Teman Sekolah

Hari semakin gelap tapi Emi tak kunjung pulang. Berpikir bahwa Emi baik-baik saja bersama Bima membuat bunda Mila tidak terlalu mencemaskannya. Bunda Mila yakin jika mungkin keduanya sedang dijalan menuju rumah. Berbeda dengan bundanya, Kevin dan Justin justru bolak-balik menghubungi Emi namun ponselnya tidak aktif. Kedua pemuda itu khawatir jika Emi ditinggalkan Bima dipinggir jalan dan tidak mengantarkannya pulang.

"Halo kak, Bim?"

Khawatir akan Emi yang tak kunjung tiba di rumah akhirnya Justin menghubungi Bima karena desakan Kevin.

"Iya, ada apa?" sahut Bima dari seberang telepon.

Suara televisi di ruang tengah rumah Bima kedengaran melalui sambungan telepon. Bima sedang menikmati secangkir kopi sambil menyaksikan acara berita di televisi.

"Emi masih dengan kak Bima?"

"Memangnya kenapa?" tanya Bima balik.

"Bukan apa-apa kak, Emi belum nyampe rumah sampai sekarang. Khawatir aja siapa tahu kak Bima tinggalin dia dipinggir jalan seperti sebelumnya. Hehehe..." gelak Justin diikuti tawa pecah Kevin yang duduk disampingnya.

Manik Bima langsung tertuju pada jam di dinding yang sudah hampir menuju pukul tujuh malam. Sudah seharusnya Emi berada di rumah.

"Iya, sebentar lagi dia akan pulang," ucap Bima asal.

"Oke, kak."

Bima melemparkan ponselnya ke atas sofa dan kembali pada acara televisi di depannya.

Lima menit berlalu, Bima menghela nafas dan meraih ponselnya. Untuk pertamakalinya Bima menghubungi ponsel Emi setelah kurang lebih empat tahun.

"Ck!

Bima berdecak karena ponsel Emi tidak aktif. Hanya memakai pakaian rumah Bima menuju garasi mobil. Jujur kalau bukan karena hari sudah malam, Bima tidak akan melakukan hal itu. Bima mencari keberadaan Emi di tempat ia meninggalkannya sore tadi.

Tiba di tempat penjual sate, Bima mengamati sekitar dari dalam mobilnya.

"Maaf, pak. Tadi sore ada anak perempuan yang makan sate disini?" tanya Bima melalui jendela mobil.

"Anak perempuan? Ya banyak, mas."

Bima berkacak pinggang mendengar jawaban si penjual sate. Tentunya ada banyak pembeli anak perempuan, bukan hanya Emi saja."

"Anak SMA, tingginya sekitar sepundak saya. Ada nggak, pak?"

"Mas, saya mana tahu dan nggak nanya yang beli sate saya masih sekolah atau nggak, sekolahnya apa dan dimana. Saya jual sate bukan tukang sensus, mas."

Bima meninggalkan penjual sate merasa tidak ada gunanya bertanya pada pria berlogat Madura tersebut. Bima mengetuk-ngetuk setir mobil menggunakan ujung telunjuk, ia sama sekali tidak tahu kemana gadis itu pergi.

Berpikir jika Emi sudah sampai di rumah, Bima menghubung Justin.

"Kenapa, kak?" tanya Justin usai mengusap tanda hijau di ponselnya.

"Kalian sedang apa?"

"Nggak ngapa-ngapain, kak. Cuman nonton aja sambil nunggu Emi pulang."

Kevin mengambil alih ponsel Justin, bukannya bertanya perihal Emi yang belum pulang Kevin justru menitip untuk dibelikan martabak. Bima menyanggupinya dan memutus sambungan telepon tanpa bertanya lebih lanjut, ia tahu Emi masih ada diluar.

Seketika Bima teringat sesuatu dan mengeluarkan kepalanya melalui jendela mobil. Bima kembali bertanya pada penjual sate.

"Rambutnya panjang, pak. Sepinggang dan digerai. Ingat nggak, pak?"

"Rambut panjang?" sesaat penjual sate berpikir. "Oh... Dari tadi kek, kalau itu ada. Tadi dia makan sate disini bareng temannya."

"Teman?"

"Iya, tapi nggak tahu juga. Saya kan nggak nanya. Bisa teman atau mungkin pacarnya kali."

Pacar?

"Temannya cewek atau cowok, pak?"

"Ya cowok dong, mas. Habis dari sini mereka langsung pergi dan jangan tanya saya mereka pergi kemana karena saya nggak tahu, mas. Udah, saya lagi banyak pelanggan, mas. Situ juga nanya doang tanpa beli," cibir penjual sate.

"Makasih, pak."

"Em," mengangkat telapak tangannya pada Bima. "Beli sebungkus kek, ini cuman nanya doang, percuma punya mobil mahal tapi pelit," gerutu penjual sate.

Bima menjalankan mobilnya perlahan, melihat ke kanan dan kiri siapa tahu menjumpai Emi di jalanan. Bima menyusuri jalan menuju rumah keluarga Suntama sebanyak dua kali namun tak juga melihat keberadaan Emi.

Mobil Bima berhenti sebelum mendekati rumah keluarga Suntama. Bima mencoba berpikir kemana kemungkinan Emi pergi hingga belum juga pulang hingga sudah hampir pukul delapan malam. Bima sama sekali tidak tahu apapun tentang gadis itu, tepatnya ia tidak ingin tahu selama ini.

Bima akan menyalakan kembali mobil namun ia urungkan saat sebuah sepeda motor melewati mobilnya. Tak jauh dari posisi Bima, motor itu berhenti di luar pagar rumah Suntama.

Emi turun dari atas motor dengan wajah tertawa. Seorang pemuda seusia Emi ikut tertawa dan mengacak-acak rambut panjang Emi. Tak lama pemuda itu pergi dan Emi masuk ke dalam rumah.

"Selamat malam???"

Dari pintu depan suara menyapa Emi memenuhi rumah. Ia berlari dan menjatuhkan tubuhnya di atas sofa dimana Justin dan Kevin tengah bersantai.

"Martabaknya mana?" tagih Kevin langsung.

"Martabak apaan?"

"Lah, tadikan aku nitip martabak ke kak Bima buat kamu bawa pulang. Jangan bilang kalau nggak ada yang jualan martabak."

"Oh... Itu, ada tapi lupa aku bawa. Martabaknya ada di mobil om Bima," jawab Emi mengarang dengan entengnya.

"Terus kak Bima dimana?" timpal Justin duduk di samping Emi.

"Langsung pulang habis nganterin aku. Ya udah, kak. Aku ke kamar dulu, capek dan bau keringat. Aku mau mandi dulu."

Emi langsung menuju kamarnya tanpa memberitahu Justin dan Kevin kalau sebenarnya dia ditinggal Bima dijalan dan bukan diantar pulang juga oleh Bima. Emi tidak ingin mereka tahu dan menjadi bahan ledekan kedua pemuda itu.

Berasal dari panti asuhan yang sama dan di adopsi oleh orang yang sama membuat persaudaraan ketiganya sangat dekat meski terkadang pertengkaran-pertengakaran kecil terjadi. Tidak memiliki hubungan darah bukan berarti rasa sayang dan kekeluargaan tidak mereka rasakan satu sama lain. Justru mereka saling menyayangi dan menjaga dengan cara mereka masing-masing.

"Apa kau yakin dia bersama kak Bima sampai semalam ini?" tanya Kevin pada Justin. "Kau tahukan kak Bima seperti apa padanya selama ini, cuek dan masa bodoh. Kalau bukan karena ada bunda mana mungkin kak Bima mau nganterin si Emi, iyakan?"

Justin mengangkat kedua bahunya. Emi pulang dengan selamat sudah cukup baginya. Rasa khawatirnya hilang saat mendengar suara Emi menyapa tadi, apalagi adiknya itu pulang dengan wajah ceria.

"Aku juga ngantuk, aku mau tidur."

Kevin meninggalkan Justin yang masih asik menonton televisi. Sebelum ke kamarnya Kevin terlebih dahulu menuju kamar Emi yang ada disebelah kamarnya.

Tok... Tok... Tok...

"Emi, buka pintunya."

"Enggak, aku mau mandi," sahut Emi dari dalam kamarnya.

"Bentar doang, mi."

"Enggak mau."

"Woi...! Aku bilang bentar, ayo buka pintunya," desak Kevin.

Klek!

"Apaan sih, kak. Nggak capek apa teriakin aku tiap hari? Budeg enggak, gendang telinga pecah, iya."

Emi mengeluarkan kepalanya melalui celah pintu yang dibuatnya. Ia tidak memberi Kevin masuk ke kamarnya. Emi benar-benar capek, ingin mandi dan langsung istirahat. Ia tidak ingin meladeni Kevin yang dia tahu akan menghabiskan waktu dan tenaga.

"Apa?" tanya Emi galak.

"Ih, galak amat jadi cewek. Ati-ati loh, nanti nggak ada cowok yang suka baru tahu rasa."

"Udah? Kak Kevin cuman mau ngomong itu ke aku? Kalau gitu aku tutup pintunya sekarang!"

Dari tempatnya menonton televisi Justin bertepuk tiga kali dan memberi kode agar Emi dan Kevin jangan ngomong keras-keras karena ada bunda Mila yang lagi istirahat di kamarnya.

"Gara-gara kak Kevin," Emi memelankan suaranya. "Kalau bunda terganggu dan bangun gimana?" cecar Emi dengan wajah kesalnya pada Kevin.

"Idem. Kalimat yang sama juga untukmu."

"Is, emang apaan sih, kak?"

"Kamu darimana pulang sampai malam begini?"

"Aku kan sama om-"

"Nggak usah bohong deh, pasti ditinggal lagi kan? Ayo ngaku?"

"Wah... Aku yakin nih kalau kak Kevin itu keturunan dukun," tak menyangka jika Kevin tahu yang sebenarnya.

"Makanya jangan bohong. Ayo sekarang kasih tahu darimana aja?"

"Nggak dari mana-mana. Habis ditinggal om Bima aku makan sate karena lapar," jawab Emi.

"Terus?"

"Terus... Cuman jalan-jalan dan pulang kerumah. Emang mau ngapain lagi?"

"Pulangnya gimana?"

"Diantar teman sekolah. Pertanyaannya masih banyak lagi nggak? Kalau iya lanjut besok aja deh," sungut Emi.

"Bian?"

"Iya. Udah ya, kak. Aku bau asem mau mandi. Bye!"

Emi menarik kepala dan menutup pintu kamarnya.

Terpopuler

Comments

Isabela Devi

Isabela Devi

hati hati jgn sampai mama Mila kecewa lho emi

2024-05-14

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!