Seminggu sudah Emi tinggal sendiri. Ya memang ada pak Eko dan ibu Nani tapi tetap saja rumah rasanya sepi. Tidak ada teriakan, suara gaduh dan pembicaraan yang bisa berujung pertengkaran. Sungguh Emi merindukan semuanya itu saat ini.
Selama seminggu juga Emi pergi sekolah di antar pak Eko dan pulangnya diantar Bian. Emi juga pulang saat hari hampir sore, Emi bosan jika di rumah sendirian. Kalau bukan sekedar jalan-jalan dengan naik motor maka Bian akan mengajak Emi bermain ke rumahnya yang ia tinggali dengan kakaknya yang sudah menikah.
Di salah satu mall, tepatnya di sebuah restoran, lagi-lagi Bima melihat Emi bersama teman cowoknya sedang menikmati makanan. Tak ada kecanggungan diantara keduanya saat berbagi es krim meski menggunakan sendok masing-masing.
Bima sedang makan siang bersama salah satu manager di perusahaan setelah bertemu dengan klien sebelumnya.
Bima terus memperhatikan keduanya hingga Emi memanggil seorang pelayan dan memberikan sebuah kartu untuk membayar makanan. Setelahnya Emi dan Bian meninggalkan restoran dengan Bian yang mengalungkan tangannya di leher Emi.
Bima tersenyum kecut, ia merasa jika Emi begitu menikmati hari-harinya setelah tidak ada bunda dan kedua kakaknya.
..........
"Hah...! Capek."
Emi menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur setelah sampainya ia di kamar tanpa melepas seragamnya terlebih dahulu.
Emi yang awalnya selalu bertanya-tanya mengapa Bima tidak pernah datang mengunjunginya tidak lagi begitu ia pikirkan. Emi sudah berjanji pada dirinya untuk bisa mandiri. Jika Bima datang itu suatu keberuntungan namun jika tidak maka Emi sedang tidak beruntung. Meski demikian Emi selalu mengatakan jika dia baik-baik saja setiap ditanyai bunda dan kedua kakaknya.
Bima yang tidak pernah menengoknya kerumah juga tidak Emi kasih tahu. Emi berbohong setiap kali ditanya mengenai Bima. Emi selalu berkata jika ia baik-baik saja dengan Bima dan semuanya berjalan dengan lancar.
Pukul sembilan malam saat Emi sudah tidur karena kelelahan, Bima datang dan melihat keadaan rumah. Ibu Nani yang mengetahui kedatangan Bima langsung membuatkan kopi.
"Dia dimana, Bu?"
"Ada di kamarnya, pak. Mau saya panggilin?"
"Iya, Bu. Saya ada perlu dengannya."
Ibu Nani segera ke kamar Emi dan melihat gadis itu sudah terlelap. Pintu kamar Emi hanya ditutup tanpa dikunci dari dalam.
"Emi sudah tidur, pak. Kasihan kalau dibangunin."
Bima melirik jam tangannya, masih pukul sembilan lewat lima belas menit dan itu bukan jam tidur Emi. Bima tidak percaya dan langsung menuju kamar Emi dilantai dua. Ibu Nani ikut berlari mengejar langkah Bima.
"Jangan, pak!"
Sontak Bima kaget saat ibu Nani menahan tangannya ingin membuka pintu kamar.
"Emi lagi tidur, pak. Dan kalau dia tidur itu sangat berantakan," ucap ibu Nani.
Ibu Nani sedikit kebingungan untuk memberitahu Bima kata berantakan yang dimaksudnya. Emi sedang tidur, ia hanya memakai hotpants dan tank top yang tersingkap memperlihatkan sebahagian perutnya.
Bima tidak peduli, ia tidak mengindahkan ucapan ibu Nani karena tidak tahu apa yang sedang dipikirkan wanita itu. Langsung saja Bima menekan handle pintu dan melangkahkan kakinya masuk. Bima pikir jika saat Emi hanya pura-pura tidur.
"Emi-"
Bima terdiam dan memalingkan wajahnya. "Shittt!" umpat Bima melihat keadaan Emi. Gadis itu tidur dengan merentangkan tangannya dan pakaiannya begitu berantakan seperti yang di maksud ibu Nani tadi.
Bima langsung keluar dan meninggalkan kamar Emi.
"Saya pulang."
Tak hanya meninggalkan kamar Emi, Bima juga langsung meninggalkan kediaman Suntama.
"Pak Bima sih, tadi saya sudah bilang Emi tidurnya berantakan," dengus ibu Nani. Ia melihat kembali keadaan Emi yang sama sekali tidak terganggu dengan keberadaanya dan Bima tadi.
..........
"Pak Bima sudah pulang? Perasaan baru aja keluar tapi sekarang sudah balik lagi?"
"Iya, Bu. Saya mau istirahat."
"Mau ibu Sri buatin kopi?"
"Nggak usah, Bu.
Bima langsung menuju kamarnya. Sebelum pergi untuk melihat keadaan Emi, dia sudah mandi terlebih dahulu namun entah mengapa tiba-tiba ia merasa sangat gerah dan suhu tubuhnya sedikit naik.
Tanpa melepas pakaiannya Bima masuk ke dalam kamar mandi dan membiarkan tubuhnya basah oleh kucuran air shower.
Sekitar dua puluh menit Bima sudah keluar dari kamar mandi dengan menggunakan bathrobe berwarna putih. Ia membuka mini bar di dekat tempat tidurnya dan mengambil satu kaleng minuman beralkohol.
Leher Bima terasa tegang, minuman kaleng di tangannya sudah habis. Bima mengambil satu kaleng lagi minuman yang sama dan meneguknya habis. Bima merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan setengah kakinya menggelantung ke bawah.
"Hah... Sebentar lagi, Bima. Bertahanlah sebentar lagi, kau bisa. Lakukanlah dengan baik dan kau akan segera bebas dari semua ini. Ya, semuanya akan berakhir sebentar lagi."
Bima meracau dalam kamarnya dengan mata yang sudah tertutup. Tak lama Bima pun terlelap. Bima tidur dengan nafas teratur sedangkan wajahnya terlihat begitu lelah.
..........
Minggu sore Bima kembali ke rumah Suntama. Ia melihat Emi sedang mengobrol dengan pak Eko dan ibu Nani di halaman rumah sambil merapikan tanaman. Bima hanya menyapa ibu Nani dan pak Eko sedangkan Emi diabaikannya seolah tak melihat keberadaan gadis itu.
Bima masuk ke dalam rumah, disusul oleh ibu Nani dan Emi dari belakang. Jika Bima datang itu artinya ada hal penting yang akan disampaikan.
"Ibu Nani, bantu dia mengemasi barang-barangnya," ucap Bima tanpa basa-basi. "Lakukan dengan cepat, saya masih ada keperluan penting."
"Barang-barang siapa maksudnya, pak?"
Sama seperti ibu Nani, Emi yang juga berdiri di dekatnya tidak mengerti mengemasi barang siapa dan untuk apa.
"Emi akan tinggal di tempat saya. Jadi bantu dia mengemasi barang-barangnya sekarang juga."
"Kenapa mendadak, om? Terus bukannya bunda bilang kalau om Bima yang akan tinggal di sini?"
"Tiga puluh menit lagi sudah selesai. Aku tunggu di depan," tegas Bima.
"Tunggu, om?" cegatnya saat Bima menuju keluar. "Kenapa aku yang ke tempatnya om Bima? Kenapa bukan om yang tinggal disini?"
"Lepas!"
Emi melepas tangannya dari lengan Bima.
"Itu sudah perjanjian dengan ibu Mila. Cepat kemasi barang-barangmu. Aku tidak suka dengan orang lambat."
Bukannya menolak Emi langsung berlari ke kamarnya untuk berkemas. Dengan senang hati Emi mengemasi barang-barangnya ke dalam koper dengan dibantu oleh ibu Nani.
Emi merasa Dewi Fortuna masih berpihak padanya. Ia akan tinggal di tempat Bima dan itu artinya ia akan bertemu pria itu setiap hari dan mereka pasti akan semakin dekat. Emi senyum-senyum membayangkan saat-saat ia tinggal bersama dengan Bima.
"Emi?"
"Kenapa, Bu?"
"Yakin nggak mau tinggal disini aja?"
"Jangan, Bu. Ini keputusan bunda dan om Bima. Nggak boleh bantah omongan bunda, iyakan?" jawab Emi.
Ibu Nani tidak tahu saja kalau saat ini hati Emi sedang riang gembira.
Tiga puluh menit lewat sedikit, Emi sudah keluar bersama ibu Nani membawa dua koper dan ransel di punggung Emi.
"Om Bima!" seru Emi dari depan pintu. Bima sedang mengobrol dengan pak Eko.
"Ayo buruan, om."
Emi sudah tidak sabar, ia ingin segera tiba di tempat tinggal Bima yang sama sekali belum pernah ia datangi.
"Pak Bima yang sabar ya sama nak, Emi. Kalau butuh supir kasih tahu saya," pesan pak Eko.
Bima menyalakan mobilnya dan membuka bagasi. Pak Eko membantu memasukan koper Emi kedalam bagasi.
"Sering-sering main ke rumah ya?"
"Iya, Bu."
Pak Eko dan ibu Nani memandangi mobil Bima yang membawa Emi meninggalkan rumah Suntama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments