Owen
Bram dan Maria melirik satu sama lain.
Maria kemudian menyilangkan tangan di depan dadanya yang hampir datar.
Saat melihat gerakan itu, mata gue langsung tertuju ke sana, secara otomatis mengikuti gerakannya. Ah, gue masih berusaha untuk membuang bayangan tidak menyenangkan itu dari otak gue. Kenapa dulu gue pernah tertarik sama dia, sih? Dasar alkohol sialan. It really did cloud my judgement at times.
What a shitty time.
"Tapi, kamu sendiri yang mau melakukan semua itu. Kamu sendiri yang melakukannya! Kamu yang jahat, kamu yang berxngsek!" sembur Maria dengan berapi-api.
Well, kayaknya gue udah harus ganti publicist, nih, kalau begini caranya. Gue baru sadar kalau inilah alasan sesungguhnya kenapa orang-orang tidak mau mencampur-adukkan antara bisnis dan pleasure mereka. Bisnis bisa hancur karena pleasure yang tidak terlalu pleasurable.
Okay noted.
Bram yang tadinya terlihat gugup menghadapi gue kini menoleh ke arah Maria dengan alis terangkat. Gue tebak mungkin dia bertanya-tanya kenapa Maria bisa bersikap sangat tidak profesional seperti barusan.
Well, sebentar lagi terbongkar, nih, rahasia gue dan Maria.
Benar saja. Bram bukan orang baru di dunia hiburan. Dia malah jauh lebih senior dari gue yang masih hijau. Dia pasti sudah paham dengan apa saja yang bisa dan biasa terjadi di dunia kami ini. Laki-laki yang berusia tiga puluh lima tahun itu sekonyong-konyongnya melirik ke arah gue. Saat melihat sunggingan senyum pongah dari salah satu sudut bibir gue, dia mengutuk, "Fxcker sialan!"
Gue tergelak lagi. Ketahuan, deh!
Beberapa saat kemudian, Bram kembali menoleh kepada Maria. Kali ini dengan ekspresi yang lebih terkontrol dari sebelumnya sewaktu dia melihat ke arah gue. "Hm, Maria. Kayaknya gue dan Owen harus pergi dulu. Kita bisa bahas ini di lain hari. Oke? Thanks, by the way." Tubuh yang selalu dibungkus oleh setelan jas dan kemeja mahal itu lalu mendekati gue dengan langkah cepat dan tegas. "Get up! We need to go, right the fxck now!" suruhnya dengan rahang yang terkatup.
Uuuh. Look! Papa Bear is angry. How scary.
Gue menyeringai dan berdiri. Meski gue senang menguji kesabaran dan kekuatan jantung Bram, gue juga tahu kapan harus main-main dan kapan waktunya untuk serius. Meskipun begitu, berbeda dengan wanita yang juga memakai setelan blazer dan rok pendek warna merah menyala itu. Gue tidak tahan untuk tidak menggoda Maria yang alisnya tengah berkerut sembilan. "Bye, Maria. See you later!" seru gue dengan kegirangan yang gue harap dapat membuatnya muak dan muntah-muntah.
I know I won't be seeing here later. Or, maybe ever again.
I could live with that.
Maria mengacuhkan pamit gue. Kini dia malah menggertakkan gigi seakan ingin menghancurkan semuanya.
Shxt. Lucu sekali membayangkan wanita berambut sebahu berwarna pirang hasil salon itu ompong di usianya yang sudah menginjak empat puluhan. Atau, memang sudah waktunya, ya? Sebagai karma karena suka main dengan brondong kayak gue.
Bleh. Fxck. Gue yang hampir saja muntah karena baru ingat soal usia Maria yang sesungguhnya. Empat puluh berapa, ya? Empat puluh lima? Atau ... malah sudah lima puluh? Fxxxxck. Isi perut gue rasanya mulai berputar. Fxcking hell! Kenapa waktu itu gue mau main sama wanita setua dia?
Anxing. Memanglah alkohol sialan!
"Kenapa lo?" Bram melirik gue dengan tatapan jijik.
"Fxck, man. Gue baru sadar kalau Maria itu udah tua banget," keluh gue sambil terus memegangi perut. Gue memilih untuk berterus terang karena, yaa, apa yang mau didustakan lagi? Dia juga sudah bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi. Fxxck. Di balik tebalnya tumpukan bedak terdapat kulit-kulit yang mulai keriput.
"Rasain lo!" rutuk Bram. "Karma karena udah bikin hidup gue susah."
Gue mencoba menyamakan langkah kami. "Come on, bro. Hidup lo memang susah, tapi, kan, duit yang masuk ke rekening lo jumlahnya juga gak nyakitin."
"Fxcking asxhole!"
Gue hanya mengedikkan bahu.
Di ujung lorong yang menghubungkan kantor Maria dengan bagian lain dari gedung ini, Bram berhenti. Langkahnya yang tidak ada lagi membikin gue secara otomatis juga menghapus gerak. Di kalakian dia memutar badannya ke arah gue dan berkacak pinggang. Sebelum berbicara, dia menengok ke kanan dan ke kiri, meneliti setiap sudut akan kemungkinan adanya pencuri dengar percakapan kami.
Setelah dia merasa aman, barulah dia melepaskan semuanya kepada gue. "Dengar, Wen. Gue kali ini serius. Jadikan ini sebagai pelajaran buat lo untuk gak dip your fxcking junk di sembarang tempat lagi. Apalagi dengan orang-orang yang ngurusin elo. Never again. Lo dengar gue, kan?"
Gue mengangguk.
Bram maju satu langkah kecil, mengurangi jarak di antara kami. Dengan setengah berbisik setengah berteriak, dia lanjut mengata-ngatai gue lagi. "Gue tahu kalau gue dapat banyak uang dari elo, terima kasih banyak untuk aikap sembrono lo. Tapi, jangan lo pikir gue masih kerja sama lo karena gue butuh duit. Enggak, man. Gue udah punya cukup tabungan kalau gue mau berhenti. Gue punya cukup koneksi untuk memulai artis baru gue.
"Gue masih ngurusin bokong penuh txi lo itu karena gue peduli sama lo, bro. Gue udah menganggap lo sebagai adik gue sendiri. Gue sayang sama lo. Lo punya banyak potensi, itulah kenapa gue mau ngurusin lo dari hari pertama. Tapi, seiring berjalannya waktu, sayangnya lo terlena sama dunia ini. Bukannya fokus sama musik, lo biarkan diri lo dimanfaatkan oleh label dan penikmat gosip.
"Lo sadar itu, gak? Ha? Lo sadar gak?" Bram lalu menggeleng. "Percuma gue ngomong panjang lebar kalau lo sendiri gak sadar sama apa yang terjadi sama lo." Pria berkumis dan berjenggot subur itu pun mendesah. Gue lihat bahunya naik dan turun secara signifikan seiring dengan udara yang keluar masuk dari dalam sana. "Udah lah. Capek gue. Sekarang terserah lo. Lo mau bikin apa, juga terserah lo. Gue gak ada waktu untuk ngurusin itu. Soalnya gue harus mikirin gimana cara bilang ke label kalau lo harus ganti publicist secepatnya. Sedangkan publicist yang elo tidurin itu adalah publicist terbaik yang bisa lo dapatkan saat ini.
"Sialan lo, Wen! Pantas aja gue gak ada waktu untuk nyari pacar. Soalnya ngurusin lo aja udah menyita seluruh waktu dan pikiran gue. Malahan dua puluh empat jam yang dikasih Tuhwn, tuh, gak cukup buat membersihkan semua kekacauan yang udah lo buat. Sialan, Wen. Sialan!"
Well, apa yang mau dikata?
Gue memang seorang laki-laki berxngsek, akan tetapi gue adalah laki-laki berxngsek yang mereka ciptakan. So, tidak salah, dong, kalau gue membiarkan mereka mengecap seperti apa sensasi berurusan dengan keberxngsekan gue. Iya, kan?
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Krystal Zu
bagus
2023-03-05
0
Lakuna 21
iya iya iyaaa
2023-02-09
0
Black Rose
baru di awal dah kena marah ama manajer sendiri capwdeh
2023-02-07
1