Angga
The day has come.
Setelah menunggu selama kurang lebih dua tahun, Tuhan akhirnya mengirimkan sinyal-sinyal ke gue kalau ini adalah saat yang tepat untuk mengeksekusi rencana yang selama ini sudah gue simpan.
Hari ini adalah hari ulang tahun Ole yang ketiga. Tepat tiga tahun yang lalu, gue mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan sebuah fenomena yang benar-benar mengubah hidup gue secara struktural dan juga mentalitas.
Setelah menjadi pendamping Olavia saat dia melahirkan Oleander ke dunia ini, gue tidak hanya merasa bertanggung jawab atas mereka berdua sepenuhnya, akan tetapi juga membutuhkan keberadaan mereka in a sense that ketika mereka tidak ada di dekat gue, gue merasa limbung. Gue merasa dunia gue tidak seimbang. Gue merasa ada tang kurang, dan kurangnya itu seperti lubang yang menganga di dalam diri ini.
"Om, saya rasa waktunya sudah tiba," ucap gue pada Om Arif yang berdiri di depan gue.
Tangannya yang tengah di dalam perjalanan untuk mendekatkan kaleng bir itu ke mulutnya tiba-tiba menggantung di udara selama beberapa detik. Kemudian dia melanjutkan niat dengan menyesap air dengan kadar alkohol yang rendah itu. "Hm." Om Arif bergumam.
Sahabat gue yang berdiri di sebelah kiri bokapnya melirik kami bergantian. Dia juga ikut-ikutan menyesap minuman di tangannya itu, akan tetapi matanya tetap tertuju pada kami.
Gue, Oliver, dan Om Arif sedang berada di halaman belakang rumah keluarga Arifin yang dijadikan venue pesta ulang tahun Oleander itu. Tempat yang biasanya hanya merupakan taman yang lapang, kini dipenuhi oleh berbagai alat permainan dengan istana dari balon nan sangat besar yang menjadi pusatnya. Meja dan kursi disusun disusun berkelompok. Aneka makanan yang didominasi oleh finger food dan desert berjejer di atas meja besar. Sebuah kue ulang tahun bertema truk dan alat berat memimpin di depan.
Kami selalu merayakan ulang tahun Ole dengan meriah. Undangan terdiri dari keluarga besar, anak-anak dari pegawai kantor Olavia, kantor Oliver, dan anak atau keponakan dari pegawai restoran gue. Tentu saja tidak hanya anak-anak mereka yang hadir di sini, orang tua mereka masing-masing juga ada. Jadi, perayaan ulang tahun Ole bisa dijadikan sebagai ajang family gathering bagi semua.
Talk about killing two birds with only one stone.
Satu tim foto- dan videografer sibuk berkeliaran di sekitar taman, mengabadikan setiap momen yang ada. Meski terlihat agak berlebihan, gue dan Olavia punya alasan kami sendiri untuk ini. Gue yakin ketika Oleander besar nanti, tidak akan banyak kenangan pada periode awal kehidupan yang bisa dia ingat. Itulah kenapa gue dan Olavia bersikeras untuk mengumpulkan sebanyak mungkin bukti bahwa Ole memiliki masa kecil yang sangat bahagia.
Mata gue mengecek setiap sudut dengan misi untuk mencari keberadaan dua orang yang paling penting dalam kehidupan gue. Pencarian gue berakhir setelah menemukan lokasi mereka. Olavia yang tengah menggendong Oleander berdiri bersama orang tua gue.
Mereka terlihat bercakap-cakap dengan asyik sebelum perhatian Ole teralihkan oleh sesuatu di depannya. Kemudian sepertinya dia bersikukuh minta diturunkan dari pagutan wanita gue dengan menggoyangkan badan. Olavia mengatakan sesuatu kepada bocah itu. Dia lalu mendaratkan kecupan di kedua pipi bokap dan nyokap gue, turun dari tangan Olavia, dan melesat ke depan.
Gue mengikuti arah ke mana dia berlari dengan saksama. Rasa cemas yang meremas jantung gue sekonyong-konyongnya sirna ketika gue menyadari kalau Ole ingin bergabung bersama teman-temannya yang lain di kolam pasir.
Sebuah tawa yang tertahan melompat dari dalam dada gue. Anak itu. Dia paling tidak tahan ketika melihat pasir dan truk mainannya.
Entah apa yang membuat dia tak lama kemudian mendongak dari miniatur truk yang baknya sedang dia isi dengan pasir (gue sangat suka mengaitkan hal ini dengan tarikan perasaan kami) dan melihat lurus ke arah gue berdiri. Sebuah senyum merekah di bibirnya, menampilkan deretan gigi-gigi kecil yang masih berlepotan cokelat.
Seringai yang secara otomatis menciptakan senyum di bibir gue.
"Papa!" serunya sambil melambaikan tangan. Setelah itu dia kembali melanjutkan permainannya.
Hati gue terasa mengembang.
Dari dulu gue selalu menjadi seorang Papa di mata bocah laki-laki itu. Semenjak panggilan pertama yang dia lakukan di umur yang baru sekitar tujuh atau delapan bulanan, I have always been Papa.
Tidak ada yang mencoba mengoreksi itu. Bahkan Olavia membiarkan Ole untuk terus menggunakan panggilan itu kepada gue. Dia hanya tersenyum dengan lembut ketika mendengarnya.
Tidak ada perasaan yang lebih membahagiakan, lebih mengharukan, dan lebih berarti selain menjadi Papa untuk Oleander.
Oh, ada. Satu lagi. Dan gue sedang berusaha sekuat tenaga gue untuk mewujudkan itu.
"Oke." Suara berat Om Arif menyentak pikiran gue untuk kembali kepada sosok yang ada di samping kiri gue itu.
Gue memutar badan sedikit sehingga kini gue menghadap Om Arif sepenuhnya. Gue letakkan kaleng yang sudah kehilangan sensasi dinginnya karena hanya gue pegang sedari tadi di atas meja di belakang gue.
Om Arif mengulang jawabannya sekali lagi. "Oke." Pria paruh baya itu berucap sambil menganggukkan kepala.
Gue menelan ludah. Tidak menyangka bahwa satu kata dengan tiga huruf itu akan mengundang jutaan emosi seperti ini. Girang, haru, gugup, gelisah, dan perasaan lainnya bercampur menjadi satu. "Terima kasih banyak, Om." Gue mengungkapkan rasa bersyukur gue setelah berdeham.
"No." Kali ini Om Arif menggeleng. "Om yang seharusnya berterima kasih sama kamu, Ngga. Karena kamu sudah bersedia menuruti saran Om dan menunggu. Sekarang, Om yakin Olavia sudah siap untuk memulai chapter baru dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Om tidak salah."
"It's okay, Om. Saya tidak keberatan."
Om Arif menepuk-nepuk bahu gue dan meletakkan telapak tangan kanannya di sana sebelum memijitnya sambil lalu. "Lalu, apa kamu sudah siap?"
Gue tahu apa yang Om Arif sebenarnya tanyakan dan tanpa ragu gue mengangguk. "Saya sudah kantongi cincinnya selama dua tahun ini, Om. Saya bawa ke mana pun saya pergi," aku gue dengan terus terang. Gue di kalakian menepuk kantong depan sebelah kanan celana jins yang gue pakai.
Gue tidak peduli kalau pengakuan ini membuat gue terkesan terlalu bucin di mata calon mertua. Gue tidak peduli jika ada yang mendengar dan menganggap hal itu terlalu cemen untuk ukuran laki-laki yang sangar seperti gue. Gue tidak peduli dengan pendapat orang lain. Yang jelas, bagi gue, cincin ini adalah pengingat bahwa gue masih punya janji yang belum gue tepati. Dan sebagai laki-laki, gue harus tetap berusaha untuk membuat janji itu menjadi kenyataan.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?"
Bergantian gue tatap dua orang laki-laki di depan gue itu, bapak dan anak yang sama-sama membalas tatapan gue dengan penuh keyakinan.
"Go get your girl." Oliver ikut bersuara. "Gue selalu mendukung lo berdua, bro." Sahabat gue itu mengangkat kepalan tangannya.
"Thanks, man." Gue mengadu kepalan tangan kami. Setelah mendapatkan satu kali lagi anggukan dukungan daei Om Arif, gue berbalik. Dan alangkah terkejutnya gue ketika mendapati mata Olavia yang sudah menatap lurus ke arah kami.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Yuyu
aaaaaaa cepetan lamaaaar
2023-02-05
0