Barra merasa lelah setelah seharian melakukan kerjaannya di kantor. Dirinya pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya karena sudah tidak ada lagi kerjaannya yang harus dikerjakan.
Barra keluar dari ruang kerja menuju Lift. Dan sekarang dirinya sudah berada di depan pintu Lift. Lift terbuka, menampilkan beberapa orang keluar. Barra pun masuk ke dalam Lift tersebut. Pintu Lift tertutup, Barra lalu menekankan angka 1.
Tibalah Barra di lantai bawah. Dan segera Barra melangkahkan kakinya menuju parkiran. Setelah tiba diparkiran, Barra langsung masuk ke dalam mobilnya.
Barra melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Beberapa jam di perjalanan, akhirnya Barra tiba di depan rumahnya. Barra sekarang sudah sampai di depan gerbang rumahnya.
TIT..
TIT..
Bunyi klason mobil Barra lalu seseorang datang membukakan pintu gerbang untuknya. Mobil Barra telah terparkir rapi di depan halaman rumahnya.
Kini Barra sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Kemungkinan tangannya menekan tombol yang ada dihadapannya.
TING..
TONG..
Seseorang datang membukakan pintu untuknya, dia adalah Dira pelayan di rumahnya.
"Tuan muda Barra sudah pulang. Apa mau bibi masakan makan siang, tuan muda?" tanya bibi Dira.
"Boleh Bi. Kebetulan aku sudah lapar," jawab Barra
"Baiklah tuan muda. Tunggu sebentar ya, tuan muda," Bibi Dira berucap lalu melangkahkan kakinya ke dapur.
Barra berlalu pergi melangkahkan kakinya menuju kamar favorit nya. Langkahnya terhenti saat telinganya mendengar seseorang menyapanya.
"Kau sudah pulang, Bar!" seru Chello.
"Eeh, kak Chello. Iya, kak. Semua pekerjaanku di kantor sudah selesai. Kakak juga. Tumben sudah di rumah. Biasanya kakak pulangnya malam," ucap Barra.
"Iya. Sama sepertimu. Pekerjaan kakak semuanya telah selesai dikantor. Ya, sudah. Kau bersihkan badanmu lalu kita makan siang bersama. Kakak juga sudah lapar," ucap Chello.
"Eemm." Barra berdehem lalu berlalu pergi meninggalkan Chello menuju kamarnya.
^^^
Sekarang Barra Dan Chello sudah berada di meja makan untuk melakukan kegiatan makan siang mereka.
"Oh ya, Bar! Bagaimana hubunganmu dengan Naufal? Kakak dengar dari Papa, kau dan yang lainnya bertemu dengan Naufal di rumah sakit. Apa itu benar?" tanya Chello.
"Itu benar, kak." Barra menjawab dengan wajah sedih.
"Lalu kenapa kau sedih? Seharusnya kau bahagia bisa bertemu dengan Naufal lagi?" ucap Chello.
"Saat pertemuan itu. Naufal menolak kami, kak." lirih Barra.
"Kau harus sabar, Bar. Kakak yakin suatu saat nanti hati Naufal akan luluh dan akan menerima kalian kembali. Asal kau dan yang lainnya tetap terus berjuang untuk mendapatkan hatinya," ucap Chello.
"Pasti, kak." Barra mengangguk.
***
Dhafin berada di ruang tengah dengan televisi yang menyala lalu kakak perempuannya datang dari kamarnya dan duduk sofa tersebut
"Dhafin," panggil Jovita, sang kakak.
"Iya, kak. Ada apa?"
"Kemarin kakak bertemu dengan Naufal!"
Dhafin menatap kakak perempuannya dengan tatapan penasaran. "Kakak bertemu Naufal dimana?"
"Di Jakarta. Saat kakak pulang dari butik."
"Apa? Kakak yakin kalau yang kakak lihat itu Naufal. Setahuku Naufal itu ada di Bandung!"
"Kakak sangat yakin Dhafin. Mata kakak ini jelas dan ingatan kakak dengan adikmu itu masih bagus. Kakak benar-benar melihat Naufal ada di Jakarta. Saat itu Naufal baru keluar dari sebuah perusahaan. Kalau tidak salah nama perusahaan nya adalah NFL'Corp."
Terukir senyuman di bibir Dhafin. "Ternyata kau ada di Jakarta kelinci nakal." batin Dhafin.
Melihat adiknya tersenyum, Jovita ikut bahagia. Dirinya tahu arti dari senyuman sang adik itu.
"Sekarang Naufal ada di Jakarta. Kau dan yang lainnya tidak perlu jauh-jauh pergi ke Bandung untuk menemuinya. Perbaiki hubunganmu dengan Naufal. Rebut hatinya dan bawa dia dalam pelukanmu. Jangan biarkan hati adikmu itu kotor dengan membencimu dan yang lainnya selamanya."
"Baik, kak. Aku dan yang lainnya pasti akan selalu berusaha merebut hati sikelinci nakal itu. Kami akan membawanya kembali pada kami," ucap Dhafin semangat
Jovita tersenyum melihat semangat adiknya. "Semoga berhasil."
"Kak."
"Ya. Ada apa?"
"Bagaimana kalau kami gagal? Bagaimana kalau Naufal marah pada kami? Saat pertemuan pertama kami di rumah sakit waktu itu, Naufal sangat-sangat menolak kami. Naufal begitu marah dan kecewa pada kami, kak!"
"Heii. Kenapa jadi tidak semangat seperti ini sih. Pertemuan kalian kemarin itu tanpa sengaja. Dan saat itu kalian belum mempersiapkan apapun untuk menyampaikan suara hati kalian pada Naufal. Dan kakak yakin saat kalian bertemu dengannya nanti. Lakukan hal-hal yang bisa membuat siluman kelinci itu tersenyum. Jangan sering-sering mengatakan kata 'maafkan kakak'. Anggap saja tidak ada masalah antara kalian."
"Baiklah, kak. Aku akan lakukan."
***
Davian sedang berada disebuah taman. Dirinya sedang memikirkan Naufal. Naufal yang membencinya dan yang lainnya.
"Wooi, Davian!" teriak Reza yang sengaja buat Davian terkejut.
"Reza. Bisa tidak sekali saja, kau tidak mengagetkan ku." Jimin benar-benar kesal akan sifat Reza.
Reza menggeleng-geleng kan kepalanya tanpa memperdulikan kekesalan Davian padanya dan membuat Davian makin kesal.
PLETAK..
Jitakan Davian tepat di kening Reza yang membuat empunya meringis.
"Aww." Reza mengelus-elus keningnya.
"Yak! Kenapa kau malah menjitak kepalaku, bantet?" tanya Reza sembari menghina Davian.
Davian tak mau kalah lalu menatap balik Reza. "Apa? Mau lagi?" tanya Davian kesal lalu mengalihkan pandangannya ke depan.
"Aiiissshhh." gerutu Reza.
"Oh Iya. Ada hal apa kau mengajak ku ketemuan disini Davian?" tanya Reza.
"Aku mau mengajakmu ke Bandung untuk menemui Naufal. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama, Reza. Aku benar-benar sangat merindukan sikelinci nakal itu," ucap Davian.
"Apa hanya kita berdua saja?" tanya Reza.
"Niat awalku ya. Hanya kita berdua," jawab Davian.
Hening...
Hening...
Hanya suara suara angin yang terdengar.
"Kalau kau tidak mau. Aku bisa pergi sendiri!" seru Davian.
"Sebenarnya aku ingin sekali ke Bandung, Davian! Aku ingin bertemu dengan Naufal. Tapi apa Naufal akan menerima kita? Ketika kita bertemu dengannya di rumah sakit saat itu Naufal sangat marah dan menolak kita," ucap Reza lesu.
"Aku juga sama sepertimu, Za! Bagaimana reaksi Naufal saat melihat kita," ucap Davian yang matanya sudah berkaca-kaca. "Tapi kita tidak bisa seperti ini terus, Za. Kita harus kuat, kita harus semangat dan tetap terus berusaha memperbaiki hubungan kita bersama Naufal. Kita sudah kehilangan Naufal sekali. Apa kau mau kehilangannya untuk yang kedua kalinya? Naufal sudah ada di depan mata kita. Tinggal kita meraihnya, merangkulnya dan membawanya dalam pelukan kita, kakak-kakaknya."
"Kita tidak sendiri. Ada yang lainnya. Kita berenam akan bersama-sama berusaha memperbaiki hubungan persahabatan kita ini. Tujuh tahun kita bersama, tinggal bersama sudah seperti saudara. Kita harus bawa pulang adik kesayangan kita lagi," ucap Davian yang sudah menangis.
"Kau benar sekali, Davian. Mari kita bawa pulang adik kecil kita!" seru Reza. Davian mengangguk semangat.
"Mari kita pulang. Hari sudah mau gelap." Reza mengajak Davian pulang.
"Ayooo!" seru Davian.
Mereka pun melangkahkan kaki pergi meninggalkan taman tersebut. Sejenak langkah kaki Reza terhenti karena melihat sesosok orang yang sangat dia rindukan.
Davian yang melihat Reza yang tiba-tiba berhenti, juga ikutan berhenti dan menoleh ke arah Reza.
"Ada apa, Za?" tanya Davian.
"Aku melihat Naufal ada disini Davian," ucap Reza.
Davian fokus memperhatikan setiap orang-orang yang berlalu lalang. Tapi nihil, Davian tak melihat Naufal.
"Apa kau yakin tadi melihat Naufal, Za?" tanya Davian lagi.
"Aku yakin, Dav. Aku tidak salah lihat. Mataku masih sehat dan jelas," jawab Reza.
"Bukan aku tidak percaya padamu Reza. Yang kita tahu Naufal ada di Bandung. Jadi tidak mungkin Naufal ada di Jakarta."
"Ya sudah. Mungkin kau salah lihat kalk. Ayoo, kita pulang!" Davian langsung menarik lembut tangan Reza.
Reza pun pasrah dan menurut. Dan mereka melanjutkan langkah mereka menuju mobil. Justru sekarang malah Davian yang menghentikan langkahnya.
"Na-naufal!" seru Davian dengan suara pelan dan lirih yang hanya didengar oleh Reza.
Reza langsung mengalihkan pandangannya dan menoleh ke arah pandangan Davian.
"Naufal," lirih Reza. Seketika air mata Reza mengalir membasahi wajahnya.
Mereka berdiri mematung melihat adik mereka dari jauh. Hati mereka berdebar, sakit dan sedih. Ingin sekali mereka berlari lalu memeluk sang adik. Tapi lagi-lagi keberanian mereka menciut. Mereka takut. Takut akan penolakan sang adik terhadap mereka.
Sementara disisi lain, Naufal tidak menyadari sama sekali kalau ada yang sedang memperhatikan dirinya dari jauh
"Aaarrrggghhh."
Suara erangan kesakitan yang keluar dari mulutnya. "Kenapa beberapa hari ini kepalaku sering sakit?" batin Naufal.
Naufal terus berjalan menuju motor sportnya dengan menahan rasa sakit di kepalanya.
Davian dan Reza masih setia memperhatikan gerak gerik Naufal dari jauh.
Rasa sakit di kepala Naufal makin menjadi. Dan itu membuat Naufal sedikit limbung dan saat tubuh Naufal hampir jatuh, ada yang menahannya dari belakang.
"Naufal!" teriak Davian dan Reza yang segera berlari dan dengan cepat menahan tubuh Naufal yang hampir jatuh.
Naufal hanya diam diposisinya. Tidak bergeming dan tidak bersuara. Mengabaikan dua sosok manusia yang ada di sampingnya. Naufal hanya berusaha menahan rasa sakit di kepalanya yang tidak kunjung reda.
"Naufal. Kau baik-baik saja?" tanya Reza lembut sambil sesekali mengusap surai coklat miliknya.
Tidak ada jawaban dari Naufal. Hanya kebisuan yang diterima oleh seorang Reza.
"Apa kau sakit, Fal? Wajahmu pucat sekali?" tanya Davian khawatir.
Tetap sama. Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Naufal. Naufal mati-matian menahan rasa sakit di kepalanya.
Naufal hendak melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Davian Dan Reza. Baru berapa langkah, Naufal ambruk dan tak sadarkan diri.
BRUK..
"Naufal!" teriak Reza dan Davian panik.
Davian mengambil alih tubuh Naufal dan berusaha menyadarkannya dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya.
"Naufal, bangunlah," ucap Davian sambil menepuk-nepuk pelan pipi Naufal.
Reza menggenggam tangan Naufal sambil terus memanggil namanya."Naufal, kau kenapa?"
"Davian. Ayo kita bawa Naufal ke Rumah Sakit, sekarang! Aku takut Naufal kenapa-kenapa," ucap Reza yang sudah menangis.
"Ayo, Za! Angkat Naufal ke punggungku. Biar aku yang menggendongnya sampai ke mobil."
Mereka sudah berada di mobilnya Davian. Davian menjalankan mobilnya dengan sedikit ngebut. Yang ada di pikirannya sekarang adalah cepat sampai Rumah Sakit. Sedangkan Reza tak hentinya menangis melihat Naufal yang pucat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments