Angga
"Apa tiga bulan gak terlalu cepat, Ngga?" Wanita pujaan gue bertanya dari ujung sambungan. "Maybe lebih baik kalau kita gelar acaranya enam bulan lagi aja. Gimana?"
"Nope." Gue sekonyong-konyongnya membantah dan menatap lurus ke layar ponsel pada Olavia. Gue sedang berada di resto, mengecek keadaan dan laporan yang dibuat oleh Dimas sedangkan Olavia dan Ole, dua orang berinisial O yang menjadi oksigen bagi gue, tengah berada di rumah. "Bagi aku tiga bulan itu udah cukup lama, Sayang. Aku udah nunggu kamu hampir lima belas tahun. Dua tahun lebih semenjak aku minta izin sama papa kamu. Sekarang kamu suruh aku nunggu lagi? Aku gak peduli kalau kita cuma nikahan di KUA aja. Yang penting kita nikah. Titik."
Olavia masih tidak percaya kalau gue sudah meminta restu dari orang tuanya jauh sebelum gue benar-benar melamar dia akhir minggu kemarin.
"But, wait, wait, wait. Tunggu dulu. Apa menurut kamu tiga bulan itu terlalu cepat?" Pikiran itu tiba-tiba saja terlintas di benak gue. Gue tidak bisa berbohong kalau kemungkinan ini membuat gue agak sedikit merasa ... aneh.
"No!" Kali ini Olavia yang gegas berseru. "Enggak, enggak sama sekali. Kok kamu mikirnya gitu, sih?"
Diam-diam gue embuskan napas panjang. Lega mendengar jawaban yang ingin gue dengar. "Bukannya apa-apa, Yang. Tadi aku cuma nanya aja. Memastikan kamu sependapat sama aku. Kalau kamu merasa perlu enam bulan untuk mempersiapkan apa yang perlu dipersiapkan, ya ... okay. I will give you that six long and torturous months." Gue sengaja mendesah dengan dramatis.
"Iih, jangan lebay, deh," protes wanita yang kini sedang duduk di salah satu stool di counter dapur. Dia memasukkan satu butir anggur hijau ke dalam mulutnya setelah memutar bola mata yang sudah kembali bertemu dengan produk-produk alat kecantikan itu. Sejak Ole berusia dua setengah tahun, Olavia sudah kembali menggunakan riasan tipisnya. Dia berkilah bahwa bayi di bawah usia Ole saat itu hanya akan mengikis bedak dan eyeliner-nya dalam tiga menit. Berbeda dengan anak-anak yang usianya lebih besar. Mereka sudah mulai mengerjakan beberapa hal secara mandiri. Jadi, setidaknya makeup yang dipakai akan bertahan sedikit lebih lama. "Aku juga pengennya perayaan yang sederhana aja, kok, Yang. Di taman belakang rumah kayak kemarin aja juga gak apa-apa. Undangannya cukup keluarga dan sahabat dekat. Udah. Gitu."
Gue tersenyum. Keinginannya tetap tidak berubah. "Masih sama berarti." Gue nyeletuk.
"Maksud kamu?" tanya Olavia keheranan.
"Iya, masih sama. Dulu kamu juga bilang itu sama aku."
Wanita yang paling gue cintai di dunia ini agak terkejut. "Oh? Iya, ya?"
Gue bergumam dan mengangguk sekali. "Eh-hm."
"It's nice to know that you're still remember things that happened a very long time ago."
Gue condongkan tubuh ke depan. Kini lengan gue bertelekan di atas meja kerja di ruangan gue. Sekilas gue melirik foto yang pernah dilempar Olavia dulu hingga kacanya pecah. Keesokan harinya gue langsung mengganti pigura itu dengan yang baru. "You'll be surprised if I tell you about all the things I still remember after all this time, Baby."
Kalimat gue itu berhasil membikin pipi Olavia memerah. "Angga, stop!" cicitnya sembari memegangi .
Gue hanya tertawa. Gue tidak bermaksud untuk membuat dia malu, akan tetapi bukan tanggung jawab gue, dong, ke mana perginya arah pikiran dia setelah mendengar apa yang gue ucapkan. Meskipun gue sebenarnya suka ke mana arah pikiran dia. "Sayang, kamu kenapa? Mukanya, kok, jadi merah gitu?" seloroh gue.
"Gak apa-apa, gak apa-apa." Dia menggeleng. Cepat-cepat Olavia mengalihkan percakapan. "Ya, udah. Kamu lanjutin kerjanya aja dulu. Aku mau beres-beres lagi mumpung Oleander masih nyenyak tidurnya."
"Okay. See you later, Sayang. Kasih Ole kecupan dari aku, ya."
"Will do. Bye, Sayang."
"I love you."
"Love you too."
****
Owen
Gue masih tidak tahu apa yang harus gue lakukan terhadap nomor ponsel Angga yang dikirimkan oleh Bram tadi. Gue tidak tahu apa yang akan terjadi setelah gue mengangkat ponsel ini dan menghubungi dia.
Apakah akan berbuah manis?
Atau malah menjadi malapetaka?
Setelah memutuskan panggilan dari Bram, gue segera membersihkan badan dan membuat sarapan. Bram, sekali lagi, benar. Mengurus diri gue sendiri berhasil membangkitkan kembali kenangan ketika gue belum menjadi Owen yang sekarang. Tinggal di rumah ini, mengerjakan semuanya sendiri, membuat gue ingat lagi akan keadaan yang sebelumnya pernah gue alami.
Keadaan ketika uang adalah satu masalah yang harus gue pecahkan dan perjuangkan setiap harinya.
Fxck.
Setelah beres-beres kemarin, Bli Gedhe datang dengan membawakan keperluan harian. Bahan makanan, minuman, dan beberapa keperluan lain seperti sabun pencuci piring dan pakaian. Gue berterima kasih kepada sepupu Bram itu dan mulai menjalani kehidupan isolasi gue.
Kehidupan dalam isolasi yang ternyata sangat gue butuhkan.
Gue tidak tahu kalau gue sangat membutuhkan pengingat seperti ini. Gue tidak tahu kalau gue sudah lupa diri dan lupa daratan. Gue tidak tahu kalau gue sudah lupa asal.
Fxck. Gue berutang banyak sama si Bram galak itu.
I'll take care of that when this fxcking situation ends. Now I need to take care of this first.
Atas nama utang budi kepada bapaknya, akhirnya gue memutuskan untuk menghubungi Angga. Meskipun tidak adanya urusan kami sebelum ini, setidaknya gue masih menghargai jasa besar Big Ben buat karir gue.
Gue sentuh tanda telepon di samping nomornya.
Fxck. Kenapa gue jadi deg-degan begini, ya?
"Halo."
Fxck. Panggilan gue diangkat sebelum dering panggilan pertama selesai. Sepertinya dia sudah menunggu panggilan dari nomor baru.
"Owen?" Ketika gue masih saja diam, dia akhirnya bisa menyimpulkan sendiri siapa yang menelepon siang-siang begini dan malah memilih untuk tidak berkata sepatah kata pun. "Gue Angga. Lo pernah kerja di resto gue dulu. Beniqno."
Gue akhirnya membuka suara. "Hm. Gue ingat."
"Good."
Hening lagi.
Gue memutuskan jika lebih baik bagi kami berdua kalau apa pun urusan ini selesai dengan cepat. "So? Manajer gue bilang kalau lo punya sesuatu yang harus dibicarakan sama gue."
"Yes. About that."
"What about that?" Gue mengambil alih.
Butuh beberapa saat bagi Angga untuk mengungkapkan apa yang menjadi alasannya menghubungi gue. "Sebaiknya kita bicarakan ini secara langsung. Sebaiknya kita ketemu."
"Gue sedang tidak dalam keadaan yang membuat gue mampu bepergian dengan bebas sekarang," jawab gue tegas.
Jika dia yang mempunyai kepentingan sama gue, dia yang harus datang ke gue. "Okay, then. Kasih gue alamat lo. Biar gue yang ke sana secepatnya."
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Yuyu
mereka ketemuan adudududuh 😲😲😲😲
2023-02-07
0