Hari ini Bima kembali bekerja seperti biasanya dan pulang lebih awal. Dia mengganti pakaiannya dengan kemeja hitam dan menuju ke kampus yang mana kini kepemilikan kampus tersebut sudah atas nama keluarga Suntama.
Tiba di parkiran gedung kampus, Bima menelpon seseorang dan memberitahu jika ia sudah menunggu di parkiran. Tak lama, hanya sekitar sepuluh menit orang yang ditunggu Bima muncul dengan sedikit berlari ke arahnya.
"Sorry kak, Bim. Maaf ya kalau jadi ngerepotin."
Bima menggeleng dan memberi kode untuk masuk ke dalam mobil.
"Tadi lagi seminar dan baru kelar dua puluh menit yang lalu. Kevin nggak ada jadwal kuliah hari ini jadi nggak bisa pulang bareng."
"Kenapa nggak bawa mobil ke kampus?"
"Tadi pagi ngantuk kak, begadang semalaman demi skripsi biar cepat selesai. Bunda nggak kasih izin bawa mobil kalau lagi ngantuk."
Bima mengangguk dan terus melajukan mobilnya. Dipinggir jalan Bima mengehentikan mobilnya melihat deretan penjual bunga.
Keduanya turun dan memilih bunga yang menurut mereka bagus untuk mereka bawa ketempat tujuan mereka.
"Sudah?" tanya Bima.
"Sudah, kak."
Bima membayar untuk empat boquet bunga yang mereka beli. Justin mengambil bunga dari tangan Bima dan meletakkannya di kursi tengah.
Justin dan Kevin seumuran, keduanya kuliah ditempat yang sama namun mengambil jurusan yang berbeda. Justin memilih jurusan manajemen keuangan sedangkan Kevin lebih tertarik dengan kesenian.
Kevin berharap suatu saat nanti ia bisa bertemu dengan orangtua kandungnya yang sudah menelantarkannya saat berusia tiga tahun di emperan sebuah toko. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa sukses tanpa orangtuanya meski harus tinggal di panti asuhan dan diasuh oleh orang lain.
Berbeda dari Kevin, Justin yang pembawaannya lebih tenang memilih jurusan manajemen keuangan karena ingin menjadi pekerja kantoran seperti Bima. Justin menjadikan Bima sebagai acuannya meraih gelar sarjana tepat waktu, bekerja dengan giat supaya menghasilkan uang yang banyak.
"Apa Emi dan Kevin berangkat bersama bunda?"
"Sepertinya."
..........
"Emi!!!! Cepat sedikit."
Gadis berambut panjang hingga hampir mencapai pinggang berlari dari lantai dua keluarga Suntama.
"Cepat!"
Suara teriakan itu kembali menggema.
"Iyaaaa!!!
Teriakan dibalas teriakan.
"Kau bukan seorang gadis, teriakanmu seperti preman pasar."
"Sama. Kakak pikir teriakan kakak itu maco? Yang ada kayak kaleng bekas minuman dilempar ke aspal."
"Apa kalian berdua akan terus bertengkar seperti ini setiap hari?"
Seorang wanita berkacamata keluar dari kamarnya dan menarik nafas mendengar keributan setiap hari namun ia sangat bahagia.
"Bunda, dia yang teriak deluan ke aku. Dia juga bilang aku bukan seorang gadis."
"Memang seperti itu kenyataan," meledak gadis berambut panjang itu.
"Sudahlah, jangan bertengkar lagi! Ayo berangkat."
Tiga puluh menit sebuah mobil berhenti di depan sebuah gapura pemakaman. Wanita berkacamata, Emi dan pemuda bernama Kevin turun dan masuk ke area pemakaman.
"Bunda sudah nyampe?" sapa Justin pada wanita berkacamata itu.
Detik kemudian ia melirik pada dua orang dibelakang wanita yang dipanggilnya bunda.
"Kau juga juga sudah ada disini?"
"Iya, Bun. Tadi kak Bima yang jemput aku dari kampus," tunjuknya pada Bima disebelahnya.
Wanita itu sama sekali tidak melirik pada Bima, ia memilih meletakkan karangan bunga ditangannya pada kedua makam di hadapannya. Tiga orang yang memanggilnya bunda ikut melakukan hal yang sama, meletakkan bunga di atas kedua makan. Bima menjadi orang terakhir yang meletakkan karangan bunga. Beberapa saat mereka terdiam memandangi kedua makam itu. Wanita itu menghapus air matanya dan mencium kedua nisan dihadapannya.
Gadis berambut panjang yang dipanggil Emi itu melihat wajah seorang gadis yang ada di batu nisan.
Hei, kakak cantik? Ini untuk ketiga kalinya aku kesini. Aku sudah melihat foto-fotomu dan kau memang sangat cantik. Pria di sampingmu itu juga sangat tampan.
"Ayo pulang," ajak wanita itu kemudian.
"Maaf, Bu. Saya ingin bicara sebentar."
Bima menahan wanita itu dan menyuruh ketiga lainya pergi terlebih dahulu menuju mobil.
"Maaf, apa saya sudah-"
"Jangan bertanya, tetap lakukan seperti biasanya. Aku yang akan menentukan sampai kapan. Jangan membuatku marah di depan makam anakku."
Bima menghela nafasnya saat wanita itu meninggalkannya begitu saja. Wanita itu adalah mama Mila yang hampir gila karena kehilangan anak-anaknya. Mila juga merutuki dirinya karena melampiaskan kemarahannya pada si gadis akibat rasa benci Mila pada wanita yang melahirkan gadis itu.
"Selalu saja seperti ini setiap tahunnya. Apa kalian berdua tahu ada apa?" tanya Emi penasaran sambil menyamakan langkah kedua kakak angkatnya itu.
"Tidak perlu ikut campur urusan orang dewasa," serempak kedua pemuda di kiri-kanan Emi mengatakan kalimat yang sama.
"Is, kalian selalu begitu. Oh iya, kak Bima ganteng ya?"
"Om! Ingat, dia menyuruhmu memanggilnya om," ucap Kevin mengingatkan.
Pemuda yang sering meneriakinya itu menarik pelan rambut panjang Emi.
"Sakit!"
"Makanya potong saja biar tanganku ini tidak gatall untuk selalu menariknya. Biar persis seperti dulu lagi, seperti tokoh kar-"
Ucapannya berhenti saat mata gadis itu menatap tajam kevin.
"Aku nggak mau pulang dengan kalian, aku akan pulang dengan kak Bima."
"Dia tidak akan mau," ledek Kevin.
Gadis itu tidak peduli, ia berlari kebelakang pada bundanya.
"Bunda, aku pulang sama kak, eh, maksudku om Bima, boleh?" memasang nyengir kudanya.
"Boleh, kenapa tidak."
Bima menatap jengah pada gadis itu tapi ia tidak bisa membantah.
"Apa menurutmu kak Bima akan mengantarnya pulang?"
"Jelas mau, ada bunda Mila. Satu lagi, jangan pernah membahas tokoh kartun itu lagi kalau tidak mau urusannya jadi panjang. Cukup hanya kita berdua dan Emi yang tahu bagaimana bentuk rambutnya dulu."
"Aku kan tidak jadi menyebutnya. Hanya sampai kar-, aku belum bilang -tun dan Dora," jelas Kevin.
"Itu baru saja kau bilang Dora."
Hahaha...
Kevin dan Justin tertawa menuju mobil diparkirkan. Mereka masuk terlebih dahulu, menunggu bunda mereka yang masih di area pemakaman.
Kepada Kevin, Justin dan Emi tak satupun dari bunda Mila maupun Bima mengatakan cerita anak-anak bunda Mila. Wanita itu ingin memulai hidup yang baru dengan anak-anak asuhannya saat ini.
"Ayo, Bun."
Justin membantu bunda Mila naik ke mobil dan menutup pintunya. Ia kemudian mengitari mobil untuk duduk di samping bundanya sedangkan Kevin duduk di samping supir.
"Kita langsung pulang, Bu?" tanya Eko, supir yang baru satu tahun ini bekerja pada bunda Mila.
"Iya, pak. Kita langsung pulang saja."
Seperti biasa, setiap kali menjenguk makam, Mila akan merasakan tubuhnya tak berdaya. Justin yang paham dengan perasaan bundanya langsung mengelus lengan Mila dan tersenyum untuk memberikannya kekuatan.
"Emi gimana, Bun?" celetuk Kevin saat pak Eko memutar arah mobil.
"Bima akan mengantarkannya pulang," jawab mama Mila.
"Oh... Kalau gitu jalan pak Eko, jangan ngebut, ada bunda dan lagi kurang enak badan."
"Baik, mas."
..........
"Duduk dibelakang," titah Bima pada Emi sebelum masuk ke dalam mobil.
Bukan Emi namanya kalau langsung menurut, ia malah mendaratkan bokongnya dengan gesit di samping kuris pengemudi. Tangannya bergerak cepat memasang seat-belt.
Bima hanya bisa mendengus kesal. Tak ada kata yang keluar dari mulut Bima selama diperjalanan, berbeda dengan Emi yang bertanya dan mengatakan banyak hal.
"Tadi aku belum makan siang loh, om. Sekarang perutku lapar, aku juga haus."
Bima tahu apa yang dimaksud Emi, ia memelankan laju mobilnya saat melihat banyak pedagang kaki lima di pinggiran jalan.
Mobil itu berhenti di depan penjual sate yang sedang mengipas-ngipas sate bakarnya.
"Keluar."
"Em? Keluar?" Emi langsung saja keluar berpikir bahwa dia dan Bima akan makan sate bersama dipinggir jalan, hal yang tak pernah ia duga selama ini. "Oh iya, aku nggak bawa uang tunai, om."
Dengan cepat Bima mengeluarkan dompetnya dan mengambil satu lembar uang seratus ribu.
"Ini," menyerahkan uang seratus ribu pada Emi.
"Om Bima mau yang pakai kacang atau-"
"Seratus ribu cukup untukmu makan dan ongkos pulang. Jangan lama-lama nanti ibu Mila khawatir," menyela ucapan Emi.
"Maksudnya, om?"
Tak ada jawaban dari Bima. Seperti biasanya Bima langsung melongos pergi meninggalkan Emi.
"Hmmm... Ditinggal lagi," merapatkan bibirnya tersenyum masam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Isabela Devi
ya ampun kasian bgt EMI di tinggal
2024-05-14
1