Sakit Tak Berdarah

Harumnya aroma kopi di pagi hari memberi kesan tersendiri bagi para penikmatnya. Sama seperti Bima yang kini tengah menyeruput secangkir kopi yang sudah menjadi kebiasaannya di pagi hari.

Masih menggunakan pakaian tidurnya dan hanya membasuh wajah dan menyikat giginya Bima tengah duduk di kursi meja makan sambil mengecek kondisi saham perusahaan melalui ponselnya.

"Pagi om Bima?"

Dari arah kamarnya Emi yang sudah rapi dengan seragam sekolah dan menenteng ranselnya bergabung dengan Bima ke meja makan.

"Ada kursi yang lain, jangan duduk di sebelahku," cegah Bima saat tangan Emi menarik kursi di sebelah Bima untuk ia duduki.

Tentu saja Emi mengabaikan ucapan Bima. Emi duduk begitu saja di samping Bima seakan tak ada aba-aba dari Bima yang sudah melarangnya.

"Hari ini yang antar aku ke sekolah om Bima, kan?"

"Pak Eko sudah nunggu di luar dari tadi. Aku sudah sudah bilang dia yang akan antar jemput ke sekolah."

"Ih, om Bima nggak seru. Om Bima punya saudara? Adik atau kakak gitu? Kalau punya, aku boleh kenalan dengan mereka nggak?"

"Sekolah saja yang benar. Nilaimu semester lalu sangat jelek dan tidak ada di keluarga Suntama yang seperti itu selama ini."

Emi hanya terdiam saat Bima mengungkit perihal nilai rapornya semester lalu. Sengaja Emi menyenggol lengan Bima saat akan berdiri usia sarapan namun tidak ada respon dari pria itu.

Ransel biru muda digendongnya, ia berlari ke dalam kamar hampir melupakan ponselnya yang sedang ia isi dayanya.

"Aku pergi," pamit Emi melirik Bima yang selalu cuek padanya.

Emi berlari keluar menemui pak Eko yang kata Bima sudah menunggunya. Benar saja, pria yang semula bekerja sebagai OB di Suntama Group dan kini sebagai supir sedang bersiul bersandar pada mobil sambil memainkan ponsel.

"Pak Eko?" panggil Emi.

"Pagi, Emi. Kita berangkat sekarang?"

"Iya, pak."

Emi membuka pintu mobil namun suara panggilan Bima padanya menghentikannya saat akan mendaratkan bokong di kursi mobil.

Senang, itu sudah jelas dirasa Emi. Jarang-jarang Bima memanggilnya kalau bukan untuk hal yang sangat mendesak.

"Emi?"

"Kenapa, om? Mau anterin aku ke sekolah?"

"Kartu ATM dan kartu kredit yang dikasih ibu Mila mana?"

"Ada di dalam dompet. Memangnya buat apa?"

"Ayo berikan," pinta Bima memerintah.

Dengan polosnya Emi mengambil kartu ATM yang diberikan bundanya.

"Aku cuman dikasih bunda ATM ini."

Bima mengambilnya dari tangan Emi. Sejurus kemudian ia membuka dompet itu untuk melihat berapa banyak uang cash yang dimilikinya.

Hanya ada selembar uang dua puluh ribu di dalam dompet itu.

"Itu cukup buat hari ini. Selesai sekolah langsung pulang."

"Cukup?"

"Mulai hari ini aku yang pegang ATM ini."

"Mana bisa gitu. Itukan bunda yang kasih waktu aku naik kelas tiga kemarin," protes Emi yang tak rela jika ATMnya di ambil Bima.

"Dan dengan mudahnya kau menggunakan isinya untuk mentraktir teman-temanmu setiap harinya, benarkan?"

Emi masih ingin protes tapi Bima sudah kembali bicara pada pak Eko.

"Pak Eko? Nanti dari sekolah langsung pulang dan jangan kemana-mana."

"Iya, pak. Baik."

Bima meninggalkan Emi yang terlihat kesal namun beberapa langkah tangan Emi sudah menahan lengan Bima kuat.

"Om Bima?"

"Lepas!"

Tatapan menusuk Bima membuat Emi ciut. Ia melepas tangannya dan membiarkan Bima masuk ke dalam.

Emi mendengus kesal, pikirannya yang indah saat tinggal bersama dengan Bima justru berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada.

Sepanjang jalan menuju sekolah Emi hanya diam saja membuat pak Eko merasa kasihan.

"Sabar aja, anggap lagi belajar mandiri. Dua puluh ribu juga cukup kok, pak Eko aja dulu di kampung uang jajan ke sekolah dua ribu."

"Dulu dan sekarang itukan beda, pak. Sedih sih karena ATMnya diambil om Bima tapi nggak terlalu masalah. Nanti bisa minta traktir sama Bian kalau mau jajan di sekolah."

"Terus kenapa mukanya masih ditekuk nggak semangat gitu?" tanya pak Eko lagi.

"Pak Eko?"

"Kenapa?"

"Pak Eko kan laki-laki, aku mau tanya nih, gimana caranya ngambil hati laki-laki yang cuek banget, pak?"

"Hahaha... Nak Emi lagi suka cowok?" tawa kekeh pak Eko.

"Ih, pak Eko malah ketawa. Aku serius ni, pak."

"Iya-iya, maaf. Biasanya laki-laki itu paling suka kalau dikasih perhatian. Perhatian adalah salah satu cara buat narik hati lawan jenis," ungkap pak Eko.

"Oh, gitu ya? Terus apa lagi, pak?"

"Banyak sih, tapi ya... tergantung laki-lakinya juga. Semua laki-laki itu nggak sama. Memangnya nak Emi suka sama siapa?"

"Om Bima."

Chittt...

Kaki pak Eko refleks menginjak rem dan menelan sulit liurnya.

"Pak Eko?! Kenapa ngerem mendadak? Untung aku nggak punya riwayat penyakit jantung."

"Habis nak Emi ngagetin saya."

"Ngagetin gimana sih, pak?"

"Nak Emi lagi becanda kan? Maksud pak Eko itu Emi nggak beneran suka sama pak Bima. Iyakan?"

"Siapa yang lagi becanda, aku beneran suka sama om Bima. Memang kenapa sih pak kalau aku suka dia? Pak Eko sama aja kayak kak Kevin, nggak asik dan nggak ngedukung."

"Bukan nggak ngedukung, masalahnya..." sesaat pak Eko menjeda kalimatnya. "Em, gimana ya bilangnya, pak Bima itu pri dewasa dan nggak mungkin suka sama anak sekolahan. Mungkin saja pak Bima juga sudah punya pacar atau malahan calon istri," jelas pak Eko.

"Yang penting om Bima belum nikah."

Pak Eko tidak lagi menanggapi Emi, ia fokus pada jalanan di depannya.

..........

Selama pelajaran berlangsung Emi tidak konsentrasi, ia memikirkan perkataan pak Eko saat di mobil. Ya, Emi sedang berpikir perhatian seperti apa yang akan dilakukannya demi menarik hati Bima padanya.

Pulang sekolah Emi menolak ajakan Bian karena sudah ada pak Eko yang menungguinya di parkiran. Saat di tengah perjalanan pulang Emi terpikir oleh sesuatu dan meminta pak Eko untuk ke kantor Bima. Entah apa yang sedang dipikirkan Emi saat ini.

Tiba di depan gedung perusahaan, Emi langsung ke meja resepsionis untuk diantarkan ke ruangan Bima. Emi yang sudah pernah dibawa bunda Mila ke kesana dan dikenal resepsionis langsung mengantarnya menuju ruangan Bima.

"Ruangannya yang mana, mba?" tanya Emi pada resepsionis wanita yang menuntun arah.

"Itu, yang di depan sana," tunjuk si resepsionis pada ruangan yang mereka tuju.

"Oh, itu ya? Ya udah, mba. Aku bisa sendiri, mba-nya kembali aja kerja."

"Yakin?"

"Iya, mba. Makasih sudah anterin sampai sini."

Resepsionis itu meninggalkan Emi dan kembali untuk melanjutkan pekerjaannya.

Emi melihat pintu di depannya lalu tersenyum, sebelum masuk ia terlebih dahulu merapikan seragam dan rambutnya.

"Om Bi-"

Mata Emi membola setelah mendorong pintu dan yang ia lihat pertamakali adalah seorang wanita berdiri di hadapan Bima sambil membenarkan dasi di leher Bima dengan jarak yang cukup dekat.

Emi mematung di depan pintu selama beberapa detik namun kemudian ia masuk mendekati Bima dan si wanita.

Bima tak kalah kagetnya melihat keberadaan Emi yang kini sudah berdiri di dalam ruangannya.

"Ada apa? Kenapa kau datang kesini?" sarkas Bima.

Bukannya menjawab pertanyaan Bima, Emi malah memperhatikan wanita yang masih merapikan dasi Bima.

"Halo, Emi? Saya Nola, sekretaris pak Bima."

Sapaan itu dibalas dengan senyuman terpaksa dari Emi.

"Terimakasih," ucap Bima setelah Nola selesai merapikan dasinya.

"Saya permisi, pak."

Nola memberikan senyum pada Emi sebelum pergi meninggalkan ruangan Bima. Kedua mata Emi memperhatikan Nola dari ujung kepala hingga ujung kaki. Cantik dan modis, blouse biru muda dipadukan dengan rok span sedikit di atas lutut, belum lagi dengan heels tinggi yang semakin membuat penampilan Nola begitu cantik.

Tak sadar Emi melihat dirinya yang berpakaian seragam dengan ransel di pundaknya.

"Ada apa?"

Suara Bima menyadarkan Emi dari lamunannya. Baru tersadar Emi sudah kembali tertegun melihat penampilan Bima yang begitu ganteng dan rapi, persis seperti aktor Korea yang memerankan karakter seorang CEO sebuah perusahan besar.

"Apa kau tuli? Kenapa datang ke kantor?"

"Ma-maaf, om. Aku lapar dan belum makan siang. Om Bima udah makan siang?"

"Sudah," jawab Bima berbohong.

"Oh, gitu ya."

"Kalau ada yang penting bisa katakan nanti di rumah. Jangan menemuiku ke kantor seperti ini. Disini bukan tempatmu. Pulanglah. Aku ada banyak kerjaan."

Bima memasukkan beberapa benda ke dalam tas kecil dan menentengnya keluar ruangan. Emi mengekorinya ingin tahu Bima akan kemana.

"Sudah, pak?" tanya Nola yang langsung berdiri saat Bima berhenti di depan meja kerjanya.

"Sudah, ayo."

Nola kembali mengulas senyum pada Emi dibelakang Bima. Ketiganya berada dalam lift yang sama menuju lobi. Hanya Bima dan Nola yang terlibat pembicaraan sedangkan Emi hanya diam memperhatikan keduanya dari belakang.

"Sakit tak berdarah," ucap Emi mengasihani dirinya sendiri.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!