Gue tidak dapat menahan ringisan saat sibuk menscroll sosial media. Foto gue dan nyokap yang tidak sengaja bertemu dengan Zea kemarin tersebar luas di sana, ternyata banyak orang membicarakan kami dan gue baru tahu dari Barra. Sebenarnya banyak yang mendukung kami, tapi ternyata setelah gue scroll lebih lanjut, nggak sedikit juga yang kurang setuju dan bilang lebih setuju dengan si A atau si B.
Lah, gue mau sama si A atau si B atau bahkan si Z kan itu urusan gue. Kenapa mereka yang ribut sih? Heran banget gue sama netizen zaman sekarang semua maha benar.
"Za, lo serius beneran pdkt sama Zea?" tanya Mas Tito sambil menyerahkan tumbler gue.
Gue tidak langsung menjawab dan hanya melirik dia dengan sebelah alis terangkat. Helaan napas keluar dari mulut gue. Gue bahkan baru mau mulai, belum mulai beneran kenapa semua orang sudah berpikir demikian. Apa kabar nanti kalau gue beneran pdkt, apa mereka bakalan heboh?
"Perasaan kita sama-sama terus tapi kok bisa sampai nggak ketahuan sama gue?"
Gue menghela napas sekali lagi. "Belum, Mas," jawab gue jujur.
Kali ini giliran Mas Tito yang menaikkan alis heran. "Maksudnya belum tuh gimana?"
"Ya, gue-nya belum mulai pdkt, Mas."
"Tapi berarti itu bakalan pdkt nantinya?"
Gue mengangguk sebagai tanda jawaban. "Rencananya iya."
"Wow," respon Mas Tito spontan, ia terkekeh tak lama setelahnya, "jadi hasil perjodohan oleh fans kalian berhasil ceritanya?" godanya kemudian.
Gue tertawa. "Ya, kalau masalah berhasil atau belum, masih belum pasti, Mas. Soalnya kan gue-nya baru mau pdkt, belum tentu loh Zea-nya nanti mau sama gue."
"Mau lah," ucap Mas Tito optimis, "siapa sih yang nggak mau sama seorang Eza Al Shariq?"
Gue mengangkat kedua bahu secara bersamaan karena memang tidak tahu jawabannya.
"Enggak ada, Za, katanya lo itu paket komplit, udah ganteng, karir oke, sholeh, berasal dari keluarga terpandang lagi. Fix, suami idaman lo. Ini kalau lo-nya mau nunggu anak gue gede dulu, mau-mau aja sih gue jodohin lo sama anak gadis gue."
Seketika gue terbahak dengan candaan Mas Tito. Ada-ada aja ini manager gue, anak gadisnya bahkan belum genap lima tahun, ya kali mau dijodohin gue yang umurnya udah hampir tiga puluh tahun. Ya, meski masih beberapa tahun lagi sih.
"Serius, anjir, anak gue cakep juga kali kayak emaknya."
Gue langsung menatap Mas Tito sedikit sinis. "Masalahnya gue bukan pedofil, ya, Mas. Enak aja. Mau secakep apapun anak lo, kalau dia aja masih bocah, ya kali gue embat."
Mas Tito langsung terbahak. "Hahaha. Tapi gue setuju sih kalau lo sama Zea. Dia cakep juga, ramah, baik, cocok lah sama lo. Semoga lancar ya pdkt-nya."
"Hehe, aamiin, Mas. Bantu doa, ya."
"Beres." Ekspresi Mas Tito berubah mesem-mesem tidak jelas, "tapi nanti kalau jadi, berarti gue bisa makan cake bikinan Zea sepuasnya kan?"
"Lah, apa urusannya?" gue menggeleng tegas, "enggak ada. Enggak ikutan gue soal itu. Beda cerita, Mas, jangan lo sama-samain. Kan itu toko dia, bisnis dia pribadi jangan lo rusuhin gitu lah usaha dia. enak aja lo."
"Iya, iya, bercanda doang padahal." Mas Tito mendengus tak lama setelahnya, "lagian belum tentu juga si Zea mau sama lo," sambungnya kemudian.
Lah kok tetiba ngeselin? Gue langsung menoleh ke arah Mas Tito dengan ekspresi tidak percaya. Perasaan ini orang tadi yang muji-muji kalau nggak ada yang nggak mau sama gue. Kenapa baru berapa menit berlalu, udah berubah pendapat aja?
Melihat ekspresi tidak bersahabat gue, Mas Tito langsung terbahak. "Haha, selow aja kali ekspresi wajah lo. Berasa kek mau matahin leher gue aja, anjir. Serem lo!"
"Nggak cuma berasa pengen matahin leher lo doang, Mas, tapi pengen patahin tulang belakang lo juga," balas gue sambil memasang wajah pura-pura tidak main-main.
"Halah, gaya lo sok-sokan mau patahin tulang gue. Kayak berani aja lo."
Gue langsung menampilkan ekspresi datar gue. "Mau coba, Mas?" tawar gue kemudian.
Mas Tito menggeleng sambil meringis tipis. "Lain kali mungkin ya, Za." ia kemudian menepuk pundak gue dan berdiri, "istirahat dulu lo! Mumpung belum dipanggil buat take selanjutnya."
Gue hanya mengangguk dan mengiyakan, meski sebelumnya tadi sempat mendengus samar.
***
"Selfi, yuk!"
Gue langsung menoleh ke arah Jessi dengan ekspresi bingung. Bukan tanpa alasan, karena perempuan itu tiba-tiba mendekat lalu mengambil foto sebelum gue iyakan.
"Langsung gue post ya?" izinnya kemudian, tapi lagi-lagi tanpa perlu menunggu jawaban gue.
Tentu saja hal itu membuat gue langsung berdecak kesal. "Kan gue belum siap, kenapa lo foto dan langsung dipost sih, Jes?"
"Enggak papa, konsepnya emang gitu."
Gue langsung mendengus sambil memutar kedua bola mata. "Siapa yang bikin konsepnya?"
"Gue lah, kan gue kreatif," ucap Jessi bangga, "buruan langsung direpost!" perintahnya tak lama setelahnya.
Gue menggeleng tanda tidak setuju. "Ogah, gue kurang ganteng. Lo apus dulu, kita ulangi baru deh ntar langsung gue repost begitu lo post."
Jessi berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Astaga, si bapak ribet banget sumpah. Ya udah, ayo, foto ulang kalau gitu."
Gue mengangguk setuju lalu mulai berpose. setelah selesai, Jessi langsung memposting foto kami, gue pun langsung merepostnya sesuai janji gue tadi.
"Eh, btw, Za, soal berita yang beredar itu bener ya?"
"Yang mana?"
"Lo sama Zea. Masalahnya kan kita bentar lagi promo film dan perusahaan pengen kita keliatan deket di luar profesionalitas, gue takut salah langkah, njir. Jadi sebelum itu, gue pengen tahu kepastiannya dulu, biar ke depannya gue bisa lebih bijak dalam bersikap. Takut salah gue."
"Kita bisa nggak kalau biasa aja? Maksud gue ya, di luar kerjaan kita tetep rekan kerja biasa gitu nggak usah dibikin terkesan kayak akrab-akrab banget padahal kan biasa aja juga kan kita? Dibilang akrab kan ya, nggak terlalu akrab kayak yang dipikir orang-orang."
"Waduh, kalau itu kayaknya gue kurang bisa deh, soalnya perusahaan agensi gue pengennya kita lumayan deket demi mendongkrak popularitas film kita. Emang agensi lo enggak gini?" Ekspresi Jessi terlihat seperti orang yang baru teringat sesuatu, "ah, gue baru inget, lo kan masuk di agensi besti lo sendiri, ya. Jadi nggak kenal yang namanya ginian."
Gue meringis tipis. Enak aja. Sama aja lah. Batin gue kemudian.
"Terus gimana dong? Lo beneran ada something sama Zea?"
Gue menggeleng. "Enggak sih."
"Terus kenapa lo nggak mau kita terkesan deket banget? Lagi jaga perasaan siapa lo?"
Gue memutar otak demi mendapat jawaban yang tepat. "Nyokap," ucap gue cepat.
"Hah?" Jessi sedikit melongo, "hubungannya?"
"Soalnya nyokap gue pengen gue cepet-cepet kasih mantu buat dia, ntar kalau kita keliatan deket di luar profesionalitas, yang ada beliau ngarep sama lo. Lo paham kan maksud gue?"
Sambil meringis tipis, Jessi mengangguk paham. "Bener juga sih, gue juga nggak siap sih kalau sampe harus berurusan sama nyokap lo. Serem."
Gue menyipitkan kedua mata sedikit tersinggung. "Maksudnya gimana tuh?"
"Ya, menurut lo aja lah, Za, keluarga lo kan bukan dari keluarga sembarangan. Gue udah kebayang ribetnya keluarga lo kalau sampe nyokap lo mikir kita beneran ada something itu."
"Padahal nyokap gue baik."
"Ya itu karena lo anaknya. Kan gue bukan. Eh, gue mau nanya deh sesuatu sama lo."
"Apaan?"
"Lo kenapa sih udah enak-enak hidup berkecukupan kenapa malah milih terjun ke dunia hiburan yang keras ini?"
Seketika mulut gue tertutup rapat. Antara bingung dan malas untuk menjelaskan semuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments