"Pagi, Emi? Kusut amat itu muka, kangen sama orang-orang di rumah yang udah pada pergi ya?"
"Ih, pakai nanya lagi si Bian. Kalau nggak kangen itu berarti aku nggak sayang. Inikan aku sayang mereka apalagi bunda."
Bian meletakkan tasnya di atas meja Emi dan duduk di kursi sebelahnya.
Febi yang baru memasuki ruangan kelas langsung memasang wajah juteknya sembari berdehem.
"Ekhem! Kayaknya tempat duduk aku di sabotase lagi nih, mi."
"Hehehe... Sorry ya, Feb? Kita tukaran tempat duduk lagi ya hari ini?" gelak Bian.
"Terserah dah, kalau aku nggak mau bakalan tetap maksa juga nanti," dengus Febi. Ia lalu duduk di belakang, sejajar dengan kursi Emi sedangkan di sebelahnya ada Yoga sedang mengerjakan tugas yang ia lupa kerjakan di rumah.
"Emi?" panggil Bian meletakkan kepalanya di atas meja dan melihat pada Emi yang sibuk memainkan ponsel.
"Kenapa, Bi?"
"Bentar lagi ujian tengah semester loh."
"Terus?"
"Kamu tahukan kalau kita bentar lagi lulus SMA? Harus belajar, mi."
"Belajar itu buat orang pintar ajalah, lagian lulus SMA aku nggak bakalan lanjut kuliah. Capek belajar mulu, engap aku."
"Hem... Setidaknya belajar buat dapat nilai yang bagus untuk terakhir kalinya, biar bunda kamu senang. Nilai rapor kamu kemarin itu jelek banget loh, mi. Aku sampai nggak nyangka kamu bisa peringkat tiga terbawah di kelas."
"Bodoh amatlah sama peringkat. Peringkat itu nggak menjamin seseorang itu pintar atau bodoh."
"Jangan diterusin lagi kenapa sih, mi. Kamu itu pintar tapi karena orang-orang itu kamu jadi patah semangat dan malas belajar jadinya. Lupain aja ya, mi."
Emi hanya menggedikkan bahunya. Ia mengerti maksud ucapan Bian. Sebenarnya meski bukan juara kelas tapi Emi salah satu murid yang pintar awalnya. Nilainya terbilang bagus dan masuk dalam urutan tujuh besar di kelasnya.
Emi yang rajin dan pintar berubah saat ujian kenaikan kelas tiga. Emi melihat dengan jelas saat ujian salah satu guru memberikan kunci jawaban pada anaknya yang sekelas dengan Emi. Saat itu Emi yang tidak suka dengan perlakuan curang langsung protes pada si guru dan pengawas ujian.
Sangat disayangkan, Emi justru diomeli dan diminta untuk tidak ikut campur. Saat pembagian rapor si anak guru tersebut bisa meraih juara dua di kelas. Padahal jika dibandingkan, Emi jauh lebih pintar darinya.
Semenjak saat itu Emi menjadi malas-malasan belajar dan sering tidak mengerjakan tugas sekolah. Bahkan saat ujian itu berlangsung, Emi yang sudah kesal dan panas hati tidak lagi memperdulikan nilainya. Emi asal menjawab saja soal yang ada, alhasil nilai Emi jeblok dan masuk dalam peringkat tiga terbawah.
....
Pak Anwar, guru matematika memasuki ruangan kelas setelah bel berbunyi. Usai dua puluh menit menerangkan materi pelajaran, beliau langsung memberikan tugas dan keluar dari kelas.
"Cepat, Bi. Ayo kerjain," perintah Emi menaik-turunkan kedua alisnya.
"Tanpa kamu suruh juga bakal aku kerjakan, mi."
Emi memperhatikan tangan Bian mencoret-coret angka di lembar terakhir bukunya. Jika sudah seperti ini, Bian berubah menjadi begitu serius. Emi kagum dan senang memiliki teman seperti Bian, terlebih Bian adalah orang pintar dan juara umum."
"Nih!"
"Udah?"
"Em, cepat tulis."
Tidak butuh waktu lama Bian sudah menyelesaikan lima pertanyaan yang diberikan pak Anwar. Emi menarik buku Bian dan menyalin semua jawaban. Usai menyalinnya Emi mengoper bukunya ke belakang, memberikannya pada Febi.
Berbagi itu indah, itulah salah satu prinsip dalam hidup Emi. Dengan senang hati Febi menerima buku Emi dan menyalin jawaban yang berasal dari Bian.
"Yoga, mau nyontek juga nggak?" tanya Febi berbaik hati.
"Ogah! Meski sering lupa ngerjain PR tapi aku bukan orang bego kali. Aku bisa kerjain sendiri. Nih, lihat!"
Yoga memperlihatakan buku catatannya yang sudah menyelesaikan empat soal dan hanya tersisa satu.
"Iya deh yang dapat peringkat tiga di kelas. Maaf," ucap Febi.
Di depan mereka Bian dan Emi tertawa mendengar pembicaraan Febi dan Yoga.
"Emi?"
"Apa lagi?"
"Pulang sekolah kemana?"
"Emangnya kenapa? Kayaknya aku langsung pulang aja."
"Jalan yok?"
"Oke!"
Tanpa berpikir Emi menyetujui ajakan Bian. Toh di rumah juga dia akan bosan dan sendirian.
Pak Anwar yang tak kunjung kembali membuat Emi merogoh ponselnya dan membuka salah satu media sosialnya, sama seperti beberapa murid lainnya. Bian hanya tersenyum memandangi wajah Emi yang begitu serius menaik-turunkan layar ponselnya.
Bian melihat rambut panjang Emi dan menjahilinya dengan cara menarik ikat rambutnya. Emi sama sekali tidak merespon, ia tetap asik dengan ponselnya. Kesempatan itu dibuat Bian untuk memainkan rambut panjang Emi.
....
Pulang sekolah Bian dan Emi tidak langsung pulang, mereka sepakat menghabiskan waktu hingga sore berkeliling dengan sepeda motor.
Bian menghentikan motornya dipinggir jalan dimana ada penjual pecel lele dan ayam bakar.
"Makan dulu ya, mi?"
"Iya, aku juga lapar."
Keduanya duduk di kursi tanpa sandaran menyantap nasi dan ayam bakar yang menjadi pilihan mereka.
"Enak, Bi."
"Mau nambah lagi?"
"Enggak, ini udah cukup tapi kalau besok mau lagi, hihihi..."
"Ya udah, besok kita kesini lagi."
Emi dan Bian melanjutkan makan mereka sambil bercerita.
Di seberang jalan, melalui jendela mobilnya, Bima memperhatikan Emi dan Bian yang sedang asik makan. Bima yang baru selesai rapat dengan salah satu klien tak sengaja melihat Emi saat perjalanan akan kembali ke kantor.
Bima melirik jam tangannya dan sudah menuju pukul empat sore. Ia memicing mendapati Emi berada diluar rumah masih memakai seragam dan makan dipinggir jalan bersama teman cowoknya.
Ponsel Bima bunyi, Nola menelponnya.
"Halo pak, ada yang mau ketemu dengan pak Bima di kantor. Beliau sudah menunggu di lobi kantor. Katanya pak Bima yang menyuruhnya untuk datang dan menemui bapak sore ini," ucap Nola memberitahu.
"Oh, iya. Saya tahu, suruh menunggu dan sebentar lagi saya sampai."
"Baik, pak."
Bima meneruskan perjalannya ke kantor, meninggalkan Emi dan temannya yang sedang asik makan sambil tertawa.
Sesampainya di lobi kantor Bima langsung menemui orang yang sudah menunggunya dan hanya tiga puluh menit pembicaraan mereka sudah selesai. Tampak Bima mengulas senyum saat berjabat tangan dan mengantar orang tersebut menuju mobilnya di parkiran.
Bima menuju ruangannya, ia berhenti di depan meja Nola yang tengah fokus dengan laptop di hadapannya.
"Nola?"
"Iya, pak?"
"Kau tahukan kalau bulan depan itu saya ulang tahun?"
"Iya, pak. Apa mau dirayakan di kantor seperti sebelumnya atau diluar, pak?"
"Jangan melakukannya, tidak ada perayaan ulang tahun bulan depan. Bekerja seperti biasanya saja. Jangan ada pemberitahuan juga pada karyawan lain."
"Baik, pak."
Nola mengangguk paham, ia tahu jika Bima tidak begitu suka dengan sebuah perayaan. Hanya saja setelah menjabat sebagai pimpinan perusahaan, ada saja karyawan yang tetap merayakan ulang tahun Bima tanpa ia minta dan ketahui.
Pukul setengah enam sore Bima meninggalkan kantor dan pulang ke rumah. Lelah, itu sudah pasti tapi ia bisa berbuat apa? Puluhan ribu karyawan kini menjadi tanggung jawabnya. Perusahaan yang semakin berkembang membuat Bima juga bekerja ekstra. Jika akhir pekan Bima lebih memilih untuk beristirahat dan tidur di rumah. Bima hanya menerima ajakan rekan-rekan bisnisnya jika waktunya luang.
"Malam pak, Bima?" sapa ibu Sri yang bekerja sebagai asisten rumah tangga Bima.
"Malam juga, Bu. Bisa buatin saya kopi?"
"Bisa, pak. Itu sudah kerjaan saya."
Ibu Sri gegas menuju dapur dan tak lama ia kembali membawa secangkir kopi di atas nampan.
"Capek ya, pak? Sesekali bolehlah libur dan istirahat buat cari udara segar."
Ibu Sri adalah ART yang dikirim mamanya Bima dari Bali sejak Bima kembali ke Indonesia. Ibu Sri sudah lama bekerja pada keluarga Bima di Bali dan sekarang ia bekerja di Jakarta untuk mengurus segala keperluan Bima di rumah.
"Bu, tolong bersihin kamar tamu ya?"
"Wah, mau ada tamu ya, pak? Laki-laki atau perempuan?"
"Anak kecil, bu."
Bima membawa kopinya ke atas menuju kamarnya. Tubuhnya begitu gerah dan lengket. Ia ingin segera mengguyur tubuhnya dengan air dingin.
"Maaf, pak. Kamar tamu yang mau disiapin kamar yang di bawah atau di atas?"
"Yang bawah aja, Bu."
"Baik, pak."
Sesaat ibu Sri berpikir siapa tamu Bima yang akan datang dan menginap dirumahnya. Selama ini hanya kedua orangtua Bima yang datang untuk berkunjung hingga menginap. Jika pun ada teman Bima yang datang, tidak akan sampai menginap selama ini.
Anak kecil? Sekecil apa anak itu? Ya sudahlah, nanti juga bakalan ketemu kalau sudah datang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments