Meminta Saran

Sesuai saran Vero dan Barra, gue akhirnya langsung nge-DM Zea kemarin untuk meminta maaf. Tapi sampai hari ini belum dapat respon apapun juga dari perempuan itu. Padahal sudah lebih tiga hari sejak gue mengirim direct message kepadanya, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda direspon. Padahal gue udah follow akun dia juga, dan kali ini beberapa fans gue belum menyadarinya. Tumben sekali mereka tidak langsung sadar, biasanya juga udah paling gercep kalau soal ginian.

"Kenapa sih gue perhatiin muka lo suntuk banget dua harian ini? Lagi ada masalah lo?" tanya Mas Tito heran. Tangannya terulur sambil menyerahkan nasi kotak jatah makan siang.

Gue menerimanya sambil mengucap terima kasih. "Enggak, Mas, nggak ada apa-apa kok. Lagi capek aja mungkin."

Kening Mas Tito mengkerut heran. "Sama?" ia mencoba mengingat sesuatu, mungkin kegiatan gue beberapa hari terakhir yang coba dia ingat. Tapi kalau boleh jujur memang kerjaan gue nggak begitu banyak sih beberapa hari terakhir. Bahkan kemarin gue dapet jadwal libur sehari.

"Nasib," cengir gue.

"Emang kenapa sama nasib lo? Enggak apes deh perasaan, lo lahir dari keluarga berada, bahkan sekarang karir lo lagi bagus-bagusnya, enggak ada skandal aneh-aneh juga kan?"

Sekarang gue bingung mau jawab apa. Yang gue lakukan hanya garuk-garuk kepala setelahnya sambil menyengir malu-malu.

"Enggak boleh gitu lo, Za, harus banyak-banyak bersyukur. Bahkan enggak semua orang bisa seberuntung lo, loh," nasehatinya kemudian.

"Iya, Mas."

"Serius gue nanya, sebenernya ada apa?" tanyanya kemudian, "enggak biasanya lo begini soalnya. Kenapa? Lagi berantem sama bokap lo ya?"

"Lo kayak nggak tahu hubungan gue sama bokap gue aja, Mas, emang dasar hubungan gue sama beliau kan nggak begitu bagus."

Udah menjadi rahasia umum kalau hubungan kami memang tidak begitu baik. Bokap gue tipe yang agak keras, apalagi setelah keputusan gue memilih terjun ke dunia entertainment, makin keras lah sikap beliau terhadap gue. Dan bisa dibilang sifat kami lumayan mirip, jadi makin susah akur lah kami.

"Ya siapa tahu gegara apa gitu jadi agak berselisih paham, jadi bikin lo kepikiran."

"Enggak ada, Mas, biasa aja."

Mas Tito mengangguk paham sambil menepuk pundak gue. "Ya udah, kalau gitu gue tinggal dulu, lo buruan makan dulu. Gue mau nelfon anak gue bentar."

Kali ini giliran gue yang mengangguk sambil mengacungkan jempol dan mempersilahkan manager gue pergi. Baru setelahnya gue membuka nasi kotak jatah syuting. Sejujurnya gue agak bosen sih makan ginian, cuma mau gimana lagi. Ya enggak mungkin protes juga sih gue, masih syukur bisa makan, daripada nggak makan kan?

***

Seminggu sudah lewat sejak gue memfollow akun Zea dan nge-DM dia, tapi belum dapet kabar apapun. Gue masih dicuekin dan padahal dia sangat aktif di sosial media.

"Len, gue mau nanya."

Gue menghampiri Helen saat kami sedang break syuting, dia salah satu lawan main gue di film yang sedang kami mainkan. Dia yang tadinya sedang asik men-scroll akun sosmed langsung menoleh sambil menegakkan tubuhnya.

"Mau nanya apaan lo?"

Tidak langsung mengutarakan pertanyaan, gue memilih duduk di sebelahnya sambil mencomot potongan buah yang selalu ia bawa ke lokasi.

"Lo biasanya kalau di-DM cowok tapi milih nggak buka karena apa?"

"Kenapa lo DM cewek tapi nggak dibuka? Lo DM siapa emang?" tanya Helen kepo. Ekspresinya terlihat memicing curiga.

"Bukan gue, nanya doang nih gue. Semisal aja."

Helen langsung mendengus tidak percaya. "Halah, lagak lo, lo pikir nggak keliatan apa."

"Emang keliatan?"

"Nah, iya, kan, bener?" ledek Helen sambil tertawa.

"Apaan sih? Jawab aja, kenapa?"

"Ya, macem-macem sih alasannya. Pertama karena DM dia ketumpuk sama DM orang lain, bukan bermaksud sombong, tapi kan cewek pasti banyak yang DM kali, Za, belum kalau dia cantik dan followernya banyak, ya auto kelelep DM lo."

Gue manggut-manggut paham. Benar juga sih, masuk akal. Zea kan selebgram dengan follower yang lumayan, apalagi dia owner Albirru cake and bakery, cantik pula, pasti yang nge-DM banyak, otomatis DM gue mungkin keburu kelelep sama sama DM lain sebelum dinotice.

"Terus solusinya gimana?"

Bukannya menjawab, Helen malah menutup bibirnya rapat-rapat sambil menahan diri agar tidak tertawa terbahak-bahak.

"Lo boleh ketawa asal abis itu langsung kasih solusi," sahut gue agak kesal.

Tanpa menunggu waktu lama, Helen langsung tertawa terbahak-bahak setelahnya. "Ternyata lo gemes juga ya kalau begini, ya ampun, berarti status jomblo yang lo koar-koarin itu bener ya?"

"Ya menurut lo?" tanya gue sinis.

"Kayaknya sih gitu."

Gue berdecak makin kesal, karena Helen masih muter-muter dan bukannya langsung kasih solusi.

"Buruan dijawab tadi, Len, gue harus gimana?" kemudian gue tersadar akan sesuatu, "eh, maksud gue nanti kira-kira kalau gue begitu, gue harus gimana?"

"Caper."

"Heh, kok malah ngatain? Gue nanya serius ini."

Di luar dugaan, Helen langsung mengangguk cepat. "Ini gue juga lagi jawab serius. Jawabannya emang caper. Lo perlu caper ke itu cowok biar dinotice."

Gue menatap Helen ragu-ragu. "Lo yakin ide lo nggak ngaco?" ekspresi gue terlihat tidak yakin.

"Ya enggak lah, serius. Lo nggak tahu ada istilah yang bilang begini 'caper itu harus dinotice itu bonus'."

"Terus kalau gue udah keseringan caper tapi nggak dinotice juga, gimana?"

"Ya, berarti lo kurang hoki. Eh, tapi mengingat popularitas lo yang lagi sebagus ini, kayaknya nggak mungkin deh kalau lo nggak bakal dinotice. Gini aja, kan kita udah kenal lumayan lama, gimana kalau lo kasih tahu siapa orangnya. Kali aja gue bisa bantu."

Ekspresi gue kembali meragu saat menatap Helen. Gue kemudian menggeleng tidak yakin. "Kayaknya enggak deh."

"Kenapa? Anjir, gue nggak seember itu kali. Rahasia lo aman sama gue, Za. Ayo, coba spill!"

Gue tetep menggeleng tegas lalu berdiri. "Enggak."

"Kenapa? Enggak percaya sama gue, lo?"

Gue mengangguk untuk mengiyakan. Helen langsung mendengus kesal. Gue hanya terkekeh lalu berdiri.

"Udah, ah, cabut gue."

"Mau cabut ke mana lo? Syutingnya belum kelar."

"Toilet. Kenapa mau ikut lo?"

"Oh, kirain mau cabut ke mana lo. Hehe. Ya udah, sono pergi lo! Jangan lama-lama, abis ini giliran kita."

Gue tidak menjawab dan hanya mengacungkan jempol gue. Kaki gue terus melangkah meninggalkan Helen menuju kamar mandi. Pikiran gue melayang, memikirkan saran Helen barusan. Masa iya gue perlu caper ke Zea?

Eh, kayaknya nggak perlu deh. Kan yang ngarep fans gue, kenapa gue jadi ikutan ribet mikirin ini? Aneh banget deh gue. Oke, oke, gue bisa lupain semua ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!