Senin pagi, hari yang mungkin tak disukai banyak orang karena aktivitas akan kembali dimulai. Emi bersiap ke sekolah seperti hari-hari biasanya. Dia sudah menyetel alarm di ponselnya karena tahu tidak akan ada yang membangunkannya. Jika dulu ada Kevin yang akan meneriaki namanya sambil menggedor-gedor pintu kamarnya untuk menyuruhnya bangun.
"Pagi om Bima?" sapa Emi mengulas senyum meski ia tahu tidak akan di respon Bima.
Emi sengaja menarik kursi di sebelah Bima dan duduk di sana. Isi kepalanya saat ini bagaimana ia bisa dekat dengan pria yang selalu mengabaikannya itu.
Menggunakan tangan kirinya, Emi mengambil selembar roti tawar. Meski sedikit kesulitan namun Emi berhasil membuka tutup selai cokelat kesukaannya. Penutup wadah selai ditangan Emi terjatuh di dekat sepatu Bima. Tidak ada tanda jika Bima akan mengambilnya. Emi menunduk dan meraih benda itu dengan membungkuk dari kursinya.
Tok!
"Aw! Sakit."
Kepala Emi terantuk ke bagian bawah meja saat akan mengangkat kepalanya. Emi meletakkan penutup selai dan mengelus-elus kepalanya yang terantuk.
"Pindah!"
Emi tidak mengindahkan perintah Bima yang menyuruhnya pindah ke kursi lain. Ia memilih mengoles rotinya dengan selai. Tangan kanan Emi yang masih terasa sakit diletakkannya di atas pangkuannya.
Posisi gelas yang sedikit jauh membuat Emi berdiri untuk menjangkaunya. Emi sedikit membungkuk, condong ke sebelah Bima hingga rambutnya mengenai tangan Bima. Dengan posisi seperti itu Bima bisa mencium aroma wangi rambut Emi.
Bukan Emi tapi justru Bima yang pindah tempat duduk. Emi melirik roti dan teh milik Bima yang hampir habis. Seperti sedang kelaparan Emi langsung melahap habis roti di tangannya dan meneguk segelas air putih. Ia mengolesi kembali selembar roti dan berlari keluar sebelum Bima berdiri.
"Hah... Aku memelihara anak marmut di rumah ini."
Bima menatap Emi yang berlari keluar.
Hari ini Bima berangkat lebih awal ke kantor karena ada rapat penting. Ia mengitari mobilnya dan terkejut saat membuka pintunya. Emi sudah ada di dalam mobil, duduk manis sambil mengunyah roti.
"Keluar! Untuk hari ini naik taksi atau yang lainnya. Mulai besok pak Eko akan mengantarmu ke sekolah dan juga menjemput saat pulang sekolah."
"Aku nebeng mobilnya om Bima aja. Ayo, om. Ayo, nanti aku telat, hari ini ada upacara bendera."
Bima mengitari mobilnya lagi dan membuka pintu mobil di sebelah Emi.
"Ayo turun. Aku harus pergi kerja sekarang."
"Enggak. Aku naik mobil om Bima aja hari ini. Sekolah dan kantor om Bima juga searah."
Tak sabar Bima menarik kedua pergelangan tangan Emi untuk mengeluarkannya. Wajah Emi berubah drastis karena menahan sakit dipergelangan tangannya. Emi tidak memberitahu karena dia yakin tidak akan ada gunanya untuk Bima.
"Kau hanya tinggal di sini dan aku tidak punya kewajiban mengantarmu ke sekolah. Kita terhubung hanya karena ibu Mila, kalau bukan karena beliau aku tidak mengizinkan orang asing tinggal di rumahku."
Bima menarik paksa Emi hingga keluar dari mobil. Akan tetapi bukan bukan Emi namanya kalau mudah menyerah. Saat Bima berjalan menuju kursi kemudi, Emi dengan sigap masuk kembali dan memasang seat-belt.
"Ck, kau-"
"Udah hampir telat buat baris, om. Ayo buruan."
Bima berdecak kesal, ia mengemudikan mobilnya cukup cepat karena sudah hampir pukul tujuh lima belas pagi. Bima akhirnya mengantar Emi ke sekolah untuk pertama kalinya.
"Om Bima kenapa sih nggak suka samaku? Padahal aku itu suka sama, om."
"Aku sudah pernah bilang jangan mengatakan itu lagi padaku."
"Om Bima itu ganteng dan akan lebih ganteng lagi kalau nggak cuekin aku. Om Bima nggak suka sama aku memangnya?"
Chittt...
Bima mendadak menginjak rem, roti yang masih ada ditangan Emi mengenai seragam sekolahnya. Selai coklat menempel di bagian kancing seragamnya.
"Seragamku jadi kotor, om. Ayo tanggung jawab!" menunjuk seragamnya yang kotor akibat selai cokelat yang menempel.
Satu-Dua-Tiga.
Bima menarik tiga lembar tisu dan melemparkannya ke atas rok Emi.
"Bersihkan pakai itu," ucap Bima dan kembali melajukan mobilnya.
Bima menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang sekolah Emi dan menyuruhnya untuk turun.
"Makasih om Bima ganteng," memberikan senyum terbaiknya pada Bima.
Seseorang menelpon Bima saat Emi sudah turun dari mobil. Sambil bicara lewat telepon, Bima memperhatikan teman Emi yang bernama Bian menghampiri Emi.
"Itu baju kenapa, mi?"
"Kena selai cokelat, Bi. Aku coba bersihin pakai tisu tapi malah makin nyebar joroknya," sungut Emi."
Bian melepas jaketnya dan memakaikannya pada Emi.
"Pakai ini aja," menarik zipper jaket hingga bagian dada Emi.
"Tapi kebesaran, Bian?"
"Justru jadi lucu, mi. Hahaha..."
Bian menarik ikat rambut Emi dan mengacak-acak rambut Emi hingga menyerupai salah satu pesulap horor wanita yang identik dengan rambut panjangnya sambil menggerak-gerakkan leher.
Bima terus memperhatikan keduanya hingga akhirnya tak terlihat lagi.
"Pulang sekolah nanti kemana, mi?"
"Nggak kemana-mana, tanganku sakit jadi jangan ajakin jalan kemanapun."
"Kok bisa, kenapa nggak kasih tahu aku?"
"Lah, perasaan barusan aku udah kasih tahu. Baru hitungan detik tapi udah amnesia."
"Maksud aku kenapa nggak langsung kasih tahu waktu tangannya sakit. Terus udah diobati?"
"Udah di urut langsung semalam. Sakit, Bi."
"Bagus kalau gitu, tahan aja nanti pasti bakal sembuh. Jangan lasak juga tangannya."
Emi manyun, ia terharu pada setiap perhatian Bian. Saat bersama Bian, dia dapat menjadi dirinya sendiri sama seperti bersama kedua kakaknya, Kevin dan Justin.
..........
Pulang sekolah Bian mengajak Emi makan siang di salah satu cafe yang banyak dikunjungi anak sekolah dan kuliahan. Mereka akan makan siang sambil mengerjakan tugas sekolah dengan Febi dan Yoga yang menyusul mereka dari belakang.
Bima yang juga makan siang di sana dan baru keluar dari toilet menangkap keberadaan Emi dan tiga teman lainnya. Bima yang sebenarnya sudah selesai makan dan akan kembali ke kantor masih bertahan di sana untuk memastikan sesuatu.
Benar saja, sesuai perkiraan Bima, Emi menyerahkan kartu debitnya ke meja kasir untuk membayar pesanan mereka.
Usai meyakinkan dirinya, Bima meninggalkan kafe sambil memikirkan sesuatu.
Bian mengantar Emi pulang ke rumah Bima. Saat di kafe tadi Emi menceritakan jika saat ini dan untuk sementara dia akan di rumah Bima.
"Thank you, Bian."
"Aku nggak di suruh mampir?"
"Lain kali aja, ini bukan rumah bunda. Nanti aku minta izin om Bima dulu, oke?"
"Oke deh. Masuk sana, hati-hati jangan lasak itu tangan," ingatkan Bian.
"Iya. Hati-hati juga bawa motornya, jangan ngebut-ngebut."
..........
Tiba di rumah, Bima menjatuhkan tubuhnya di sofa. Ibu Sri sudah paham dan menyuguhkan secangkir kopi. Wajah Bima terlihat lelah sekali, ia melepas jas dan dasinya. Dua kancing kemejanya ia buka dan mengacak rambutnya.
"Minum kopinya, pak."
"Makasih. Tadi Emi pulang jam berapa?"
"Hampir jam tiga kalau nggak salah, pak."
"Dia pulang naik apa?"
"Diantar sama teman sekolahnya naik motor. Pacarnya mungkin, pak."
"Kalau saya nggak ada di rumah jangan kasih orang lain masuk tanpa seizin saya. Siapapun orangnya."
"Iya, pak. Saya kebelakang dulu mau lanjut nyetrika."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments