadi pagi, saat mereka datang, barulah gue tahu kalau Mas Galuh adalah suaminya ibu-ibu kecil cabe rawit itu.
Mas Galuh mengulurkan tangannya. "Selamat, ya, Pak. Semoga lancar sampai hari H."
Gue menjawab uluran tangan itu smabil tersenyum. "Makasih banyak atas doanya, Mas." Tidak sama dengan Olavia dan mantan sekretarisnya, Mas Galuh tetap menjaga atmosfer keprofesionalitasan di antara kami.
Hm. Mungkin karena dia mencium banyak proyek baru di masa depan atau gimana, ya?
"Akhirnya, La!" Ibu-ibu dengan postur kecil itu dengan serta-merta melompat ke dalam pelukan Olavia. Mereka telah lama meninggalkan kebiasaan melakukan percakapan dengan formal setelah Olavia menyerahkan tampuk pimpinan kepada Bu Ratna. Semenjak saat itu, mereka menjadi lebih akrab dan berinteraksi layaknya kakak yang agak lebih tua dan adik bungsu.
More or less like someone who should have been here today, or everyday in these three years.
Skip that part.
Namun, sepertinya gue tidak bisa menjadikan skip that part sebagai kenyataan karena gue yakin Olavia juga menyadarinya di saat yang bersamaan dengan gue. Seketika itu juga gue menyaksikan sinar di matanya sedikit demi sedikit meredup setelah mengucapkan terima kasih kepada Bu Renata yang sudah berlalu.
Untung tidak ada lagi orang yang mengantre untuk memberikan selamat. Bu Renata dan Mas Galuh adalah pasangan yang terakhir.
Gue peluk wanita gue itu. "She'll come around," bisik gue di telinga Olavia. "She will. Just ... wait with me. Okay?"
Sebuah gerakan kecil terasa di atas dada gue. Olavia baru saja mengangguk. "Okay," bisiknya kembali.
Okay. Gue harap cewek itu benar-benar sadar dan kembali menjadi sahabat Olavia suatu saat nanti. Suatu saat yang gue harap datang lebih cepat.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Anonymous
ole anaknya owen?
2023-02-24
0
Yuyu
siapa yang diomongin di akhir sih?????
2023-02-05
0