"Beberapa hari ini pergi ke sekolahnya naik taksi aja, pak Eko lagi pulang kampung karena ada saudaranya yang meninggal."
Emi mengangguk, dia juga sudah tahu hal itu karena ibu Nani mengabarinya semalam, sebelum Emi tidur.
"Kenapa nggak om Bima aja yang ngantar ke sekolah?" pinta Emi. Dia belum menyerah akan Bima meski semalam hatinya sempat gundah gulana.
"Nggak bisa," tegas Bima.
"Nggak bisa atau memang nggak mau? Bukannya bunda itu percayakan aku sama om Bima?"
Bima hanya melihat sekilas pada Emi yang sedang menikmati nasi goreng sebagai menu sarapan pagi hari ini.
"Nggak usah naik taksi, aku ke sekolah sama teman aja. Tadi aku sudah telpon, bentar lagi juga nyampe."
Emi berlari ke arah dapur dan membawa sebuah kotak ditangannya.
"Om Bima masih mau nambah nggak nasi gorengnya?" tanya Emi memegang centong nasi ditangannya.
Bima menggeleng karena memang dia sudah merasa kenyang. Emi membuka kotak makan dan mengisinya dengan nasi goreng. Tak lupa Emi juga memasukkan dua potong telur dadar diatasnya.
"Buat makan siang?" tanya ibu Sri mengangkut piring kotor Bima.
"Nggak, Bu. Buat teman Emi, katanya dia telat bangun dan nggak bakal sempat sarapan."
"Teman cowok yang kemarin? Siapa namanya, ibu lupa?"
"Bian, Abian Mahesa lengkapnya."
"Oh..." Ibu Sri mengangguk paham. Wanita itu berpikir jika Bian adalah teman dekat atau pacarnya Emi.
Sambil meneguk air putihnya, bola mata Bima melihat kotak makan yang dimasukkan Emi ke dalam tasnya.
Tin-Tin
Brummm...!
Suara sepeda motor Bian terdengar di halaman rumah Bima. Emi berlari untuk meminta Bian menunggu sebentar. Emi berlari ke kamarnya dan kembali ke meja makan di mana tasnya berada.
"Aku pergi dulu, om." Emi melihat pada Bima yang juga sudah ingin berdiri. "Bentar-bentar," menahan Bima.
"Ka-kau mau apa?"
"Bentar kok, om. Kerah bajunya berantakan, aku bantu benerin biar om Bima makin ganteng."
"Tidak usah, aku bisa sendiri," cegatnya namun tangan Emi sudah terlebih dahulu merapikan kerah kemeja Bima.
Tak sengaja kulit tangan Emi juga menyentuh leher Bima dan hal itu membuat Bima menahan tangan Emi dan menjauhkannya.
"Perfect! Udah, om. Aku pergi dulu."
Emi berlari menghampiri Bian tidak ingin membuatnya menunggu lama.
"Let's go!" ucap Emi setelah Bian memasang helm padanya.
Bima meneguk segelas air putih lagi karena seketika rasa haus menyerang tenggorokannya. Tangannya mengelus leher yang tadi tersentuh kulit tangan Emi.
..........
Dua minggu sudah Emi tinggal di rumah Bima. Hari-harinya berjalan lancar selain hubungannya dan Bima yang masih sama saja. Emi tidak tahu terbuat dari apa hati yang dimiliki oleh Bima.
Setiap hari jika ada celah dan kesempatan Emi selalu menunjukkan perhatian dan rasa sukanya pada Bima. Hampir seminggu ini juga Emi pergi dan pulang sekolah bersama Bian.
Murid-murid di kelas Emi riuh setelah memperoleh hasil ujian tengah semester. Dua murid perempuan terlibat adu mulut hingga berujung jambak-jambakan.
Kedua murid itu sudah berulang kali dilerai temannya masingmasing namun tetap saja pertengkaran berulang terjadi.
"Dasar bego lo!" maki salah satu dari mereka.
"Lo yang bego, nggak tahu malu dapat nilai bagus karena contekan dari emak lo!" maki yang menjadi lawannya adu mulut tak mau kalah.
"Diam, lo. Gue adukan lo sama mama gue, biar sekalian dikeluarin dari sekolah. Dasar anak panti, nggak punya orang tua kan lo?"
"Brengsek!!!"
Tak tahan lagi selalu dikatai anak panti dan tidak punya orang tua membuatnya panas dan tidak bisa menahan lagi kemarahan yang selama ini ia coba tahan. Dua pasang tangan saling adu jambak di depan kelas dan menjadi tontonan seru dan gratis bagi sebagian murid.
"Udah dong. Nanti kalau ketahuan sama ibu guru bisa gawat," ucap Febi yang sedari tadi berusaha melerai sahabatnya.
"Enggak, Feb. Ini orang harus dikasih pelajaran biar mulut dan otaknya nggak semena-mena. Lepas, Feb. Biar aku sekolahin dulu mulutnya dia."
Keadaan kelas semakin riuh, tak ada guru yang lewat karena jam pelajaran hari ini sedikit longgar karena pembagian hasil nilai ujian. Alhasil pertengkaran semakin memanas.
"Emi?!!!"
Bian yang sedari tadi tidak ingin ikut campur tangan tidak bisa menahan lagi. Bian tidak ingin terlibat dengan pertengkaran anak perempuan tapi melihat situasi yang semakin tegang dan tidak seorangpun yang mau mengalah membuat Bian akhirnya buka suara.
Bian menarik Emi, berusaha melepaskan tangan Emi yang tak mau dilepasnya dari rambut Lisa yang juga tak mau melepas rambut Emi.
Jangan tanya bagaimana keadaan rambut Emi saat ini, berantakan dan menutupi wajahnya. Berbeda dengan Lisa yang rambutnya hanya sebahu.
Sekuat tenaga Bian memeluk dan menarik Emi. Ia juga meminta bantuan Febi untuk melepas tangan Emi di rambut Lisa. Bian bisa merasakan jika tenaga orang marah itu bisa dua kali lipat bahkan mungkin berkali-kali lipat dari keadaan normalnya.
"Emi, ayo lepas!" suara Bian sedikit naik namun Emi tak peduli. "Emi?!"
"Nggak! Aku nggak bakal lepas sampai dia yang lepas duluan dan minta maaf. Kalau nggak, jangan harap."
Yoga berlari keluar kelas dan tak lama dia kembali bersama seorang guru.
"Berhenti!!!"
Suara teriakan yang melengking memenuhi seisi ruangan kelas. Semua mata tertuju pada suara yang meminta untuk berhenti. Mereka tahu dan kenal siapa pemilik suara itu yang tak lain adalah ibu Ranti, guru BK di sekolah.
Sepasang tangan yang sedari tadi saling adu jambak melonggar dan terlepas namun Bian tidak melepas Emi, wanti-wanti jika Emi kembali menyerang Lisa duluan.
"Bian, lepas tanganmu dari Emi!"
Barulah setelah ibu Ranti menyuruh, Bian melepas tangannya dari Emi.
"Kalian semua yang ikut dalam perkelahian ini, ayo cepat ikut ibu keruang BK!" hardik ibu Ranti.
..........
Emi, Lisa dan beberapa murid kini berdiri menghadap guru BK setelah sebelumnya menyuruh murid yang ada di ruangan itu untuk menghubungi wali mereka.
Dari penjelasan masing-masing pihak ibu Ranti menyimpulkan jika setelah pembagian nilai tadi Lisa merampas milik Emi dan melihat nilai Emi yang berada di urutan ke dua puluh lima.
Lisa mengejek Emi dan menyombongkan nilainya yang berada di urutan ketiga. Lisa menghina Emi dan saat itu juga Emi menampar pipi Lisa. Pertengkaran semakin riuh saat Emi dikatai anak panti dan tidak punya orang tua.
Emi yang terlebih dahulu memukul dan menjambak Lisa namun itu semua karena perkataan Lisa yang memancing emosi dan kemarahan Emi. Keduanya sama-sama bersalah dimata ibu Ranti selaku guru BK.
Keduanya sama-sama bersalah namun ibu Ranti hanya bisa diam saat mamanya Lisa yang juga merupakan guru di sekolah tersebut tidak terima dengan perbuatan Emi. Mamanya Lisa justru memarahi dan mengatakan kata-kata yang tidak seharusnya diucapkan selaku dia seorang pendidik. Wanita itu terkesan begitu membela anaknya.
"Emi, berapa lama lagi?" tanya ibu Ranti yang sedari tadi sudah menunggu lama kehadiran wali Emi.
"Mungkin lagi di jalan, bentar lagi pasti nyampe, Bu."
Emi melirik jam tangannya, sudah tiga puluh menit dan harusnya pak Eko sudah tiba di sekolahnya tapi sampai sekarang pak supir itu belum muncul.
Ya. Orang yang tadi Emi hubungi adalah pak Eko dan menyuruhnya datang ke sekolah karena ada sedikit masalah. Emi meminta pak Eko datang sebagai walinya.
Tidak ada bundanya di saat seperti ini, meskipun ada, Emi juga tidak akan menghubungi bundanya. Emi tidak ingin bundanya kecewa apalagi sedih karena ulahnya. Benar ulahnya tapi atas pancingan dari Lisa yang meliriknya seolah mengejek.
Tiba diparkiran sekolah seorang pria menanyakan ruang BK pada satpam. Degan ramah pak satpam menuntunnya menuju ruang BK sambil menanyakan tujuan pria itu.
Langkah panjangnya menyusuri koridor sekolah dan berbelok ke arah kanan.
Tok-tok-tok
Pria itu masuk ke ruang BK setelah mengetuk daun pintu. Semua mata tertuju padanya termasuk Emi yang sedari tadi berdiri dengan kepala menunduk.
Tubuhnya yang tinggi, tampan, dan tatanan rambut yang rapi mencuri semua perhatian seisi ruang BK terlebih setelan yang melekat di tubuh pria itu menambah karismanya.
Emi mendadak lemas saat melihat pria itu berjalan kearahnya dan berdiri tepat dihadapannya dimana saat ini rambutnya acak-acakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments