Terbaik

Di sinilah Emi duduk diam seorang diri, di sebuah taman bermain menunggu seseorang yang tadi dihubunginya saat perjalanan pulang ke Rumah Bima. Emi meminta pak Eko untuk putar balik ke tempatnya sekarang berada dan menyuruh pak Eko pulang.

Melihat penampilan Nola yang berpenampilan modis dan cantik layaknya wanita dewasa membuat Emi merasa kecil hati. Istilahnya, Emi merasa kalah sebelum berperang.

"Woi! Ngelamun aja. Awas loh, nanti kesambet mau?"

"Lagu lama. Nggak ada apa kalimat lain selain kesambet saat orang lagi ngelamun?" sinis Emi.

"Lah, kok jadi marah? Lagian tadi habis kemana? Aku ajakin jalan nggak mau, sekarang malah nyuruh aku kesini. Untung ini taman dekat rumah aku, jadi bisa cuman lari doang."

"Jadi nggak ikhlas nih ceritanya?" tanya Emi yang semakin menjadi kesal.

"Kenapa sih, mi? Jutek amat? Lagi PMS? Kalau iya, mending aku pulang karena ngeri sama cewek yang lagi tanda merah apalagi kalau hari pertama. Ih.." bergidik ngeri membayangkan kakak iparnya yang baik dan sabar bisa tiba-tiba marah dan menyeramkan saat lagi PMS.

"Maaf?" ucap Emi mengerucutkan bibirnya. "Aku lagi patah hati, bi."

"Apa? Patah hati? Yakin nih, aku nggak salah dengarkan?"

Masih dengan bibirnya yang mengerucut, Emi menggelengkan kepalanya. Di saat itu juga Bian tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Emi.

"Bian, jangan ketawa."

Seketika Bian mengatupkan mulutnya takut Emi bertambah kesal yang berujung marah.

"Sorry, mi. Emang patah hati sama siapa? Kenapa nggak pernah cerita kalau suka sama seseorang?"

"Nggak perlu tahu siapa orangnya, yang jelas aku lagi broken heart sekarang."

"Baguslah kalau gitu."

"Ah... Bian, seneng amat lihat aku patah hati," sungut Emi.

"Bu-bukan, maksud aku itu bagus, iya, bagus. Dengan gitu nggak perlu mikirin itu cowok lagi dan fokus sama sekolah, itu maksud aku."

Bian berlari ke seberang jalan, di sana ada sebuah mini market. Lima belas menit kemudian Bian kembali dengan sebuah kantong plastik ditangannya.

"Ini," menyerahkan kantong plastik ditangannya pada Emi.

"Hua... Bian... Kau memang yang terbaik."

Tangan Emi dengan cepat mengambil satu dari lima eskrim dari dalam plastik, membuka pembungkusnya dan segera memasukannya ke mulut.

Bian melakukan hal yang sama, ia mengambil satu es krim dan mengunyahnya, dengan sekejap mata es krim ditangan Bian sudah lenyap.

"Bian?"

"Em, kenapa?"

"Cowok itu-" tangan Bian langsung bergerak, menyumpal mulut Emi dengan es krim ditangan Emi.

"Bian??!!" teriak Emi kesal karena kini mulutnya menjadi cemong.

"Nggak usah diceritain tapi dilupain, oke? Cepat habisin semuanya, habis itu aku antar pulang.

Bian merebahkan tubuhnya di atas rumput hijau, memainkan ponselnya dan sesekali mengambil foto Emi yang sedang menikmati es krim yang kedua.

Emi kembali tersenyum, melupakan apa yang tadi membuat suasana hatinya menjadi gundah gulana.

Pukul lima sore Emi baru tiba dirubah dengan diantar Bian. Ibu Sri yang tengah menyapu halaman memperhatikan wajah ceria Emi saat turun dari atas sepeda motor.

"Nggak ditawarin mampir lagi nih?"

Emi menggaruk leher belakangnya yang tak gatal melihat pada ibu Sri.

"Teman Emi bisa mampir nggak, Bu? Namanya Bian, teman sekolah dan sekelas Emi."

"Em... Gimana ya," berpikir sesaat namun Emi langsung meraih lengan wanita itu dan menggoyang-goyangkannya tersenyum manis.

"Bentar aja kok, Bu. Om Bima juga udah pernah ketemu dengan Bian, boleh ya?"

Bian mengangguk tersenyum pada ibu Sri. Sebentar saja tidak akan menjadi masalah dan sudah pernah bertemu, akhirnya ibu Sri mengizinkan Emi membawa Bian kerumah.

"Makasih, Bu."

Bian mengikuti Emi berjalan dibelakang. Sebenarnya Bian hanya ingin melihat tempat tinggal Emi yang sekarang. Tak lebih dari setengah jam Bian juga sudah pamit pada ibu Sri.

Lima menit setelah motor Bian pergi, mobil yang dikendarai Bima tiba dan langsung memasukkannya ke dalam garasi.

"Sore pak Bima? sapa ibu Sri ramah.

Bima mengangguk membalas sapaan ibu Sri dan masuk ke dalam rumah. Langkah Bima yang akan naik kelantai atas menuju kamarnya terhenti melihat sebuah nampan berisi sebuah gelas di atas meja ruang tamu.

Ingin bertanya pada ibu Sri tapi wanita itu sedang melakukan pekerjaannya di belakang. Bima meneruskan langkahnya ke kamar dan akan bertanya pada ibu Sri nanti.

Makan malam pun tiba. Bima sudah terlebih dahulu berada di meja makan. Ia tidak pernah meminta ibu Sri untuk mengajak Emi makan bersamanya.

"Tadi dia pulang jam berapa, Bu?"

"Kalau nggak salah jam lima, pak."

Mata Bima memicing, Emi tidak langsung pulang setelah dari kantor tadi.

"Diantar sama pak Eko yang tadi pagi?"

"Bukan," jawab ibu Sri lagi dengan jujur. "Diantar sama temennya yang kemarin juga, pak."

"Bian?"

"Iya, pak. Namanya Bian. Tadi dia juga mampir sebentar ke rumah. Kata Emi pak Bima sudah pernah ketemu, jadi saya izinin masuk."

Emi yang baru selesai mandi dan keramas langsung menuju meja makan. Perut Emi sangat kelaparan. Siang tadi dia tidak makan apapun selain empat es krim yang dibelikan Bian saat di taman.

Ibu Sri yang sedang menuang air minum ke dalam gelas Bima membalas senyuman Emi saat bertatapan.

"Makan yang banyak, biar jangan kurus. Anak sekolah itu butuh asupan yang banyak," ucap ibu Sri pada Emi.

"Ibu Sri?" panggil Bima sedikit mengangkat suaranya.

"Pak Bima butuh yang lain?"

"Lain kali jangan membawa atau memasukkan orang lain ke rumah saya. Ini rumah saya, siapapun itu jangan. Sekalipun katanya mengenal saya tapi tanpa sepengetahuan dan izin dari saya tidak boleh. Paham, Bu?"

Emi dan ibu Sri saling melirik dari posisi mereka masing-masing.

"Bukan salah ibu Sri, aku yang maksa tadi. Kalau mau marah jangan sama ibu, marah sama aku aja, om."

Ibu Sri pergi ke belakang, tidak ingin ikut dalam pembicaraan keduanya.

"Maaf tapi Bian kan temanku, om. Jangan marah ya?" melihat pada Bima yang ternyata sedang melihatnya juga.

Emi menunduk malu, ia tersenyum melihat bekas saos disudut bibir Bima. Perkataan pak Eko tadi pagi saat mengantarnya ke sekolah membuat Emi menghasilkan ide cemerlang.

Memberi Bima perhatian, itulah yang ingin Emi tunjukkan. Tanpa ragu Emi mengulurkan tangannya dan membersihkan sudut bibir Bima menggunakan jempolnya.

"Om Bima seperti anak kecil aja, " ucap Emi setelah melakukan aksi nekatnya.

Bima tertegun, ia baru saja ingin menepis tangan Emi namun gerakan gadis itu begitu cepat. Begitu cepat namun dapat dirasakan oleh Bima saat jari Emi menyentuh sudut bibirnya.

"Apa yang baru kau lakukan?"

"Aku cuman mau bersihin, ada sisa saos dibibir om Bima."

Selera makan Bima lenyap ditelan waktu dalam hitungan detik saja. Niatnya Bima masih ingin tambah karena ibu Sri memasak makan kesukaan Bima, nila goreng dengan saos asam pedas.

Bima menyelesaikan makan malamnya dengan segelas air dingin. Tanpa berucap apapun ia pergi ke kamarnya.

Emi menahan tawanya dan alhasil dia senyum-senyum sendiri sambil menikmati makan malam hari ini.

Di dalam kamar Bima menyentuh bibirnya yang tadi dibersihkan Emi. Malam ini untuk pertama kalinya bayangan Emi menyusup melalui celah kecil dalam pikiran Bima.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!