Ada Batasannya

Emi memandang kagum pada rumah di depan matanya. Meski tidak sebesar dan semegah milik bundanya namun rumah minimalis milik Bima tak kalah bagus. Semakin Emi memasuki rumah itu rasa takjub terus terpancar diwajahnya.

Warna monokrom mendominasi seisi ruangan. Benda-benda antik terpajang disalah satu lemari kaca yang cukup besar. Disudut ruangan Emi melihat ada sebuah piano yang diyakininya hanya sebagai pajangan juga. Emi tidak berpikir jika Bima bisa memainkan sebuah piano melihat bagaimana kepribadian Bima selama ini padanya.

Dari dapur ibu Sri gegas menuju ruang tengah saat mendengar suara langkah di ruang tamu. Ibu Sri terkejut melihat seorang gadis tengah menekan-nekan tuts piano.

"Jangan!" larang ibu Sri.

"Hakh! Maaf?"

Emi sama kagetnya dengan ibu Sri.

"Kamu siapa?" tanya ibu Sri memperhatikan wajah Emi dengan ransel sekolah yang ada di punggungnya.

Bima masih ada diluar, mengeluarkan dua koper Emi yang begitu besar dan berat. Bima sampai dongkol berpikir apa yang dimasukkan Emi kedalam dua koper itu. Jarak rumahnya ke rumah Suntama juga hanya sekitar dua puluh menit.

Emi berlari kecil menghampiri ibu Sri untuk memperkenalkan dirinya.

"Emiranda, Bu. Bisa panggil Emi aja."

"Iya, saya ibu Sri. Terus kamu siapa yang bawa kemari dan buat apa?"

"Saya-"

"Dia yang akan menempati kamar tamu."

Suara Bima dari arah pintu menyela ucapan Emi dan memberitahu ibu Sri siapa Emi.

"Dia akan tinggal disini untuk sementara. Dia anak dari ibu Mila."

"Ibu Mila?" sesaat ibu Sri berpikir dan tak perlu waktu lama dia paham. "Oh... Ibu Mila yang itu ya, pak?"

"Iya, Bu. Ibu Sri nggak usah khawatir karena dia akan urus dirinya sendiri tanpa bantuan dari ibu. Segala keperluan dan kebutuhan pribadinya biar dia sendiri yang urus. Ibu Sri tetap melakukan seperti biasanya saja. Tidak perlu membantunya."

"Baik, pak."

"Ibu Sri bisa kembali melanjutkan kerjaan ibu."

Ibu Sri melirik Emi sebelum kembali ke belakang. Wanita itu tidak menduga jika anak kecil yang dimaksud Bima sebelumnya adalah seorang gadis yang cantik.

"Duduk!" perintah Bima pada Emi.

"Ini rumah om Bima? Ada berapa orang yang tinggal disini? Terus ibu yang tadi itu ART? Orang tua om Bima yang di Bali pernah kesini?"

"Ini rumahku dan yang tadi itu ART, namanya ibu Sri. Jangan menanyakan hal pribadi lainnya. Tinggal di sini bukan berarti kau bisa tahu apapun dan bertanya sesuka hati. Tidak ada yang berbeda dari sebelumnya. Hanya sekarang kau tinggal dan tidur disini."

Emi menyunggingkan bibirnya mendengar perkataan Bima. Tidak disangka jika Bima sama saja seperti sebelumnya.

"Ibu Sri bukan asisten pribadimu jadi jangan sekalipun menyuruhnya untuk melakukan ini dan itu. Cuci dan setrika pakaianmu sendiri. Jangan menyusahkan orang lain."

"Iya," jawab Emi singkat. Meski tak suka tapi Emi berusaha menerimanya yang penting dia dekat dengan Bima.

"Sekarang kau bisa membawa kopermu ke kamar. Itu kamarmu selama di sana," tunjuk Bima pada kamar yang dimaksud.

"Terus kamar om Bima dimana?"

"Di lantai dua. Kalau perlu denganku bicara saat aku ada dibawah dan jangan naik keatas."

"Kalau aku naik ke atas memangnya kenapa?" cicit Emi.

"Jangan melangkah ke tempat yang tidak seharusnya. Segala sesuatu ada batasannya!" tegas Bima menekan ucapannya.

Segera Bima meninggalkan Emi dan pergi mengemudi entah kemana. Tak sabar ingin melihat kamar barunya, Emi beranjak dari duduknya, menarik kedua koper miliknya dan masuk ke kamar. Emi tertawa melihat keadaan kamar yang sangat berbeda dari miliknya di rumah bunda Mila. Sama sekali tidak ada kesan feminim-nya.

Lagi-lagi warna tembok kamar dan isi di dalamnya bernuansa monokrom.

Emi meletakkan asal kedua koper dan ranselnya. Ia menemui ibu Sri yang mungkin sedang bekerja di belakang.

"Ibu...?" panggil Emi memenuhi seisi rumah.

Ibu Sri yang menyiapkan makan malam menghentikan kerja tangannya mendengar suara panggilan. Ibu Sri sampai terkejut, dia tidak pernah mendengar suara kuat seperti itu selama bekerja di rumah Bima.

"Ibu Sri...?" panggil Emi lagi.

Emi bukan berteriak, ia hanya bersemangat.

"Ada apa? Kenapa teriak?" ekspresi ibu Sri begitu terkejut takut sesuatu yang buruk terjadi.

"Maaf, Bu. Suara Emi kuat ya?"

Ibu Sri mengangguk namun melihat ekspresi wajah Emi yang sumringah mematahkan kekhawatirannya.

"Seprei, selimut dan gorden di kamarku bisa diganti warna pink atau yang lebih cerah nggak, Bu?"

"Kalau warna pink nggak ada, cuman hitam, abu-abu dan putih aja yang ada di sini."

Emi berpikir sejenak dan memutuskan jika putih lebih baik dari pada hitam.

"Warna putih aja, Bu."

"Kalau gitu saya ambilkan dulu, tunggu di kamar aja."

Ibu Sri ke belakang mengambil selimut dan seprei warna putih. Ia mengantarkannya ke kamar Emi.

"Biar saya aja, Bu. Nanti om Bima lihat bisa marah. Ibu dengar sendirikan tadi dia bilang apa?" ucap Emi melarang ibu Sri untuk mengganti sprei.

"Sudah, pak Bima juga lagi keluar. Dia nggak bakalan tahu kalau ibu bantuin."

Ibu Sri melepas sprei yang semula ia pasang dan memasang dengan sprei yang ia bawa. Emi membantu merapikan setiap ujungnya dan melipat sprei yang dilepas.

"Makasih ya, Bu."

"Iya, tenang aja. Kalau ada perlu bilang sama ibu. Tapi kalau ada pak Bima ya maaf, ibu nggak bisa bantu."

"Iya, Bu. Makasih."

..........

Emi membuka kopernya dan memasukkan satu persatu pakaian ke dalam lemari. Meletakkan barang-barang yang perlu ke atas meja. Emi menata semua barang-barangnya dengan baik dan rapi.

Terakhir Emi mengangkat kopernya yang sudah kosong untuk diletakkannya di atas lemari. Emi yang tidak begitu tinggi membuatnya menggeser meja ke dekat lemari dan naik ke atasnya.

Gubrak!

Emi terjatuh! Kakinya goyang saat mengangkat koper. Lengan kanannya ditimpa koper hingga pergelangannya terasa begitu sakit.

"Bunda...?! Hiks...."

Emi memekik kesakitan hendak menggerakkan tangan kanannya. Orang pertama yang dipanggil adalah bundanya.

"Kak Kevin... Sakit...! Tanganku sakit kak Justin... Huaaaa... Bantuin Emi," tangis Emi mengingat kedua kakaknya itu.

Buru-buru ibu Sri berlari dari kamarnya mendengar suara tangisan Emi sambil memanggil-manggil nama seseorang.

"Emi? Kamu kenapa, nak?"

Dilihatnya Emi tergeletak di lantai dengan posisi terlentang dan sebuah koper menimpa tangannya.

Panik. Ibu Sri langsung mengangkat koper itu dan membantu Emi duduk.

Aaaa....

Emi berteriak saat tak sengaja ibu Sri yang hendak membantu, memegang pergelangan tangan Emi yang sakit.

"Sakit, Bu..."

"Maaf, ibu nggak tahu."

Bima yang baru kembali langsung menuju kamarnya hingga tidak tahu apa yang terjadi di kamar Emi. Beruntung ada ibu Sri yang juga baik seperti ibu Nani di rumah bundanya. Ibu Sri mengolesi minyak dan mengurut tangan Emi yang sakit.

"Kopernya letak dibawah aja, dekat lemari. Lain kali harus hati-hati, jangan asal naik. Kalau sudah seperti ini kamu sendiri yang kesakitan."

Emi mengganggukkan kepalanya. Bibirnya mengerucut sedih dengan sisa-sisa air mata di pipinya. Disaat seperti ini Emi begitu merindukan bunda dan kedua kakaknya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!