Angga
Setelah membereskan pekerjaan, gue bergegas untuk kembali ke Bogor. Di perjalanan, otak gue bekerja dengan keras untuk menemukan alasan terbaik yang bisa gue berikan kepada Olavia soal keberangkatan gue yang mendadak ini.
Sial. Gue betul-betul tidak suka menyembunyikan sesuatu dari dia. Namun, karena ini bukanlah sesuatu yang jelek, in fact, ini akan menjadi bagian dari paket kejutan yang akan gue berikan padanya di hari pernikahan kami nanti, hati gue sedikit lebih lega.
Sekarang gue hanya harus bisa menatap dia dan berusaha agar ekspresi gue tidak mengkhianati gue sedikit pun.
"Kok, kamu udah pulang, Ngga?" usut wanita gue ketika melihat gue masuk.
Bukan kalimat sambutan yang gue harapkan. Damn, dari awal saja dia sudah mulai curiga sama gue. "Enggak, ah. Biasa aja." Gue menjawab sekenanya sambil menyurukkan muka dengan mendaratkan kecupan di pipi dan bibirnya. "Mana Ole? Dia udah bangun, kan?"
Oleander is a great weapon and a good reason you use if you want to change the topic.
"Udah, dari tadi malah. Dia bangun gak lama setelah aku selesai nelepon kamu tadi."
Olavia kemudian memimpin jalan menuju ke tempat di mana Oleander berada sekarang. Of course dia ada di taman belakang.
"That damn thing is still standing?" Gue ternganga ketika melihat istana balon yang sudah ada semenjak hari perayaan ulang tahunnya.
"Hu-uh." Wanita gue menoleh sekejap ke arah gue. Dia lalu berhenti di tepi teras dan melihat bocah kecil kami berusaha menaklukkan benda itu dengan tubuhnya yang kecil. "Dia gak mau lepas dari sana. Aku sempat ngomel ke Bang Oli karena gara-gara dia Ole gak mau main di dalam rumah lagi."
Gue merangkul tubuh wanita itu dengan lengan kanan dan membiarkan dia menyandarkan badannya di tubuh gue. Sebuah gelak lepas dari mulut. Lekas saja gue kamuflasekan menggunakan kecupan di rambutnya yang beraroma campuran antara qangi kelapa dari sampo dan keringat karena aktivitasnya seharian ini. "Anak laki-laki emang gak seharusnya main di dalam rumah mulu, Sayang." Gue mencoba menenangkan.
"Ya, tapi gak harus beliin main segede gitu juga kali, kan, Yang?"
Gue lagi-lagi harua menyembunyikan tawa gue. Sialan Oliver. Entah apa yang ada di dalam pikirannya ketika dia memilih benda itu sebagi hadiah untuk Oleander. Entah dia mau mengerjai Ola atau benar-benar sayang sama keponakannya, gue tidak yakin mau memilih yang mana.
"Tapi, tadi kamu sendiri yang bilang kalau Ole gak rewel pas diajak tidur siang. Iya, kan? Malahan dia yang ngaku capek duluan." Gue mengingatkan Olavia lagi. "Nah. Aku rasa itu positifnya."
Di kesudahan, wanita gue itu mendengkus. "Ih, kamu!" gerutunya. "Gak asyik. Padahalaku tadi mau nyalah-nyalahin Bang Oli."
Setelah diperhatikan lebih dalam, ternyata letak kesalahannya bukan ada pada keputusan Oliver untuk membelikan replika bangunan berbahan plastik yang berisi angin itu. Namun, ada di sini. "Kamu pasti capek banget, ya?" Gue bertanya sambil menggosok-gosok lengan Olavia dengan tangan gue.
Kali ini Olavia mendesah. Butuh beberapa saat sebelum dia mengeluarkan suara. "Iya." Dia mengaku. "Aku juga PMS. Makanya cranky banget dari tadi."
Oh, no. Almost the time of the month.
"Ya, udah. Duduk dulu sana." Gue merujuk pada kursi teras yang ada di belakang kami. "Aku nyapa Ole bentar, abis itu baru aku pijitin kakinya. Ya?"
Olavia seketika berbalik dan mengembuskan napas panjang. "That sounds really nice," desahnya sembari melingkari pinggang gue dengan kedua lengannya. "Thank you." Dikecupnya dada gue dari atas kemeja yang gue pakai.
"Anything for you, Baby." Gue kemudian mengecup rambut Olavia dan berhenti di bibirnya agak lama. Hm. It's good to feel these soft lips on mine again. Ketika gue mendengar suara yang agak berbahaya muncul dari auatu tempat di dalam tubuh wanita pujaan gue itu, gue segera melepaskan diri sebelum ikut hanyut bersama dia dan lupa diri. "God, that sound you make, Baby." Gue mengerang. Lalu mengecup bibirnya sekilas untuk yang terakhir kali. Dengan napas yang terengah-engah, gue memberi tahu dia, "Aku gak sabar nunggu tiga bulan lagi, Sayang."
Olavia membasahi bibirnya yang masih basah itu. Gue suka mengartikan tindakannya itu sebagai usaha dia untuk mengumpulkan sisa-sisa rasa gue di sana. Daaaamn. That thought really drives me nuts.
"Duduk dulu, sana. I'll be right back." Gue berbalik dan menyongsong bayi tiga tahun yang sedang melompat-lompat di tengah permukaan yang labil itu dengan bersemangat. "Hai, Le!"
Perhatiannya teralihkan ke gue. "Papa!" serunya pula. Dia di kalakian berusaha untuk melangkah menuju ke arah gue dengan cepat. Namun, usaha itu hanya membuatnya terjatuh berkali-kali di atas sana.
Melihat Oleander, jantung gue kembali berdegup dengan lebih cepat. Gue merasa gugup dan girang dalam satu waktu. Gugup soal pertemuan gue dengan Owen besok dan girang karena sebentar lagi gue bisa memiliki anak ini dengan utuh. Kolom nama ayah di akta kelahirannya juga tidak akan kosong lagi. Akan ada nama gue di sana berdampingan dengan nama Olavia.
Fxck. I love this kid so much.
Akhirnya Ole berhasil mencapai tepi setelah drama jatuh dan bangun berkali-kali. Di langkah terakhirnya, dia sengaja menghamburkan diri ke pelukan gue. "Papa!"
"Hei, kiddo." Gue imbuhkan sebuah kecupan di rambut dan keningnya. Wow. Wanginya benar-benar sedap sekali. "Enak mainnya?" Gue bertanya sembari mengernyitkan hidung.
Oleander terkikik melihat raut wajah gue. "Hu-uh." Dia mengangguk dalam. "Om Oliber is the bestest uncle in the wold."
Gue ikut tertawa mendengar pengucapannya yang masih belum sempurna. "Yeah, uncle Oli is the bestest, huh?" ulang gue untuk mengkonfirmasi.
"Yes!" serunya sambil meluruskan kedua lengannya tinggi ke udara. "Uncle Oliber got Lele the bestest plesent eber in the whole wide wold!"
Shxxxxt. He's adorable. Dan, cara dia memanggil dirinya sendiri dengan sebutan Lele? He's more than adorable. He's the best. "Hm, okay. But, Papa dengar kalau semenjak ada istana ini kamu cuma mau main di luar aja. Is that so?"
Bocah itu mengangguk lagi. "Yes, Papa. Istananya fun. Lele likes habing bun."
Dengan susah payah gue menahan gelak yang hendak muncrat dari bibir gue. Karena masih belum bisa menguasai pengucapan beberapa huruf, kata-kata yang dikeluarkan Ole bisa berubah menjadi sesuatu yang ajaib dan berbeda sama sekali. Apalagi kalau diucapkan dengan ekspresi yang innocent seperti barusan. God damn it.
But, I won't have it any other way. Gue akan menikmati fase ini dan merekam setiap detiknya di dalam ingatan gue sampai gue pergi dari dunia ini. "Good." Gue menambahkan. "It's good to have fun. Buuut," tawar gue. "Papa boleh minta tolong sesuatu?"
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments