17. Desperately Desperate

Angga

"L-lo dan Olavia punya a-anak. Laki-laki. Namanya Oleander."

Cengkeraman erat yang mengoyakkan baju gue tadi sedikit demi sedikit mulai mengendur hingga akhirnya terlepas. Tubuh gue seketika tersandar ke dinding karena tidak ada lagi yang menjadi penyokongnya.

Tidak bisa gue gambarkan betapa hancurnya perasaan gue setelah mengatakan hal itu. Mengungkapkan hal yang tidak disangka tidak dinyana akan menjadi kehancuran bagi diri gue sendiri.

I fxcked up. I fxcked it all up.

****

Owen

Oh, my fxcking God.

What the fxck did he say? What the fxck did he just say? Gue punya anak? Gue punya anak dengan seorang perempuan yang bernama Olavia.

Shxt. Jadi si Cantik itu nama aslinya adalah Olavia.

Gue punya anak. Anak gue bersama Olavia.

Anak gue namanya Oleander. Sedangkan nama mamanya anak gue adalah Olavia.

Fxck. Gue terdengar seperti seorang dungu ketika mengulang-ulang kalimat itu di dalam kepala gue. Namun, meskipun sudah mengulanginya berkali-kali, otak gue sepertinya tetap tidak dapat mencerna informasi ini dengan benar.

Gue masih merasa sangat bingung.

Bebarkah gye sudah punya anak? Apakah yang bernama Oleander, yang dipanggil Ole oleh si bxrengsek pembawa petaka ini tadi, benaran anak gue?

Dan kenapa gue baru mengetahui kalau si Cantik bernama Olavia? Apakah dia memberi nama Oleander untuk menyamakan huruf awal nama mereka? Apa alasan dia memberi nama itu? Apakah ada arti yang lain?

Kenapa gue baru tahu sekarang kalau ternyata gue punya keturunan di muka bumi ini? Kenapa sebelumnya Olavia tidak memberti tahu gue? Kenapa dia melakukan itu? Apa yang ada di dalam pikirannya?

Kalaupun diberi tahu, apa yang akan gue lakukan dengan pengetahuan tersebut? Apakah gue akan memilih untuk bertanggung jawab? Apakah gue akan menerima keberadaan bayi itu? Atau, apakah gue akan marah dan menyuruhnya menggugurkan kandungan yang jelas tidak pernah gue maksudkan untuk terjadi apalagi gue inginkan?

Fxck. Fxck fxck fxck fxck fxck fxck fxck FXCK!

Terlalu banyak pertanyaan yang mengambang di dalam kepala. Mereka minta dipertemukan dengan jawabannya sekaligus.

Gue tidak tahu harus melakukan apa. Gue tidak tahu harus menjawab dengan cara yang bagaimana.

Tangan-tangan gue bergerak sendiri menuju kepala padahal otak gue tidak memberikan aba-aba apa pun pada mereka karena terlalu sibuk melahirkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang akhirnya menyesakkan benak saja. Jari-jemari menyusup ke sela-sela rambut lalu mengalihkan cengkeraman gue ke sana. Gue menarik kumpulan helai dalam genggaman dengan erat. Saking eratnya, gue bisa merasakan beberapa di antaranya malah tercabut hingga ke akar-akarnya.

Perih. Gue merasakan perih, akan tetapi rasa itu tidak berdampak apa-apa pada situasi yang sedang berkecamuk di dalam pikiran. Belum lagi di dalam dada.

Jangan bahas soal rasa. Tak perlu mengeja apa yang terjadi di sana. Emosi-emosi gue buncah, tumpah-tumpah karena sangat penuhnya organ kecil yang sudah lama tidak berfungsi itu.

Kenapa hati gue yang sudah lama tidak bekerja bisa tiba-tiba menyala dan bahkan memuntahkan rasa-rasa?

****

Angga

Gue menunduk.

Namun, setelah dipikir ulang, bukan begitu seharusnya. Jika gue mengatakan bahwa gue menunduk, kalimat itu akan mengimplikasikan kalau gue menundukkan kepala dengan sengaja. Hal itu akan mengisyaratkan kalau gue melakukannya dengan sukarela.

Padahal sebetulnya tidak. Gue tidak menundukkan kepala gue dengan sengaja. Gue tidak melakukan itu dengan sukarela. Gue menunduk karena memang sudah tidak ada lagi tenaga yang dapat digunakan oleh tulang leher gue untuk membuat kepala ini tetap tegak. Tidak. Tidak ada lagi yang tersisa. Gue sudah bilang kalau semuanya sudah terkuras habis bersama helaan napas yang keluar dari mulut gue.

Gue ... tertunduk.

Rasa bersalah dan malu semakin menekan keberadaan gue dari segala arah. Rasa-rasa itu semakin menyesakkan dada.

Fxck.

Gue tarik kaki gue hingga keduanya terlipat di depan badan. Gue letakkan lengan-lengan yang tak berdaya di atas lutut gue yang tegak. Lalu gue topangkan kepala yang sudah kepalang berat oleh beban perasaan di atas lengan gue itu.

Gue pikir tidak ada yang bisa mengusik kehidupan gue lagi setelah gue mendapatkan wanita pujaan gue dan bocah yang sudah gue anggap seperti anak gue sendiri. Gue pikir tidak ada yang bisa mengacaukan rencana yang sudah gue sususn dengan sempurna ini.

Namun, hal itulah yang membuat gue lengah. Hal itulah yang ternyata membuat gue terkecoh. Hal itulah yang pada akhirnya mengacaukan semuanya.

Rasa puas diri. Rasa tak terkalahkan lagi.

Benar-benar sial.

Ingin rasanya menyalahkan takdir atau keadaan. Ingin rasanya marah dan mengkambinghitamkan semua ini pada Tuhan. Pada orang-orang yang mendukung keputusan gue. Papa. Mama. Om Arif dan Mama Yuni. Sahabat gue Oliver. Namun, kita semua tahu bahwa tidak ada satu orang pun dari mereka yang memaksa gue untuk membuat pilihan.

Gue yang memulai langkah gue sendiri. Mereka hanya menjalankan tugas sebagai orang-orang terdekat dengan menjadi pemandu sorak sepanjang masa untuk gue.

Shxt. Ghe sepertinya harus membiasakan diri untuk memanggil Mama Yuni dengan sebutan Tante lagi.

Fxcking hell.

Perih yang gue rasa di dalam hati sungguh-sungguh tidak ada tandingannya. Rasa sakit itu jauh lebih besar dan lebih kuat dari rasa menyesal yang dulu gue rasakan ketika gue harus meninggalkan Olavia. Ngilunya berkali-kali lipat. Pedihnya tak terperi lagi. Rasa perih itu serta-merta membawa dampak pada kantung air mata gue.

Seketika gue merasakan bola mata gue memanas.

Fxck no. Gue tidak boleh hancur di depan bxjingan sialan ini. Gue tidak boleh terlihat lemah di depan dia.

Fxck no. Please no.

Gue genggam tangan-tangan gue seerat mungkin, sampai gue bisa merasakan ujung-ujung kuku menembus kulit telapak tangan dan menciptakan rasa sakit yang lain. Rasa sakit yang bersifat fisik yang bisa gue hadapi sekarang. Rasa sakit fisik yang bisa menjadi pengalih perhatian gue yang masih berpusat pada perih di ulu hati ini.

Setelah merasa cukup mampu, gue lantas menegakkan kepala gue. Dan hal yang pertama kali gue lihat setelah beberapa waktu berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya adalah ekspresi nanar di wajah Owen.

Fxck. What have I done?

Gue tidak tahu apa yang mendorong gue untuk mengatakan kalimat gue selanjutnya. Yang jelas, gue tersadar setelah bogem mentah dari Owen menempel di pipi kiri gue.

I guess it's just like what they have been saying all this time. Desperate times calls for desperate measures.

Dan gue betul-betul sudah putus asa.

"Apa yang barusan lo bilang, hah? Anxing emang lo, ya! Gue gak tahu kalau selama ini gue udah punya anak dan bisa-bisanya lo masih ngotot supaya gue mau menandatangani surat persetujuan adopsi ini. Benar-benar anxing lo!"

Bersambung ....

Episodes
1 1. Owen Si Artis Kontroversi
2 2. Sial!
3 3. Wanita Bergaun Merah
4 4. Terbakar
5 5. Awas Bram Galak!
6 6. Reflection of A Man
7 7. Go Get Her
8 8. She Said Yes
9 9. Congratulations!
10 10. Percakapan Ayah dan Anak
11 11. Mysterious Phone Call
12 12. Janji Temu
13 13. Lidah Cadel Oleander
14 14. I Love You So Much
15 15. When Angga Meets Owen
16 16. Prahara
17 17. Desperately Desperate
18 18. Rasa yang Berserak
19 19. Resah dan Gelisah
20 20. I Don't Feel Like It
21 21. Oh, My God
22 22. When Owen Meets the Mini Version of Him
23 23. Bencana
24 24. Dasar Angga Tolol
25 25. Kelu dan Beku
26 26. Rengsa
27 27. Gue Tidak Tahu Lagi
28 28. This is It for Now
29 29. Lega
30 30. Rapat Keluarga
31 31. Maafkan Aku, Ngga
32 32. Waktu
33 33. Omongan Oliver yang Berbelit-Belit
34 34. Tidak Ada yang Lebih Indah dari Ini
35 35. It's Yours
36 36. Thank you, God
37 37. Kamulah Satu-Satunya
38 38. We Need to Stop
39 39. Pada Akhirnya Semua Akan Baik-Baik Saja
40 40. I'm Not Crying
41 41. No More Secret
42 42. Nikmatnya Dunia
43 43. Berbahaya Namun Seksi
44 44. Nano-Nano
45 45. Menguras Sikap Sombong Owen
46 46. Nurture Over Nature
47 47. Setelah Sekian Puluh Purnama
48 48. Cepat-Cepat
49 49. Sorry, Nama Gue Bukan Cantik
50 50. If I Were You
51 51. There Goes My Messages
52 52. Amplop Cokelat Berlogo
53 53. Keluarga Sebenarnya
54 54. Moral Compass and Whatnot
55 55. Thank You, Owen
56 56. Please, Gue Mohon
57 57. Harap
58 58. Pulang
59 59. Nikah, Yuk
Episodes

Updated 59 Episodes

1
1. Owen Si Artis Kontroversi
2
2. Sial!
3
3. Wanita Bergaun Merah
4
4. Terbakar
5
5. Awas Bram Galak!
6
6. Reflection of A Man
7
7. Go Get Her
8
8. She Said Yes
9
9. Congratulations!
10
10. Percakapan Ayah dan Anak
11
11. Mysterious Phone Call
12
12. Janji Temu
13
13. Lidah Cadel Oleander
14
14. I Love You So Much
15
15. When Angga Meets Owen
16
16. Prahara
17
17. Desperately Desperate
18
18. Rasa yang Berserak
19
19. Resah dan Gelisah
20
20. I Don't Feel Like It
21
21. Oh, My God
22
22. When Owen Meets the Mini Version of Him
23
23. Bencana
24
24. Dasar Angga Tolol
25
25. Kelu dan Beku
26
26. Rengsa
27
27. Gue Tidak Tahu Lagi
28
28. This is It for Now
29
29. Lega
30
30. Rapat Keluarga
31
31. Maafkan Aku, Ngga
32
32. Waktu
33
33. Omongan Oliver yang Berbelit-Belit
34
34. Tidak Ada yang Lebih Indah dari Ini
35
35. It's Yours
36
36. Thank you, God
37
37. Kamulah Satu-Satunya
38
38. We Need to Stop
39
39. Pada Akhirnya Semua Akan Baik-Baik Saja
40
40. I'm Not Crying
41
41. No More Secret
42
42. Nikmatnya Dunia
43
43. Berbahaya Namun Seksi
44
44. Nano-Nano
45
45. Menguras Sikap Sombong Owen
46
46. Nurture Over Nature
47
47. Setelah Sekian Puluh Purnama
48
48. Cepat-Cepat
49
49. Sorry, Nama Gue Bukan Cantik
50
50. If I Were You
51
51. There Goes My Messages
52
52. Amplop Cokelat Berlogo
53
53. Keluarga Sebenarnya
54
54. Moral Compass and Whatnot
55
55. Thank You, Owen
56
56. Please, Gue Mohon
57
57. Harap
58
58. Pulang
59
59. Nikah, Yuk

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!