Pungguk Merindukan Bulan

Malam hari puncak Bogor begitu sangat dingin. Meski demikian suasana hangat dari kebersamaan begitu terasa. Lelah dengan aktivitas seharian dilanjutkan dengan perjalanan ibukota-puncak, tidak menyurutkan semangat dan kegembiraan bagi tiga saudara tanpa ikatan darah.

Bunda Mila yang tak tahan udara dingin karena usianya yang semakin bertambah langsung beristirahat di kamar sedangkan yang lainya asik bercerita diruang keluarga.

Ditengah keriuhan ketiga saudara itu bercerita hanya Bima yang tidak banyak bicara. Bima hanya sebagai pendengar dan sesekali mengeluarkan suara dan itu sangat singkat.

Bima tidak ingin bergabung dengan mereka, sama sekali tidak ada keinginan Bima untuk ikut kepuncak namun apa yang bisa dilakukannya saat itu adalah sebuah perintah bunda Mila.

Terkadang Bima tidak mengerti dengan posisinya. Satu sisi dia bukanlah bagian dari keluarga Suntama namun disisi lain bunda Mila menempatkannya sebagai tombak di keluarga dan perusahaan Suntama. Ingin sekali Bima bisa segera terlepas dari pusaran keluarga Suntama.

Bima meninggalkan ketiga bersaudara tersebut dan keluar dari dalam vila. Ia berjalan-jalan disekitar vila sambil menikmati pemandangan malam puncak Bogor.

Dari dalam Emi mengikuti langkah kemana Bima pergi dan menghampirinya dengan senyum khas di wajahnya.

"Om Bima?" panggil Emi memukul pelan lengan Bima. "Om Bima lagi ngapain?"

"Masuklah. Diluar udaranya dingin dan tidak perlu mencari tahu urusan orang lain."

Jawaban Bima sama sekali tidak bersahabat. Emi masih berdiri di dekat Bima dan memandangi wajah Bima dalam.

Menyadari Emi yang tak kunjung pergi, akhirnya Bima pergi namun tetap saja Emi mengekorinya.

"Om Bima sudah sering kesini? Kalau iya apa perginya dengan anak-anak bunda dulu? Oh iya, om Bima sakit gigi ya?"

Pertanyaan terakhir Emi menghentikan langkah Bima saat akan menaiki tiga anak tangga menuju kesebuah pondok di belakang vila. Bima tidak suka diikuti Emi apalagi ditanyai ini-itu. Urusan Bima hanyalah dengan bunda Mila dan tidak ada kewajiban Bima untuk meladeni Emi.

"Usia kamu berapa?" tanya Bima ketus.

"Tujuh belas, om. Emang kenapa? Aku masih lama lagi ulang tahunya. Kalau om Bima dua bulan lagi, iyakan?"

"Kamu tahu usia saya berapa?"

"Em... Kalau nggak salah tiga puluh dan dua bulan lagi tiga puluh satu, bener nggak?"

"Bagus kalau tahu dan berhenti bersikap seakan kita dekat ataupun akrab. Jangan bicara seakan kita itu dekat karena tidak ada urusan ataupun kepentingan antara kita."

"Om Bima ada masalah apa sih, ngomongnya kok gitu? Perempuan aja kalau lagi PMS nggak segitunya."

Sikap Emi yang biasa-biasa saja membuat Bima semakin tak suka. Bima selalu mengabaikannya sejak awal pertemuan mereka saat bunda Mila memperkenalkan tiga orang anak yang di adopsinya dari panti asuhan itu.

"Om Bima sudah punya pacar nggak? Kalau belum berarti aku masih ada kesempatan, iyakan?"

"Maksud kamu apa?" pelan namun nada Bima begitu mengintimidasi ditambah sorot matanya yang indah berubah menjadi tajam dalam sekejap.

Emi memperhatikan wajah tak suka Bima padanya namun bukan Emi namanya kalau langsung merasa terintimidasi. Emi tetap menjaga senyum di wajahnya dan menuju pada bunga mawar yang ditanam di dekat anak tangga dimana saat ini Bima sedang berdiri.

"Sepertinya aku suka sama om Bima."

Emi berjongkok ingin memetik setangkai mawar namun lengannya ditarik kuat oleh Bima. Emi hampir saja terjatuh, untung saja kuda-kudanya kuat menahan tubuhnya. Meski tidak terjatuh namun telapak tangan Emi berdarah akibat tergores duri mawar yang tak jadi dipetiknya.

"Aw, sakit!"

Telapak tangan Emi yang tergores diabaikan Bima dan menekan kuat lengan Emi.

"Jangan mencoba membuat lelucon. Kau bukan siapa-siapa dan jangan mengulang kalimat tadi di depanku. Bergaul dengan orang-orang seusiamu dan katakan itu juga pada mereka. Jangan mengganggu atau mengikutiku lagi. Paham?"

Tangan Emi dihempaskan begitu saja oleh Bima dan meninggalkannya begitu saja.

Alih-alih marah ataupun menangis, Emi justru hanya berdecak dan meniup-niup telapak tangannya yang perih. Bukannya masuk kedalam vila Emi memilih duduk di atas anak tangga dimana ditumbuhi bunga mawar disekitarnya.

Emi masih meniup-niup telapak tangannya, ia merasa malam ini begitu kelabu namun terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Emi ingin memetik kembali mawar disampingnya namun sebuah benda ditengah tanaman mawar tersebut menarik perhatian Emi.

Emi menjulurkan tangannya ditengah-tengah tangkai mawar yang berduri.

"Aw, sakit-sakit-sakit!"

Meski terkena tusukan duri tapi Emi berhasil mengambil benda tersebut.

"Wah... Ini bukannya kotak cincin?" Emi bermonolog seorang diri.

Mata Emi berbinar saat melihat isi kotak tersebut yang ternyata adalah sebuah cincin. Emi memperhatikan baik-baik cincin itu dan memasangkannya dijari manisnya. Karena longgar Emi memakainya dijari tengah.

"Ini punya siapa? Kasihan amat yang punya ini cincin, pasti mewek karena kehilangan cincin ini."

Kotak cincin tersebut sudah lembab dan tertutupi oleh tanah dan lumut. Emi menduga jika kotak cincin itu sudah cukup lama ada di sana.

Tidak ingin mengambil apa yang bukan miliknya, Emi mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Bima. Emi akan menunjukkan cincin yang di dapatkan pada Bima dan jika tidak tahu siapa pemiliknya maka Emi akan mengambil cincin itu untuknya.

"Om Bima?" panggil Emi pada Bima yang sedang memainkan ponselnya di sebuah pondok. Emi berlari menghampiri Bima seakan tidak mempermasalahkan omongan Bima sebelumnya.

Tentu Bima tidak menyahutinya karena ia tahu jika Emi adalah orang yang keras kepala.

"Maaf kalau aku ganggu tapi aku barusan nemuin ini di sana," memperlihatkan kotak cincin yang sudah usang dan isinya.

Mata Bima mendelik dan memperhatikan cincin yang ditunjukkan Emi.

"Mungkin seseorang menjatuhkannya dan sudah kehilangan cincin ini. Kasihan tapi kalau nggak ada yang punya, aku boleh ambil ya?"

Bima menerima cincin itu dari Emi dan mengamatinya. Bima memicing saat melihat nama yang terukir di bagian dalam lingkaran cincin.

"Nggak ada yang punya ya, om?" tanya Emi mengambil kembali cincin itu dari tangan Bima. Dengan santainya Emi kembali memakai cincin itu dijari tengahnya dan berdecak kagum.

"Itu bukan milikmu."

Bima menarik tangan Emi dan mengeluarkan cincin itu dari jarinya.

"Ini milik keluarga Suntama dan kau tidak berhak mengambilnya."

Bima berlalu dari hadapan Emi setelah mengambil cincin itu. Cincin itu adalah milik salah satu almarhum anak bunda Mila. Bima akan mengembalikannya pada bunda Mila.

Emi terdiam mendengar ucapan menohok Bima. Ia tahu dan sadar jika bukanlah bagian penting dari keluarga Suntama. Emi tahu posisinya yang hanya sebagai anak adopsi bunda Mila tapi apakah Bima harus berkata frontal seperti itu.

Haruskah Bima mengatakan jika Emi tidak berhak atas milik keluarga Suntama yang jelas-jelas ia sadar akan hal itu?"

Emi memperhatikan jarinya yang tadi sempat melingkar sebuah cincin. Ia menepuk-nepuk tangannya yang kotor saat membersihkan tanah yang menempel pada kotak cincin.

"Hisss... Sakit," Emi mendesis tak sadar menepuk kuat tangannya yang berdarah, belum lagi yang tertusuk duri mawar saat mengambil kotak cincin.

"Apa aku benar menyukai pria itu? Kalau iya kenapa aku bisa menyukainya?"

Udara yang semakin dingin dan malam yang semakin larut membuat Emi kembali masuk kedalam vila. Saat akan masuk ke kamarnya Emi ditahan oleh Kevin dan membawanya keruang keluarga.

"Apaan sih, kak? Oh iya, kak Justin dimana?"

"Sudah tidur. Pelankan suaramu, nanti bunda bangun," ingatkan Kevin. "Tunggu sebentar disini dan jangan pergi kemana-mana."

Entah kemana Kevin pergi namun tak lama kemudian ia kembali dengan sebuah kotak ditangannya.

Kevin meraih tangan Emi yang terluka dan memperhatikan wajah datar Emi.

"Hem... Apa kau tidak merasa sakit?"

"Cuman kena goresan duri mawar aja, kak. Nggak usah lebay dan berlebihan."

Emi tidak menolak saat Kevin membersihkan lukanya dan mengobatinya.

"Emi?"

"Apa?"

"Terkadang ada hal-hal yang tidak bisa untuk kita gapai. Jika hal itu sudah membuat kita terluka maka berhenti untuk menggapainya."

"Ih, kak Kevin ngomong apaan sih?"

"Dari kecil kita tinggal bersama. Kau hanya perlu sekolah yang rajin dan belajar dengan baik seperti sebelum kita di bawa bunda Mila ke dalam keluarganya."

"Jangan berlagak Mario teguh, kak. Itu sangat tidak cocok dengan kak Kevin, hahaha..."

Emi masih bersikap biasa-biasa saja meski ia tahu apa tujuan Kevin berbicara seperti itu padanya.

"Jangan menyukai kak Bima. Kau mengerti maksudku kan? Kalian itu terlalu jauh, bagai pungguk merindukan bulan. Bagaikan bumi dan langit! Hahaha..."

Seketika tawa Kevin pecah dan melepaskan tangan Syera yang sudah selesai diperban.

"Aku sangat kasihan sama kak Bima karena disukai olehmu. Dia pria dewasa sedangkan kau hanya anak kecil dimatanya, jadi paham maksudku kan?"

Kevin masih menertawai Emi yang sudah begitu kesal.

"Makasih," ucap Emi lalu meninggalkan Kevin dan masuk ke kamarnya.

Terpopuler

Comments

Talsa Janed

Talsa Janed

kalau udah jodoh mah semuanya juga ditebas😅

2023-02-04

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!