Angga
Dari sekian banyak tempat di Bali, gue tidak menyangka kalau rumah seperti inilah yang menjadi tempat tinggal seorang Owen Miller sang Superstar selama dalam pelariannya dari kejaran paparazi.
Hm. Namun, setelah dipikir-pikir ulang, mungkin hal ini adalah langkah yang tepat. Mungkin karena tempatnya sangat di luar dugaan makanya para zombie haus skandal itu belum bisa menemukan si Kxparat ini sampai sekarang.
Sopir taksi menurunkan gue di ujung jalan buntu. Ada saru rumah kecil di sana.
Gue berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke arah rumah sederhana dengan memegang tali tas punggung gue dengan agak lebih erat dari yang seharusnya. Rasa nervous membuat gue mencari tempat untuk bergantung. Dan tali itu adalah satu-satunya yang bisa gue temukan saat ini.
Meski kecil dan sangat, sangat, sangat sederhana—luasnya gue rasa tidak lebih dari lima puluh atau enam puluh meter persegi, rumah yang dindingnya terbuat dari setengah kayu dan setengah beton itu tampak bersih dan terawat. Pasti seseorang sudah merawat rumah ini jauh sebelum si Kxparat ada di sini. Iya, kan? Seseorang yang merawat rumah ini bukanlah si Owen itu. Iya, kan?
Benar, kan?
Come on, Angga. Pikiran lo jangan ngalor-ngidul gitu, kenapa? Apaan, sih, lo? Kenapa lo harus mikirin siapa yang membersihkan rumah ini segala?
Kerikil-kerikil kecil itu mengerang di bawah tapak sepatu sneakers gue.
Di depan pintu yang hampir sama tingginya dengan tinggi badan gue, gue menghirup napas dalam-dalam terlebih dahulu. Mencari zen yang ada di dalam diri gue dan mencoba mengontrol emosi yang bergejolak di dalam dada.
Ini adalah misi yang sangat, sangat, sangat besar dan penting. Tidak ada pilihan lain selain menjalankan misi ini dengan sukses. Gue kepalkan dan buka kepalan tangan gue beberapa kali sebelum mengetuk pintu kayu tersebut.
Tok. Tok. Tok.
That's it. Saatnya menunggu.
Namun, gue tidak dibuat menunggu terlalu lama. Seketika saja pintu depan itu terbuka.
Here we go.
****
Owen
Gue tidak memberi tahu Bram soal pertemuan ini. Gue pikir juga tidak akan ada gunanya memberi tahu dia soal hal yang tidak jelas. Gue sendiri masih tidak tahu apa yang menjadi maksud pertemuan dengan laki-laki ini. Semalaman gue mencoba menerka-nerka, memperhitungkan segala kemungkinan, akan tetapi gue tetap tidak bisa menemukan apa-apa.
Gue rasa gue hanya harus bertemu dia dan menanyakannya sendiri.
Setelah menunggu kedatangan Angga dengan gelisah, gue tidak menyangka kalau saat bertemu dengan laki-laki itu gue akan merasa lebih gelisah lagi. Karena ... come on. Dia benar-benar terlihat tidak cocok untuk tempat sekecil dan sesederhana rumah ini. Badan besarnya terparkir dengan canggung di atas kursi kayu yang ada di teras depan.
Gue rasa kursi itu juga agak sempit buat dia.
Damn.
****
Angga
Fxck. Kursinya meremas bokong gue.
Sialan.
"Engg ... gimana kalau kita masuk ke dalam aja?" Tiba-tiba suara Owen mengalihkan perhatian gue dari rasa tidak nyaman yang menguasai bagian bawah tubuh gue.
Mendengar itu, gue tidak bisa menyembunyikan rasa bersyukur yang gue rasakan. "Fxck, yes. Thank God."
Gue mengikuti dia masuk ke dalam rumah itu. Mata gue segera saja mengkatalogkan hal-hal yang bisa gue lihat. Perabotan yang seadanya. Namun, satu hal yang menjadi pokok perhatian adalah betapa bersihnya rumah ini. "Place looks good. Bersih." Gue tidak tahan untuk tidak mengomentari hal itu.
Gue dengar dia tergelak tertahan. "Yeah." Owen menjawab. "Thanks."
Setelah berjalan tiga langkah dari pintu masuk, kami lalu menghadap ke kanan dan tahu-tahu sudah berada di ruangan yang lain. "Silakan duduk," ujarnya lagi sambil menjatuhkan diri ke atas lantai yang beralaskan karpet plastik bermotif bunga-bunga itu.
Untuk beberapa saat gue hanya berdiri di sana.
"Kenapa? Lantainya bersih, kok. Udah gue sapu tadi."
Alis gue terangkat sebelah. "Lo yang bikin rumah ini jadi bersih?" Gue sadar pertanyaan gue barusan terdengar sangat meremehkan dan tidak pada tempatnya, akan tetapi percayalah gue tidak bermaksud seperti itu. Gue benar-benar hanya ingin tahu. Namun, entah kenapa nada yang ke luar dari mulut gue membuat kalimat gue terdengar snobbish.
"Nyapu lantai ini? Yes. Gue yang kerjain. Kalau bersihin rumah dan merawat barang-barangnya? No. Rumah ini dibersihin dan dirawat sama pemiliknya." Owen mengedikkan bahu tak acuh. "Jadi, lo mau duduk apa enggak? Gue gak ingat sikap lo bisa sesongong ini waktu gue masih kerja di Beniqno."
Well. Kalimat dia jelas menyulut emosi gue. "Ya, jelas lah, idiot! Lo cuma nyanyi tiga kali seminggu di sana, daeisore sampai malam pula. Mana sempat lo merhatiin apa yang ada di sekeliling lo? Apalagi ketika lo udah menjerat Olavia masuk ke dalam perangkap mulut busuk lo itu."
Kini giliran Owen yang alisnya terangkat sebelah.
Fxck. Get yourself together, Angga!
Gue sudah banyak omong. Sebaiknya gue diam.
Dengan bersungut-sungut gue ikut meletakkan bokong gue ke atas lantai dan duduk bersila.
Fxck. Kapan terakhir kali gue duduk beriala kayak begini?
Kemudian rumah itu diliputi oleh keheningan. Benar-benar hening, sampai-sampai gue bisa mendengar suara daun-daun padi yang bergoyang-goyang diterpa angin di luar sana dari jendela yang terbuka di belakang Owen.
God damn. This is nice. Bunyi suara alam yang saling bersahutan, suasana yang asri, dan udara yang sejuk lagi bersih. Mungkin nanti gue dan Olavia bisa memasukkan tempat seperti ini ke dalam daftar destinasi bulan madu kami.
Pemikiran itu mengembalikan fokus gue pada misi yang harus gue selesaikan. Damn. Malu sekali rasanya terbawa suasana seperti tadi. Namun, gue punya banyak unek-unek yang meronta-ronta untuk di keluarkan daei dalam dada dan kepala ini. Atas nama gue, atas nama Olavia, dan atas nama Ole. Namun, no. Meskipun begitu, gue harus bisa menahannya.
Gue harus bisa menahan diri lebih baik lagi dari yang sebelum ini.
Demi membersihkan tenggorokan dan me-reset emosi, gue berdeham. Satu hal. Walau gue tahu gue seharusnya tidak mengatakan semua hal itu sama si Kxparat ini, akan tetapi gue tidak akan meminta maaf. Karena yang gue katakan benar adanya. So, there's that. "Gue akan menikahi Olavia."
Si Kxparat itu tetap diam saja.
Okaay. Gue lantas melanjutkan kalimat gue. "Dan gue ingin menjadikan Ole sebagai anak angkat gue. Jadi gue butuh tanda tangan lo."
Gue lihat keningnya berkerut dalam. Dia bereaksi seperti gue baru saja berbicara dalam bahasa alien. "Maksud lo apa?"
Akhirnya satu lembar kertas yang sudah gue bawa dari Jakarta itu ke luar dari tempat persembunyiannya di dalam tas gue. "Gue butuh tanda tangan lo di sini." Gue menunjuk bagian yang perlu ditandatangani oleh Owen dan meletakkan sebuah pena di dekatnya.
Owen tiba-tiba saja merenggut kertas tersebut dari atas lantai. "What the fxck?!"
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Nana Hutabarat
Numpang lapak, yuk datang ke novel ku, One Night with Brother in law, dijamin ceritanya berbeda. Ada rasa asem, manis dan legitnya. Mampir yukkk
2023-02-08
0
Nana Hutabarat
deg2an nunggu bang Owen marah. Marahnya yang ganteng ya
2023-02-08
1