Angga
"You did great, Son." Bokap berkata dari tempatnya berdiri di samping gue.
Gue menoleh dan tersenyum. "Thanks, Pa."
Tumbuh tanpa bakat bermusik dari Bokap, dari kecil gue menjadikan mendapat pengakuan dari orang tua laki-laki gue itu sebagai sebuah misi. Entah dengan melakukan suatu hal yang kecil seperti menyelesaikan sendiri soal-soal pekerjaan rumah dengan benar atau mengembangkan usaha yang sudah dirintis olehnya terlebih dahulu. Apa pun gue lakukan agar bisa mendapat sebuah anggukan penuh rasa bangga, tepukan di bahu, atau cara apresiasi lainnya dari Papa.
Meski dia dan Nyokap tidak pernah memaksa gue untuk mengikuti jejak mereka, ketika pada akhirnya gue malah mewarisi kemampuan Mama dalam belajar, gue akui gue merasa sedikit kecewa. Karena gue kecil dulu merasa kalau gue harus menjadi pemusik dan rock legend seperti Papa untuk dia bisa menyayangi gue. Agar dia tidak pergi meninggalkan gue di rumah bersama Mama. Agar ketika dia sedang tur nasional dan internasional, dia mau mengajak gue karena gue juga bisa bermain musik.
Hal ini terjadi terus-menerus dan berulang-ulang sampai gue mampu berpikir dan mengambil kesimpulan sendiri kalau; tidak peduli apa pun pekerjaan gue, apa pun minat dan bakat gue, Bokap akan tetap sayang sama gue. Bokap akan selalu ada buat gue sepanjang gue membutuhkan dia. Bokap akan terus mendukung semua keputusan gue.
Termasuk ini.
"Si Berxngsek itu pasti menyesal sudah meninggalkan mereka." Papa menambahkan di kemudian.
Gue merasa senang ketika mendengar Papa menyebut si Berxngsek itu dengan sebutan berxngsek, akan tetapi gue tidak tahu apa yang harus gue rasakan soal hal yang lain. Gue mendesah.
"What is it?" tanya Papa dengan penasaran.
"Angga gak tahu harus merasa gimana soal itu, Pa." Gue melirik Bokap sekilas sebelum melanjutkan. "For Olavia's sake, Angga harap si Bajxngan itu cukup menyesal sehingga dia mau meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya terhadap wanita Angga. Tapi ...." Gue menghela napas panjang lagi. "Tapi, di satu sisi yang lain, Angga berharap dia tidak cukup menyesal sehingga membiarkan Angga memiliki apa yang seharusnya bisa dia miliki dulu, Pa. Angga tidak cukup kuat untuk melepaskan mereka berdua kalau si Bajxngan itu memutuskan untuk mengambil Ole."
"Hey, now." Papa lantas menegur. "Pikiran macam apa itu?"
Gue hanya mengedikkan bahu.
"Come on, Ngga. Ini hari bahagia. Oleander baru saja berulang tahun yang ketiga. Kamu dan Ola sudah resmi bertunangan. Jangan berani-beraninya kamu mencoba mengacaukan kebahagiaan Papa dengan sikap seperti itu, ya."
Yeah, Bokap gue benar. Kenapa tiba-tiba saja gue jadi merasa lemah seperti ini, sih?
Papa memutar badan sehingga kini badannya yang besar menghadap ke arah gue. Disilangkannya tangan di dada, sebuah gelas yang berisi whiskey neat yang telah dia pegang sedari tadi tergantung di ujung tangan kanannya. "Lagian, Papa yakin Ola akan memilih kamu. Oleander juga. Karena bagi mereka, kamu adalah yang terbaik. Kamulah yang sudah menemani mereka selama ini. Kamulah yang tulus mencintai mereka. Ingat itu. So, jangan pernah bersikap pengecut seperti barusan lagi, terlebih di depan Papa. Kamu itu anak Papa dan Papa tahu kamu akan memperjuangkan mereka. Kamu dengar, Ngga? Kamu ngerti?"
Bukan hanya Papa, gue juga tahu kalau gue akan memperjuangkan mereka sampai titik darah penghabisan gue. Namun, ini bukan hanya soal perjuangan. Ini menyangkut darah yang benar-benar mengalir di dalam tubuh Ole yang dia bagi bersama ayahnya.
Apakah ada yang mengalahkan ikatan tali darah?
Fxck!
Ke mana perginya semua kepercayaan diri gue?
Seperti bloodhound yang bisa mengikuti jejak dengan sangat cepat, bokap gue itu juga bisa mengetahui kerusuhan seperti apa yang terjadi di dalam kepala gue. "Ngga, think about it this way."
Gue mendongak dan menatap Papa.
"Kalau dia mau, tentu dia sudah melibatkan diri dalam kehidupan mereka selama ini, bukan? Tapi, kamu lihat sendiri kenyataannya seperti apa. Dia absen dari hari pertama. Dia bahkan meninggalkan Ola begitu saja."
Gue bisa merasakan darah gue mulai mendidih memikirkan saat-saat itu. Gue tidak tahu persis apa yang terjadi, akan tetapi gue ada di sana untuk membereskan kekacauan yang ditinggalkan bajxngan itu bersama Olavia.
"Yeah, I know." Gue berkomentar.
"So?" tantang Papa. "Apa yang perlu dicemaskan lagi, ha? Ola sudah setuju untuk menjadi istri kamu dan secara tidak langsung Oleander akan menjadi anak kalian. Kalau kamu masih ingin membuatnya resmi di mata negara, kamu masih busa melakukan itu. Kamu pasti bisa melakukannya."
Gue tidak menyangka kalau kata-kata itulah yang gue butuhkan. "Angga tetap ingin mengadopsi Oleander, Pa."
"Good. Good," sambut Papa dengan semangat. "Kalau begitu itulah yang harus kamu lakukan."
Percakapan kami terhenti sementara gue mencerna dan menyemangati diri gue sendiri di dalam hati.
Gue pasti bisa. Gue pasti bisa. Gue hanya tinggal mendapatkan tanda tangan persetujuan dari si Bajxngan itu saja dan persyaratan yang lain akan gampang diurus.
Tanpa sadar gue benar-benar telah menganggukkan kepala. Padahal gue pikir gue hanya akan melakukan itu di dalam kepala gue saja.
"That's my boy." Papa kembali memutar posisinya sehingga kembali melihat ke depan.
Hari sudah mulai gelap. Para tamu sudah pulang. Hanya tersisa kami dan keluarga terdekat saja. Om Arif dan Oliver gue rasa masih membicarakan soal kasus klien mereka di ruang kerja calon mertua gue itu. Beberapa laki-laki yang lain juga membentuk gerombolan mereka sendiri. Sedangkan para wanita masih saja mengerubungi calon pengantin gue.
Thank God sinar itu kembali lagi ke matanya.
Oleander sudah tertidur pulas daei tadi. Terlalu capek dengan aktivitasnya seharian ini.
"Kamu masih punya kontaknya, kan?"
Gue mengangguk lagi, kali ini sadar dengan gerakan yang gue lakukan. "Masih, Pa."
"Oke. Untuk berjaga-jaga, nanti Papa cariin nomor manajernya juga. Papa yakin nomor pribadinya udah ganti karena, you know, skandal yang baru-baru ini terjadi."
Oh, for fxck's sake.
Gue betul-betul jijik melihat apa yang ditampilkan di TV dan berserakan di media sosial itu. Bagaimana seorang laki-laki bisa bertingkah dengan sangat tidak berintegritas seperti itu? Apakah uang dan kepopuleran sudah sangat meracuni kepalanya sehingga dia tidak bisa berpikir dengan jernih lagi?
Namun, in a sense, itu bagus. Dengan bersikap seperti itu, dia membuat Olavia lebih mudah untuk melupakan.
Setidaknya begitu yang diakui Olavia pada gue.
Gue berharap memang benar begitu kenyataan yang ada di dalam hatinya.
"Yeah. Angga rasa Papa benar." Gue mengakui.
"Of course. I know I am," jawab bokap gue dengan enteng.
Hal itu membuat gue berpikir. "Angga gak tahu apakah Angga pernah bertanya soal ini sama Papa sebelumnya, but ... gimana cara Papa menghadapi apa yang Papa hadapi saat Papa berada di puncak karir Papa?"
Papa tercenung sejenak. "Hm. I don't know." Akhirnya Papa menjawab. "Mungkin karena dari awal Papa sudah punya Mama kamu yang selalu bisa membuat Papa merasa sadar diri. I mean, sometimes things might get in your head dan membuat kita lupa akan kenyataan. I think that was what happened with that bastxrd. He forgets."
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Yuyu
kebayang aja sering ditinggal orang tua buat nyari duit. i feel you Nggaaaa
2023-02-05
1