Angga
"L-lo dan Olavia punya a-anak. Laki-laki. Namanya Oleander."
Cengkeraman erat yang mengoyakkan baju gue tadi sedikit demi sedikit mulai mengendur hingga akhirnya terlepas. Tubuh gue seketika tersandar ke dinding karena tidak ada lagi yang menjadi penyokongnya.
Tidak bisa gue gambarkan betapa hancurnya perasaan gue setelah mengatakan hal itu. Mengungkapkan hal yang tidak disangka tidak dinyana akan menjadi kehancuran bagi diri gue sendiri.
I fxcked up. I fxcked it all up.
****
Owen
Oh, my fxcking God.
What the fxck did he say? What the fxck did he just say? Gue punya anak? Gue punya anak dengan seorang perempuan yang bernama Olavia.
Shxt. Jadi si Cantik itu nama aslinya adalah Olavia.
Gue punya anak. Anak gue bersama Olavia.
Anak gue namanya Oleander. Sedangkan nama mamanya anak gue adalah Olavia.
Fxck. Gue terdengar seperti seorang dungu ketika mengulang-ulang kalimat itu di dalam kepala gue. Namun, meskipun sudah mengulanginya berkali-kali, otak gue sepertinya tetap tidak dapat mencerna informasi ini dengan benar.
Gue masih merasa sangat bingung.
Bebarkah gye sudah punya anak? Apakah yang bernama Oleander, yang dipanggil Ole oleh si bxrengsek pembawa petaka ini tadi, benaran anak gue?
Dan kenapa gue baru mengetahui kalau si Cantik bernama Olavia? Apakah dia memberi nama Oleander untuk menyamakan huruf awal nama mereka? Apa alasan dia memberi nama itu? Apakah ada arti yang lain?
Kenapa gue baru tahu sekarang kalau ternyata gue punya keturunan di muka bumi ini? Kenapa sebelumnya Olavia tidak memberti tahu gue? Kenapa dia melakukan itu? Apa yang ada di dalam pikirannya?
Kalaupun diberi tahu, apa yang akan gue lakukan dengan pengetahuan tersebut? Apakah gue akan memilih untuk bertanggung jawab? Apakah gue akan menerima keberadaan bayi itu? Atau, apakah gue akan marah dan menyuruhnya menggugurkan kandungan yang jelas tidak pernah gue maksudkan untuk terjadi apalagi gue inginkan?
Fxck. Fxck fxck fxck fxck fxck fxck fxck FXCK!
Terlalu banyak pertanyaan yang mengambang di dalam kepala. Mereka minta dipertemukan dengan jawabannya sekaligus.
Gue tidak tahu harus melakukan apa. Gue tidak tahu harus menjawab dengan cara yang bagaimana.
Tangan-tangan gue bergerak sendiri menuju kepala padahal otak gue tidak memberikan aba-aba apa pun pada mereka karena terlalu sibuk melahirkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang akhirnya menyesakkan benak saja. Jari-jemari menyusup ke sela-sela rambut lalu mengalihkan cengkeraman gue ke sana. Gue menarik kumpulan helai dalam genggaman dengan erat. Saking eratnya, gue bisa merasakan beberapa di antaranya malah tercabut hingga ke akar-akarnya.
Perih. Gue merasakan perih, akan tetapi rasa itu tidak berdampak apa-apa pada situasi yang sedang berkecamuk di dalam pikiran. Belum lagi di dalam dada.
Jangan bahas soal rasa. Tak perlu mengeja apa yang terjadi di sana. Emosi-emosi gue buncah, tumpah-tumpah karena sangat penuhnya organ kecil yang sudah lama tidak berfungsi itu.
Kenapa hati gue yang sudah lama tidak bekerja bisa tiba-tiba menyala dan bahkan memuntahkan rasa-rasa?
****
Angga
Gue menunduk.
Namun, setelah dipikir ulang, bukan begitu seharusnya. Jika gue mengatakan bahwa gue menunduk, kalimat itu akan mengimplikasikan kalau gue menundukkan kepala dengan sengaja. Hal itu akan mengisyaratkan kalau gue melakukannya dengan sukarela.
Padahal sebetulnya tidak. Gue tidak menundukkan kepala gue dengan sengaja. Gue tidak melakukan itu dengan sukarela. Gue menunduk karena memang sudah tidak ada lagi tenaga yang dapat digunakan oleh tulang leher gue untuk membuat kepala ini tetap tegak. Tidak. Tidak ada lagi yang tersisa. Gue sudah bilang kalau semuanya sudah terkuras habis bersama helaan napas yang keluar dari mulut gue.
Gue ... tertunduk.
Rasa bersalah dan malu semakin menekan keberadaan gue dari segala arah. Rasa-rasa itu semakin menyesakkan dada.
Fxck.
Gue tarik kaki gue hingga keduanya terlipat di depan badan. Gue letakkan lengan-lengan yang tak berdaya di atas lutut gue yang tegak. Lalu gue topangkan kepala yang sudah kepalang berat oleh beban perasaan di atas lengan gue itu.
Gue pikir tidak ada yang bisa mengusik kehidupan gue lagi setelah gue mendapatkan wanita pujaan gue dan bocah yang sudah gue anggap seperti anak gue sendiri. Gue pikir tidak ada yang bisa mengacaukan rencana yang sudah gue sususn dengan sempurna ini.
Namun, hal itulah yang membuat gue lengah. Hal itulah yang ternyata membuat gue terkecoh. Hal itulah yang pada akhirnya mengacaukan semuanya.
Rasa puas diri. Rasa tak terkalahkan lagi.
Benar-benar sial.
Ingin rasanya menyalahkan takdir atau keadaan. Ingin rasanya marah dan mengkambinghitamkan semua ini pada Tuhan. Pada orang-orang yang mendukung keputusan gue. Papa. Mama. Om Arif dan Mama Yuni. Sahabat gue Oliver. Namun, kita semua tahu bahwa tidak ada satu orang pun dari mereka yang memaksa gue untuk membuat pilihan.
Gue yang memulai langkah gue sendiri. Mereka hanya menjalankan tugas sebagai orang-orang terdekat dengan menjadi pemandu sorak sepanjang masa untuk gue.
Shxt. Ghe sepertinya harus membiasakan diri untuk memanggil Mama Yuni dengan sebutan Tante lagi.
Fxcking hell.
Perih yang gue rasa di dalam hati sungguh-sungguh tidak ada tandingannya. Rasa sakit itu jauh lebih besar dan lebih kuat dari rasa menyesal yang dulu gue rasakan ketika gue harus meninggalkan Olavia. Ngilunya berkali-kali lipat. Pedihnya tak terperi lagi. Rasa perih itu serta-merta membawa dampak pada kantung air mata gue.
Seketika gue merasakan bola mata gue memanas.
Fxck no. Gue tidak boleh hancur di depan bxjingan sialan ini. Gue tidak boleh terlihat lemah di depan dia.
Fxck no. Please no.
Gue genggam tangan-tangan gue seerat mungkin, sampai gue bisa merasakan ujung-ujung kuku menembus kulit telapak tangan dan menciptakan rasa sakit yang lain. Rasa sakit yang bersifat fisik yang bisa gue hadapi sekarang. Rasa sakit fisik yang bisa menjadi pengalih perhatian gue yang masih berpusat pada perih di ulu hati ini.
Setelah merasa cukup mampu, gue lantas menegakkan kepala gue. Dan hal yang pertama kali gue lihat setelah beberapa waktu berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya adalah ekspresi nanar di wajah Owen.
Fxck. What have I done?
Gue tidak tahu apa yang mendorong gue untuk mengatakan kalimat gue selanjutnya. Yang jelas, gue tersadar setelah bogem mentah dari Owen menempel di pipi kiri gue.
I guess it's just like what they have been saying all this time. Desperate times calls for desperate measures.
Dan gue betul-betul sudah putus asa.
"Apa yang barusan lo bilang, hah? Anxing emang lo, ya! Gue gak tahu kalau selama ini gue udah punya anak dan bisa-bisanya lo masih ngotot supaya gue mau menandatangani surat persetujuan adopsi ini. Benar-benar anxing lo!"
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments