Angga
Kening kecil dan mulus Oleander berkerut. "What, Papa?" tanyanya penuh rasa penasaran.
"Kamu juga harus bantu Mama, ya? Biar Mama gak terlalu capek. Kan, kasihan Mama kalau kecapekan."
"Mama capek?" Dia mengulang kalimat itu.
Gue mengangguk. "Iya. Mama's feeling is not really good. Jadi, Mama mudah capek. Kalau Mama sudah capek, Mama akan mudah merasa sedih. Dan kita tidak mau melihat Mama sedih, kan?"
Kepala kecilnya menggeleng. Kerutan yang ada di kening Oleander tadi kini sudah berganti dengan raut yang cemas. Tak lama kemudian dia bergerak-gerak di dalam gendongan gue, meliuk-liukkan badannya agar dapat terlepas. Gue kalakian membungkuk. Sesaat setelah kakinya menginjak tanah, dia melesat menuju ke arah mamanya.
Gue serta-merta menyusul. Ketika gue sampai, Ole sudah berada di dalam pelukan Olavia. Lengannya dikalungkan di leher wanita pujaan gue itu. "Sowwy, Mama. Lele udah bikin Mama capek."
Sebelah alis Olavia terangkat saat matanya terkunci dengan pandangan gue. Gue hanya mengedikkan bahu dan meringis. Maksud gue bukan membuat Ole ikut sedih juga sebenarnya. Namun, apalah daya. Gue harus banyak belajar lagi di masa depan. "Hm. Enggak, Sayang. Mama capek karena Mama kurang enak badan aja."
"Weally?" Dia menegakkan tubuhnya yang sebelum ini disandarkan oada tubuh Olavia.
"Yeah." Olavia menyisir rambut si bocah dengan jari-jarinya. "Mama will feel better soon though. I promise."
"You pwomise?" Ole mengangkat jari kelingking kecil miliknya.
"I promise." Kedua kelingking orang-orang yang penting di dalam hidup gue itu pun bertaut.
Oh, my fxcking God. That scene in front of me? Apa yang sedang gue lsaksikan benar-benar melelehkan sekaligus menguatkan hati gue. Gue harus membereskan urusan gue dengan Owen secepatnya.
Olavia lalu mengecup rambut bocah itu. Dan sama seperti gue, hidungnya seketika mengernyit. Dia memelototkan matanya ke gue.
Gue balik membesarkan mata gue sambil mengedikkan bahu. Gue lalu mengambil alih percakapan. "Hm. Papa tahu cara yang paling ampuh untuk membuat Mama merasa lebih baik."
Kepala Oleander tegak lagi. "What, Papa?"
Oh, how I love intonasi yang dia pakai ketika dia mengucapkan kalimat itu; sangat genuine dan penuh antusias. "Kita bisa pijitin Mama. How about that?"
"Pijit?"
"Yeah, pijit." Gue memeragakan sebuah gerakan menekan-nekan menggunakan tangan gue. "Kayak gini."
Oleander terdiam.
"Gimana? Do you think you can do that?"
Layaknya sang Mama, tidak ada yang bisa membuat Ole mundur dari sebuah tantangan. "Yes!" raungnya penuh semangat. Dia segera turun dari pangkuan Olavia dan berdiri di samping mamanya yang sedang duduk dengan posisi miring itu.
Gue tergelak dan segera mengambil posisi. Gue angkat kaki Olavia yang tengah terunjur di sepanjang sofa dan kemudian duduk. Kaki wanita pujaan gue gue letakkan di atas paha. Gue mulai memijat telapaknya.
"Hm." Olavia mengerang. "That feels so good."
Walaupun mata gue sibuk memperhatikan gerakan bocah laki-laki tiga tahun yang auper duper lucu itu, telinga gue tetap fokus menyimak reaksi yang diberikan oleh Olavia melalui suara-suara yang dikeluarkannya. It's music to my ears.
"Good, Mama?" Suara kecilnya bergabung.
Dari sudut mata gue bisa melihat anggukan Olavia. "Yes, Baby. That's really really really good. Mama feels better already."
Pujian dari Olavia juga menjadi bahan bakar bagi Oleander. Gerakannya semakin cepat. Wajahnya semakin serius. Dia ... semakin terlihat adorable.
Ekspresi di wajah Oleander semakin membakar semangat gue.
Gue tidak sabar lagi untuk menyongsong hari esok.
****
Agak berat meninggalkan rumah orang tua Olavia tadi malam. Alasannya adalah karena gue harus melihat raut sedih di wajahnya setelah gue memberi tahu kalau gue akan pergi ke luar kota. "Berapa lama?" tanyanya sembari menengadah untuk melihat gue. Bibirnya cemberut.
"Gak lama, kok, Yang. Cuma sehari doang, kok. Aku berangkat besok pagi dan pulang malamnya. Lusa kita udah bisa ketemuan lagi." Gue menjelaskan.
Kami sedang berada di dalam kamar Olavia. Tubuh gue disandarkan di kepala tempat tidur dengan kaki berselonjoran. Olavia merebahkan badannya di samping gue, lengan kirinya memagut pinggang gue sedangkan kepalanya direbahkan di atas dada gue. Lengan kanan gue menyilang di punggung Olavia yang menghadap ke atas karena posisi yang dilakukannya, memberikan akses yang lebih luas dan lwbih mudah bagi gue untuk menggosok-gosok bagian punggung bawahnya yang mulai nyeri.
"Oooh. Oke," jawabnya singkat sebelum mengajukan pertanyaan lain. "Ada urusan apa, sih, emangnya di sana?"
Ternyata inilah yang paling berat; berjalan di sekitar topik untuk menghindari berkata jujur. "Ada bisnis. Kebetulan orangnya gak bisa ketemu di luar. Makanya aku yang harus ke sana."
Damn it. White lie or not, berbohong adalah sesuatu yang tetap saja sangat sulit untuk gue lakukan. Apalagi sambil menatap mata yang memohon itu secara langsung.
Ditatapnya mata gue barang satu atau dua detik lebih lama. "Fine." Dia akhirnya mendesah, mengalah pada keadaan. Dia bukannya sedang ingin bersikap curigaan dan mengekang gue, dia tidak pernah menjadi sosok yang seperti itu selama ini, akan tetapi pre-menstrual syndrome-lah yang patut disalahkan. "Just, please come back home soon."
Dan, jujur saja, gue sangat menyukai sikapnya yang clingy ini. Begitu juga dengan cara dia yang tak ragu-ragu mendeskripsikan dirinya dan Oleander sebagai rumah gue. "I will, Baby. I will." Gue sekonyong-konyongnya melorotkan tubuh gue hingga pada akhirnya tubuh kami sama-sama rebah di sana.
****
Gue terbangun pukul dua belas lewat sepuluh tengah malam dengan Olavia yang masih ada di dalam pelukan gue.
Come on, Time. Berjalanlah dengan lebih cepat sehingga hari di mana gue bisa memiliki wanita ini seutuhnya segera tiba.
"I love you, Baby. I love you so much," bisik gue.
Setelah mengecup puncak kepalanya, dengan hati-hati gue menarik diri dari bawah wanita yang sedang pulas itu. Setelah berhasil lepas dari pelukannya, gue perlahan-lahan memberingsut ke tepi kasur.
Setelah sampai di pintu, barulah gue menoleh untuk melihat wanita yang paling gue cintai di dunia ini itu. God, I love her so much.
Gue selanjutnya memeriksa Ole yang kamarnya tepat berada di seberang kamar Olavia. Pintu kamar tamu yang disulap menjadi kamar bocah yang sudah gue anggap seperti anak gue sendiri itu tidak tertutup rapat. Olavia sengaja melakukan itu agar dia bisa keluar dan masuk kamar secara bebas, tidak takut akan mengganggu tidur si balita.
A thoughtful thought that come in handy sekarang ini.
Gue tetap melangkah dengan lambat meski gue tahu karpet yang menutupi permukaan lantai akan meredam suara yang muncul. Dari samping box tempat tidurnya, gue melihat Ole yang sama pulasnya dengan sang Mama sambil memegang boneka beruang berwarna putih yang merupakan hadiah pertama gue untuknya ketika dia baru lahir.
"Hei, kiddo. Papa jalan dulu, ya. Doain Papa biar semua urusan Papa lancar. Love you. So much."
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments