Owen
Nada panggilan masuk di ponsel gue membuat gue terbangun. Sialan. Siapa yang menelepon sepagi ini?
Lalu gue ingat bahwa tidaka ada yang memiliki nomor baru gue selain si Bram.
Damn it.
Panggilan pertama selesai, akan tetapi segera saja masuk panggilan kedua.
Untuk apa dia menelepon gue sepagi ini?
Gue baru memiliki kesadaran dan kemauan yang cukup untuk menjangkau ponsel dan mengangkat teleponnya pada dering ketiga. "Hm?" gumam gue dengan tenggorokan yang berat oleh kantuk.
"Masih tidur lo?" Pertanyaan yang sungguh sia-sia dan tak berguna. Kalian pikir saja. Kalau gue masih tidur, apakah gue bisa mengangkat telepon dia?
"Menurut lo?" Gue akhirnya memilih menjawab karena ... dia manajer gue. Gue tidak mau mengambil resiko dan membuat dia ngamuk lagi seperti sebelum ini.
"Whatever." Bram juga memilih untuk tidak mempermasalahkan jawaban sembarangan gue. "Eh, by the way, kenapa anaknya Beniqno Addams nyariin elo?"
Nama Beniqno Addams benar-benar terdengar asing di telinga gue. "Beniqno Addams itu siapa?" Gue bertanya sambil mengucek-ngucek mata.
"Fxck, man. Lo gak tahu Beniqno Addams? Big Ben, man, Big Ben! Vokalisnya–"
Sisa kalimat Bram langsung menghilang dari pendengaran gue ketika nama itu akhirnya klik di dalam ingatan gue. Gue sekonyong-konyongnya bangkit dari posisi rebah gue. Kantuk yang masih menggelayuti mata dan mengabut di pikiran seketika itu juga menghilang. Sirna ditelan keterkejutan.
Big Ben. Beniqno Addams. Beniqno Bar and Grill. Tempat terakhir gue nge-busking dulu. Beniqno Addams adalah orang yang membantu menghubungkan gue dengan exec dari label gue sekarang.
Dan anaknya Beniqno Addams adalah ....
Fxck. Mau apa dia sama gue?
"Lo bilang apa tadi, Bram?"
Bram si sialan malah diam saja.
"Bram! Come on, man. Lo tadi bilang apa, ha?" Gue mau tidak mau mendesak manajer gue itu karena gue juga didesak oleh rasa penasaran yang mulai menjalar di dalam darah gue.
Buat apa itu orang mencari gue?
Terdengar embusan napas keras dari seberang sambungan yang menciptakan suara seperti gangguan udara. "Gue tadi bilang kalau anaknya Beniqno Addams nyariin elo."
There it is. "Buat apaan?" Gue menyuarakan pertanyaan besar di dalam kepala gue.
"Yaa, mana gue tahu. Kan, gue tadi juga nanya sama elo. Dia ngapain nyariin elo?" Si Bram langsung membantah.
"Sialan lo. Gue juga gak tahu, makanya gue nanya elo. Kan, elo yang ditelepon." protes gue.
"Ih. Kan, elo yang dicariin." Kami berbantah-bantahan seperti sepasang suami dan istri yang sudah menikah selama ribuan tahun.
"Sialan lo."
Gue menghela napas dalam. "Jadi, gimana ceritanya elo bisa ditelepon dia?"
Kemudian Bram menjelaskan. "Gue dihubungi sama kenalan gue. Katanya mantan manajer atau siapa gitu dari Big Ben nanyain nomor gue ke dia. Terus dia kasih karena orang itu bilang Big Ben ada keperluan sama gue. Ya, udah. Tadi pagi, langsung ada telepon masuk ke nomor gue dari nomor baru. Gue angkat, dong, karena gue udah aware sama panggilan ini.
"Ternyata yang telepon anaknya Big Ben, namanya Angga dan dia nyariin elo. Katanya ada urusan penting yang harus dibicarakan langsung berdua. Dia minta nomor elo yang baru ini. Gak gue kasih. Gue bilang aja kalau lo sempat, lo sendiri yang bakal menghubungi dia balik."
Okaay. Apa keperluan penting yang harus dibicarakan secara face to face itu, ya? Hm.
Dari awal, gue memang sudah merasa agak terintimidasi dengan keberadaan si Angga ini. Bukan hanya karena dia adalah anak dari Beniqno Addams, salah satu vokalis band legendaris, akan tetapi juga karena keberadaan dia membawa suatu aura yang sangat ... I don't know, manly. Ditambah lagi dengan badannya yang tinggi dan berotot seperti ayahnya. Jadilah, gue semakin tidak nyaman berada di satu tempat dengan jarak yang dekat bersama dia.
Julukan Big Ben yang diberikan kepada Beniqno Addams ini bukan diberikan secara sembarangan. Big Ben benar-benar memiliki tinggi yang di atas rata-rata musisi kebanyakan.
Namun, the major factor atas ketidaknyamanan gue adalah ... karena perasaan dia terhadap si Cantik.
Yep. Si Cantik. Gadis yang mengejar-ngejar gue semenjak pertama kali bertemu di Beniqno. Gue lupa namanya siapa. Hm. Kalau tidak salah, di namanya itu ada huruf A-nya, deh. Namun, siapa, ya? Gue benar-benar lupa.
Duh.
Balik lagi ke laptop. Yang jelas, gue tahu dia menaruh hati sama si Cantik dari cara dia memandang cewek itu. Kalau dia biasa menatap orang lain dengan tatapan yang serius sambil mengerutkan kening, ketika melihat si Cantik, pandangan matanya languang berubah. Keseriusannya meleleh, berubah menjadi lebih hangat. Kerutan di keningnya juga hilang. Sudut bibirnya terangkat sedikit.
Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin ini juga menjadi alasan kenapa gue merasa tidak enak berada di dekat dia. Di sanalah dia, mengamati si Cantik dari jauh, sementara si Cantik sedang main-main bersama gue. Gue tidak enakan karena gue hanya main-main bersama orang yang gue berani bilang adalah orang yang dia cintai.
So, yeah. Mungkin juga ada sedikit rasa kasihan yang gue rasakan untuk dia di sana. Jadilah rasa terintimidasi ditambah dengan rasa tidak nyaman ditambah dengan rasa kasihan akan menghasilkan ... rasa yang tidak menentu.
Sialan. Gue bingung banget sekarang.
"Wen, oi, Owen!" Hardikan Bram mengembalikan pikiran gue ke saat sekarang.
"Eh, eh. Iya. Sorry." Gue meminta maaf dengan gagap. "Apa?"
"Kenapa, sih, lo?" Bram bertanya heran. "Aneh banget. Ada urusan apa, sih, kalian?"
"Gak ada urusan apa-apa," tolak gue.
"Serius lo?"
Lah? Kenapa si Bram malah jadi curiga begini sama gue? "Iya, serius. Suuzan banget lo sama teman sendiri."
"Please, Owen. Sekarang ini gue bukannya lagi jadi teman lo, tapi gue lagi jadi manajer lo. Gue udah bilang kalau apa pun masalahnya, apa pun yang terjadi, lo harus update ke gue. Lo harus laporan. Apalagi kalau urusan kalian ini urusan yang aneh-aneh dan berpotensi untuk menimbulkan skandal baru lagi. Yang ini aja masih panas, Xsshole. Masa lo mau nambahin yang lain lagi?" repet Bram yang tengah mengaktifkan mode manajernya.
"Bram, dengerin gue, ya." Gue mulai menjelaskan. Gue tahu kalau dia yang sibuk mengurus imbas dari tingkah jelek gue, akan tetapi gue juga tidak perlu untuk diingatkan terus seperti ini. Gue juga sadar dengan apa yang gue kerjakan. Gue juga mau berubah. Sekarang, kan, gue sedang menuruti apa yang dia kehendaki. "Gue pernah salah, man. Gue akui gue salah. Tapi, lo gak bisa gantung itu terus di atas kepala gue, dong. Gue beneran gak tahu apa urusan yang dimaksud sama si Angga ini. Serius. I have no fxcking idea, for fxck's sake."
Pembelaan diri gue berhasil membungkam Bram. "Okay, man. Okay. Sorry gue udah kelewat batas," ungkapnya di kalakian.
Gue sebenarnya hanya ingin mengedikkan bahu, akan tetapi dia pasti tidak akan bisa melihat itu. "Yeah, me too." Kali ini embusan napas gue yang akan menciptakan suara aneh di speaker ponsel si Bram. "Gue baru ingat kalau gue belum minta maaf ke elo soal kekacauan yang gue buat. Gara-gara gue lo harus kerja lembur."
Kerja lembur adalah istilah yang terlalu enteng dibandingkan dengan apa yang sebenarnya dilalui Bram. "Nah, it's okay. Pastiin aja gue dapat bonus yang lumayan kalau lo survive setelah kasus ini."
Fxcking hell. Kalimatnya sangat menohok.
Kalau gue survive.
Sial. Gue tidak berusaha seumur hidup gue hanya untuk hancur di dunia ini. Gue bahkan belum ada lima tahu berkecimpung di dunia hiburan.
Fxck. Fxck. Fxck. Betapa kata survive benar-benar membuat mata gue terbuka.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Yuyu
nah loh nah loh
ada apa ituuuu?
2023-02-06
0