Olavia
Angga tidak dapat dihubungi. Setelah mengabariku kalau dia sudah mendarat dengan selamat dan akan menuju ke tempat pertemuan dengan koleganya, dia tidak melakukan check-in denganku lagi.
Mungkin dia masih sibuk. Mungkin dia masih mengadakan pertemuan dengan orang yang disamperinya. Mungkin mereka tengah berdiskusi dengan alot sehingga Angga tidak memiliki waktu untuk menelepon atau hanya sekadar mengirimkan satu buah pesan.
Stop it, Ola. Stop being so damn dramatic and such a overthinker. Angga pasti baik-baik saja. Kamu dan Ole, toh, juga baik-baik saja. Kalian pasti akan tetap baik-baik saja meski tidak bertemu satu hari ini.
Kudengar rengekan Oleander dari baby monitor yang tadi kuletakkan di sampingku.
Belum sempat aku berdiri, rengekannya sudah menjelma menjadi tangis yang histeris.
Oleander juga menjadi lebih sensitif dan lebih needy hari ini, tidak seperti biasa-biasanya. Seharian tadi dia hanya ingin aku gendong dan aku peluk. Seharian tadi dia juga luar biasa cengeng. Dia tidak mau main sendirian atau dengan Mama, dia harus selalu bersamaku. Saat dicek pun, suhu badannya stabil. Makanan anakku juga selalu aku jaga kehigienisannya. Seperti semenjak dia lahir, aku yang selalu mengontrol aa yang masuk ke dalam tubuh buah hatiku itu.
Namun, tidak seperti sebelum-sebelumnya, dia hari ini bersikap beda.
Apa karena dia tidak bertemu dengan Angga seharian? Aku rasa bukan itu penyebabnya. Di lain waktu yang lalu Angga juga pernah tidak datang ke sini dalam dua hari dan itu tidak menjadi masalah buat Oleander.
Way to make your overthinking self even more overthink in the middle of the night, Olavia.
Segera kugendong Oleander yang sudah berdiri di dalam tempat tidurnya itu. "Shh. Shh. Kenapa, Sayang? Kenapa kamu seharian ini rewel? Apa yang bikin kamu sedih, hm? Apa yang bikin kamu gak tenang?" Aku bisikkan pertanyaan-pertanyaan itu pada bocah yang sudah menyandarkan kepala kecilnya di bahuku.
"Shh. Shh. Shh. Mama di sini. Kamu sekarang tenang, ya. Kamu sekarang tidur aja. Mama akan jagain kamu. Gak ada yang bisa gangguin kamu selama Mama ada di sini. Shh. Shh. Shh. Oleander anak Mama yang pintar." Terus aku berusaha untuk menenangkan buah hatiku itu sembari menepuk-nepuk punggungnya dengan perlahan saat aku berjalan ke arah kursi goyang yang ada beberapa langkah dari tempat tidur Oleander.
Kuubah posisinya di dalam pelukanku. Kini kugendong dia dengan tubuhnya yang menyamping. Kepala kecilnya berada di bawah tulang selangka. Kulihat matanya menyalang, dia masih terjaga. "Oleander kenapa, Sayang? Apa yang Oleander rasakan sekarang? Bilang sama Mama."
Untuk pertama kalinya dia menjawab pertanyaanku dengan jelas. "Lele kangen Papa," ungkapnya dengan suara serak karena tenggorokan yang sudah lelah sebab menangis.
Hatiku mencelus. "Oh, ya? Lele kangen Papa, ya?" Aku mengkonfirmasi dan sengaja menggunakan panggilan kesayangan yang dia gunakan untuk dirinya sendiri.
Kurasakan kepalanya bergerak, naik dan turun dengan pelan. "Hu-uh." Dia bergumam pendek.
Otomatis tanganku bergerak untuk mengetatkan pelukan di sekeliling tubuhnya. "Hm. Oke. Asal Lele tahu, Mama juga kangen sekali sama Papa. Jadi, Lele gak perlu merasa sendirian lagi. Ada Mama di sini. Kita bisa kangen Papa sama-sama. Ya?" Kukecup puncak kepalanya agak lama.
Angga, kamu di mana, Ngga?
"Papa tapan pulangnya, Ma?"
Pikiranku langsung teralihkan oleh keingintahuan anakku. "Papa kemarin bilang kalau dia akan pulang paling lambat besok. Jadi, kalau kita tidur sekarang, pas kita bangun esok harinya, Papa pasti udah di jalan pulang." Aku mencoba menjawab dengan sebaik mungkin walau di dalam hati aku juga mempertanyakan hal yang sama. Dan kalau boleh jujur, aku tidak bisa memastikan kebenaran jawabanku itu.
Angga, please. Kamu lagi ada di mana sekarang?
Kulirik jam yang tergantung di dinding di samping boks tempat tidur Oleander. Sudah pukul setengah dua belas malam.
Dan masih saja tidak ada kabar apa pun dari Angga.
"Kalau ditu Lele mau bobok dulu, ya, Ma. Bial becok pas Lele bangun Papa udah sampai di lumah. Bial abis itu kita bisa langsung main lagi." Ucapan Oleander didukung oleh kuap yang timbul setelahnya.
"Iya, Sayang. Lele tidur dulu, ya. Kalau istirahat Lele cukup, tubuh Lele jadi merasa lebih segar besok setelah bangun. Dan Lele punya tenaga yang cukup untuk main," jelasku seraya memberi dukungan pada keputusannya.
"Okay, den." Dia kembali menguap. "Lele bobok dulu, ya, Ma. Tapi, Lele boboknya sama Mama. Mama gak boleh tinggalin Lele sendiri di sini. Lele gak mau bobok sendirian. Ya, Ma?" Kantuk yang tadinya mulai menguasai matanya kini sirna oleh perasaan takut ditinggalkan.
"Mama gak akan pernah meninggalkan kamu sendirian, Sayang. Kamu dengar, kan? Mama akan selalu ada buat Lele, kapan pun Lele butuh Mama." Sebuah kecupan lagi-lagi mendarat di kepala anak itu, kali ini di keningnya. "Mama akan selalu menjaga kamu, melindungi kamu. Mama akan lakukan apa pun untuk memastikan agar kamu tetap bahagia."
Di kalakian aku memberikan tawaran. "Nah, kalau gitu, gimana kalau kita boboknya di kamar Mama aja. Lele mau, gak, bobok di kamar Mama?"
Oleander lantas mengangguk. "Oke, Mama."
"Okay, then. Kalau gitu, ayo. Berangkat!" Aku segera berdiri dengan hati-hati. Kuperbaiki peganganku terhadap Oleander. Dia kembali ke posisi semula, dengan tubuh lurus mengarah padaku, kepala terparkir di atas bahu.
"Mama, wait, wait, wait," pekiknya seraya menegakkan tubuh saat aku hendak berjalan.
"Apa, Sayang?" Aku menoleh. Kurasakan keninghku berkerut karena kebingungan.
"Bear Lele ketinggalan. Lele mau bawa Bear juga, Ma. Lele gak bisa tidur kalau gak ada Bear."
Aku baru teringat akan boneka beruang kesayangannya itu. Boneka binatang berbentuk beruang kutub yang diberikan oleh beruang kutub kesayanganku.
Aku tersenyum dengan kaku pada anakku sendiri. "Oh, my God. Gimana Mama bisa lupa, ya?" tanyaku lebih pada diriku sendiri. Kutepuk keningku dengan gerakan yang dramatis.
Kikikan Oleander yang terdengar berhasil menjadi sedikit penawar bagi hati yang sedang kacau balau.
Namun, kikikannya tidak berlangsung lama. Setelah kami sampai di kamarku, dia kembali resah dan gelisah. Dalam tidurnya, berkali-kali dia memanggil-manggil Angga.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Oleander? Apakah ini insting seorang anak terhadap ayahnya?
Dia sebenarnya mengantuk, akan tetapi hatinya yang tidak tenang menuntut bayi tiga tahunku untuk tetap terjaga karena begitu menginginkan papanya. Atau karena perasaan apa pun itu soal papanya. Berkali-kali dia harus terbangun dari tidurnya yang tipis.
Atau ....
Atau apakah dia hanya memproyeksikan perasaanku saja? Karena aku tidak tenang, jadinya Oleander juga merasa seperti itu. Karena aku seharian ini sudah mencemaskan keadaan Angga yang tanpa kabar, jadinya Oleander juga merasa seperti itu. Perasaan kacaukulah yang telah mengacaukan harinya.
Apakah benar begitu?
Apakah yang terjadi sekarang merupakan insting seorang anak terhadap ibunya?
Oh, my God.
What is really happening right now?
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments