Angga
Gue mengambil langkah yang akan menjadi langkah penentu dari bagian kehidupan baru gue. Dengan mantap gue lahap meter demi meter yang memisahkan kami. Setiap jarak yang berkurang, gue telan dengan mata tak pernah lepas dari manik-manik cantik kepunyaan wanita pujaan gue itu yang keningnya berkerut itu.
"Hai, Ma. Pa." Gue terpaksa memutuskan koneksi kami demi menyapa orang tua gue terlebih dahulu. Gue tatap mata Papa lebih lama sepersekian detik dan berharap gue bisa mengirimkan isyarat kepadanya dalam waktu yang singkat itu.
Bokap gue adala seorang observer. Bertahun-tahun bertahan di dunia musik yang kejam telah melatih insting dan ilmu pengamatannya. Gue menangkap sekilas anggukannya.
Okay, then. My mission starts now.
"Hai, Sayang," jawab Mama dengan senyum indahnya.
"Angga boleh pinjam Olavianya sebentar?"
Mata Mama membesar untuk beberapa saat yang pendek sebelum menyahut. ",Of course, of course. Go ahead."
"Thanks, Ma." Gue mengecup pipi wanita yang sudah melahirkan gue dan bersabar dengan segala kelakuan gue ketika gue masih kecil dulu. "We will be right back, okay?"
Bokap dan nyokap gue mengangguk dan bergumam serempak. "Oke."
Gue lalu mengalihkan perhatian gue lagi pada Olavia. "Hey, Sayang." Gue kecup rambutnya. "Punya waktu sebentar, gak? Aku mau ngomong sesuatu sama kamu."
Alis yang rapi itu masih saja berusaha untuk bertemu di tengah-tengah keningnya. "Kamu mau ngomong soal apa emangnya?"
Gelak gue tidak dapat ditahan. "Ada, deh. Sesuatu," jawab gue tanpa menerangkan lebih jauh sambil mengusap-usap kerutan yang ada di keningnya itu dengan lembut. "Dan gak usah pakai curiga segala. Aku gak bakalan ngomong yang aneh-aneh, kok."
Tiba-tiba saja gue merasakan sentuhan di perut gue. Olavia lagi-lagi gagal dalam usahanya mencubit bagian tubuh gue itu dan hanya sukses membuat gue geli. Gue tertawa lagi. Bukan hanya karena "gelitikan" yang baru saja mendarat di perut dan pinggang gue, akan tetapi juga karena raut mukanya yang kini terlihat gugup bercampur malu.
Gue bisa mendengar kikikan nyokap di sebelah kami.
Mata Olavia semakin melebar.
Gue tidak kuat menahan tawa gue sendiri.
Wanita pujaan gue itu kali ini meninju perut gue dengan lembut dan menoleh ke arah orang tua gue. "Sorry, Om, Tante. Kami permisi dulu. Nanti kita lanjutkan lagi ngobrolnya." Setelah men-cupika-cupiki bokap dan nyokap, dia berbalik dan meninggalkan gue.
Gue menggeleng dengan gelak yang masih saja ingin ke luar dari dalam dada.
"Angga!" Mama menghardik dari balik gigi-giginya yang terkatup. "Jangan main-main kamu. Cepat samperin Ola sana. Mama gak akan terima kamu di rumah sebelum kamu bisa pastikan kalau Ola mau jadi mantu Mama. Mama maunya mereka cepat-cepat jadi anggota keluarga kita secara resmi. Dengar kamu?"
Seperti gue, Bokap dan Nyokap juga sudah sangat terikat dengan keberadaan Olavia dan Oleander di sekeliling mereka. Semenjak mereka menyelesaikan liburan keliling dunia dengan kapal pesiar kurang lebih delapan belas bulan yang lalu, gue sering mengajak Olavia dan Ole untuk menghabiskan waktu di rumah mereka. Selain karena gue yang betul-betul rindu pada orang tua gue, gue juga ingin mendekatkan keluarga gue dengan calon anggota keluarga yang akan gue bangun sendiri.
Well, gue rasa usaha gue berbuah sesuai dengan keinginan. Thank you, God.
Gue mengedipkan mata ke arah Mama yang setengah geram setengah excited itu dan segera menyongsong Olavia yang sudah beberapa langkah di depan gue. Gue sudah memberi tahu orang tua gue soal rencana ini sejak beberapa hari yang lalu dan gue benar-benar senang ketika mengetahui bahwa mereka jauh lebih tidak sabaran dari gue.
Hm. Tidak ada pilihan lain selain mendapatkan wanita yang paling gue cintai di dunia ini dan membuat dia setuju menjadi istri gue.
"Olavia, Sayang. Tunggu, dong!"
Permintaan gue berhasil membikin langkah Olavia terhenti tepat di tengah-tengah taman.
God damn, the palce and the time cannot be any more precise than that.
Dia berbalik dan sekonyong-konyongnya menyemprot gue dengan omelan. "Ngga, kamu sadar gak, sih, kalau kamu udah bikin aku malu di depan orang tua kamu? Kenapa kamu harus bilang kalau kamu gak akan ngomong yang aneh-aneh di depan mereka? Aku rasanya mau pingsan saat mencoba menebak apa yang ada di dalam pikiran mereka sekarang. Anggaaa, kamu ini benar-benar, deh!"
Seiring dengan gerutuan yang ke luar dari bibir indah nan lembut dan gue yakin sekarang akan terasa sangat manis itu, gue semakin merendahkan tubuh gue hingga akhirnya gue berlutut di hadapan Olavia.
Keningnya kembali mengerut lagi ketika melihat gue ada di posisi ini. Namun, kerutan itu hanya bertahan beberapa sekon sebelum otaknya memahami apa yang sebenarnya tengah terjadi dan mengubah ekspresi gugup dan malunya tadi menjadi keterkejutan yang luar biasa. "A-Ang-Angga? Wh-what a-are you d-doing?" tuturnya dengan terbata.
Gue tersenyum dan mengeluarkan cincin yang sudah menemani perjalanan gue selama lebih dari enam ratus hari belakangan ini. Dengan tidak mengindahkan pertanyaan yang dia ucapkan—lagian gue akan menjawab pertanyaan itu secara tidak langsung dengan melanjutkan apa yang sudah gue mulai ini, bukan?—gue berkata, "Olavia, kamu sudah mencuri hari aku semenjak aku melihat kamu pertama kalinya. Waktu itu hari pertama aku masuk ke sekolah dan seorang anak laki-laki ini mengajak aku main ke rumahnya karena kasihan.
"Aku tidak pernah suka dikasihani, akan tetapi, kalau boleh jujur, itu adalah rasa kasihan yang sangat, sangat, sangat aku syukuri dan akan terus aku syukuri sepanjang hidup aku. Because I got to meet you, the love of my life, that day. So, dengan spirit yang sama, aku mau berterima kasih sama abang kamu yang mungkin menyesal sekarang."
Gue tidak membiarkan tawa yang terjadi di latar belakang mengganggu konsentrasi gue. "Olavia, sudah hampir empat belas tahun semenjak hari itu dan aku masih merasakan hal yang sama. Malah rasanya semakin menjadi-jadi. Dan itu membuat aku tidak ingin menjalani hari-hari tanpa yakin kalau kamu akan benar-benar menjadi milik aku seutuhnya.
"Olavia Marie Arifin, the love of my life, maukah ... maukah kamu menjadi pendamping hidup aku, menjadi tempat aku pulang, menjadi ibu dari adik-adiknya Ole? Maukah kamu melengkapi separuh aku dan menjadikannya utuh? Maukah kamu ... menjadi cinta pertama dan terakhir untuk aku?"
Tahu-tahu jari manis tangan kiri Olavia sudah berada sangat dekat dengan cincin yang gue pegang. "Yes," bisik Olavia. Jawaban yang khusus diperuntukkan buat telinga gue.
Tanpa aba-aba segera saja gue sorongkan benda bulat dari perak dengan mata berlian princess cut dan beberapa potong berlian kecil-kecil di kiri dan kanannya itu semakin dalam hingga ke pangkal. Gue kecup cincin yang akhirnya terparkir di tempat seharusnya dia berada itu setelah sekian lama bersarang di kantong gue.
Seketika saja gue sudah berada di dalam pelukan Olavia yang ternyata ikut berlutut di depan gue.
Gue hirup wangi kulit yang bercampur dengan aroma lain dari produk kecantikan dan kebersihan yanh dipakainya. Aroma yang gue harap akan selalu ada di dalam udara yang gue hela sampai gue mati nanti.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Yuyu
omg yessssssss
2023-02-05
0