Nongkrong Bareng

__________________________________________________________________________________________________________________

Akhirnya setelah minggu lalu gagal ketemu teman-teman gue, hari ini gue bisa ketemu wajah-wajah kampret ini lagi. Entah sudah berapa lama kami tidak berkumpul karena kesibukan masing-masing. Gue dengan kesibukan gue, Barra dengan kantor agensinya dan Vero dengan radionya. Vero bukan penyiar radio, melainkan produser radio, meski demikian dia followernya lumayan. Maklum cowok ganteng, dan kebetulan dia aktif banget promoin acara radionya, alhasil ya followernya banyak lah. Coba kalau muka dia pas-pasan, ya followernya pasti... ya nggak tahu juga sih.

Barra juga nggak kalah ganteng dari Vero, apalagi ditambah isi dompetnya yang seolah nggak ada abisnya itu? Beuh, makin nambah kegantengannya. Selain jadi sahabat gue sejak SMA, Barra ini bisa dibilang bos gue. Karena gue kerja di bawah naungan agensi dia.

"Akhirnya setelah sekian purnama gue ketemu kalian juga. Kalian kangen gue nggak?"

"Enggak," jawab mereka kompak. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel masing-masing, mereka langsung ber-high five-ria.

Gue langsung merengut dan mengumpat kesal. "****** lo berdua."

Gue kemudian mengambil tempat duduk di antara keduanya. Dengan tidak sopan gue langsung mengambil minuman yang entah punya siapa, gue nggak peduli dan langsung meminumnya.

"Btw, ini pawang bos gue lagi ke toilet apa gimana? Kok nggak keliatan?"

Gue meletakkan gelas kosong dan celingukan mencari keberadaan Emma, tunangan Barra.

Vero langsung menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah Barra, yang seolah males jawab pertanyaan gue barusan.

"Beritanya belum nyebar, Bar?"

Gue menaikkan alis tak paham sambil mengangkat sebelah tangan untuk memanggil pelayan. "Berita apaan?"

Gue langsung menyenggol lengan Barra. "Ada apaan sih? Gue ketinggalan berita apa?"

"Enggak penting, mending sekarang lo pesen dulu, gue yang bayar."

"Bebas?"

"Terserah."

Sialan. Lemah banget gue kalau udah denger kata dibayarin. Barra sebenarnya bukan tipe bos yang pelit, dia lumayan sering mentraktir kami para artisnya, tapi kalau di tempat tongkrongan begini, pria ini lumayan jarang mentraktir. Biasanya gue yang kena, jadi gue jelas nggak mau kehilangan kesempatan ditraktir Barra. Alhasil, dibanding bertanya gue akhirnya langsung mulai memesan.

"Gue juga nggak?" Vero kemudian ikut menyahut, tak ingin kalah.

Lalu dengan ekspresi datarnya, Barra mengangguk dan mempersilahkan kami untuk memesan apapun yang kita mau. Buset, tumbenan bener ini bos gue. Abis kenapa ini orang? Berantem sama Emma kah? Soalnya nggak jarang Barra mentraktir kami sepuas-puasnya, kalau dia sedang bertengkar dengan sang tunangan. Itu pun sebagai sogokan biar kami tidak banyak tanya. Kebiasaan.

"Lagi berantem?" tebak gue.

Vero dengan cepat menyahut, "Putus."

"Oh."

"Kok oh?" protes Vero dengan ekspresi tidak percayanya.

Gue menaikkan sebelah alis gue heran. Kalau Vero dan pacarnya--yang masih kuliah itu emang lebih sering berantem, tapi mereka belum pernah mengikrarkan putus lalu balikan-- beda dengan Barra dan Emma, keduanya karena sudah terlalu lama pacaran, hampir 10 tahun, putus nyambungnya hampir 15 kali lebih. Jadi gue nggak heran kalau mereka putus, tapi kenapa reaksi Vero begitu banget?

"Ya, emang kenapa? Mereka udah biasa putus nyambung kan?"

"Ya, emang mereka udah biasa putus terus nyambung lagi. Tapi kali ini beda, Za."

"Bedanya?"

"Mereka batal kawin."

Gue terkekeh geli sambil merogoh saku celana gue untuk mengeluarkan ponsel. "Bukannya udah ya? Kok bisa batal." Gue kemudian menyenggol lengan Barra, "udah kan, Bar, waktu kita liburan di Bali, yang tahun lalu."

Barra hanya memasang wajah datar dan enggan membalas. Yang sensi justru Vero.

"Bukan kawin yang itu, Za. Tapi nikah. Batal nikah."

Pandangan gue kemudian beralih ke Barra. "Kenapa?"

"Lagi nggak mood bahas ini, lain kali aja gue ceritanya."

Gue menggeleng tidak setuju. Gue penasaran ceritanya sekarang, masa iya denger ceritanya lain kali. Keburu nggak penasaran ntar gue.

"Tapi Vero nggak serius kan soal batalnya pernikahan kalian?" tanya gue masih tidak ingin menyerah.

Barra langsung menghela napas panjang lalu mengangguk. "Serius. Dia bahkan udah balikin cincin pertunangan kita."

"Terus lo terima gitu aja?"

"Ya, menurut lo?" Barra berdecak sambil melirik gue dengan ekspresi sinisnya.

"Ya, harusnya jangan langsung lo terima lah, Bar. Kalau lo terima cincin yang dibalikin Emma, itu artinya lo setuju dong pernikahan kalian batal."

Bara mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh. "Dia emang mau pernikahan ini batal, Za."

"Terus lo terima gitu aja? Lo sama Emma udah hampir 10 tahun, njir. Dan itu bukan waktu yang sebentar. Namanya mau nikah pasti ada aja godaannya, ada aja masalahnya, cuma masa lo mau nyerah gitu aja? Lo nggak mau memperjuangin gitu cinta kalian? Masalah sebenernya apa? Emang nggak bisa diomongin baik-baik?"

"Berisik lo, Za!"

Gue langsung menendang kaki Vero pelan. "Temen lo itu, kasih tahu!"

"Za, selow! Yang mau nikah itu mereka, bukan kita. Kita sebagai temen ya cuma bisa kasih dukungan yang terbaik lah. Ya, kalau mereka memilih mundur dari pernikahannya ya biarin, mungkin itu emang yang terbaik buat mereka. Kenapa lo yang sewot?" Vero kemudian menepuk pundak gue seraya berkata, "mereka udah cukup besar dan dewasa untuk menentukan pilihan hidup mereka sendiri, Za. Percaya sama temen lo, kalau emang mereka jodoh ntar juga balikan lagi. Selow, kayak nggak tahu mereka aja sih lo."

"Udah lah, Za, dari pada lo ngurusin hidup gue. Mending lo urusin hidup sendiri. Gue jelas sih, baru gagal nikah, Vero tinggal nunggu Anya lulus kuliah terus nikah. Lah, lo?"

"Gue kenapa?"

"Lo kelamaan menjomblonya, Za," sahut Vero cepat, "coba deh lo inget-inget, setelah putus dari Tiara. Lo pernah sama siapa lagi? Enggak ada kan? Ya, emang deket sama beberapa cewek, tapi semua itu, nggak ada yang lo seriusin kan?"

Gue merengut kesal. "Ya, bukan nggak mau gue seriusin, Ver, cuma emang belum jodoh aja."

"Lo belum move on?" tanya Barra tiba-tiba.

Gue langsung memutar kedua bola mata gue malas. Tersinggung tentu saja. "Udah," balas gue cepat.

"Terus kenapa nggak nyari yang baru?"

"Bukan gue nggak nyari yang baru, cuma emang belum nemu aja kali. Udah lah, ganti topik!"

"Gue kemarin ketemu nyokap lo pas nemenin nyokap gue belanja."

"Terus?"

Bukan, itu bukan gue yang nanya. Karena tanpa gue tanya pun, gue bisa menebak apa yang mereka bahas. Yang tanya sudah jelas Vero.

"Nyokap Eza nanyain dia lagi deket sama siapa."

Kan, udah ketebak banget arahnya pasti ke arah sana. Emang mau ke mana lagi? Udah jelas.

"Terus lo jawab apa?"

Lagi-lagi Vero yang bertanya. Ini produser satu emang kepoan sih, jadi jangan heran.

Dengan ekspresi datarnya Barra menggeleng. "Ya, gue jawab nggak tahu lah, Ver. Karena emang gue lagi nggak tahu siapa yang lagi dideketi sama temen lo."

Vero langsung menyenggol lengan gue. "Serius nggak ada, bro?"

Gue menggeleng. "Belum." Karena memang belum ada yang gue deketi untuk menjurus ke arah hubungan serius. Gue lagi males ribet.

"Udah setahun lo putus sama Tiara, man. Emang masih belum sembuh lukanya?"

"Enggak gitu."

"Terus?"

Gue berdecak kesal. Kenapa jadi gue yang kena? Kan harusnya kita tadi bahas Barra dan Emma.

"Ya, emang belum nemu yang cocok aja kali. Gue juga lagi males ribet pacar-pacaran."

"Coba aja dulu deketin cewek yang dijodohin fans lo. Gue rasa oke juga, Za, tipe lo banget deh."

Gue langsung menatap Vero dengan tatapan horor gue. Apa dia bilang? Deketin cewek yang dijodohin fans? Udah gila apa? Enggak. Big no!

Gue langsung menggeleng tegas sebagai jawaban. "Bercanda lo sama sekali nggak lucu, Ver. Lo jangan gila! Gue masih bisa nyari sendiri tanpa dijodohin mereka. Oke?"

"Bukannya lo sendiri yang bilang nggak masalah dijodohin kalau ngerasa emang cocok," sahut Barra.

Anjir, kenapa Barra jadi ikut-ikutan sih?

"Coba aja kali, siapa tahu emang cocok," imbuhnya tak lama setelahnya.

Gue menghela napas panjang sambil menoleh ke arah Barra dan Vero secara bergantian. Ini dua kampret pada kenapa sih?

"Ini lihat dulu akunnya. Lo bisa stalking dulu sebelum mepet. Tipe lo banget ini, Za, berjilbab, baik juga kok insha Allah akhlaknya."

Vero langsung menyodorkan ponselnya, tapi tanpa berniat melirik ke arah layar, gue mendorong ponsel itu agar menjauh.

"Gue nggak tertarik. Lagian tipe gue itu nggak harus yang berjilbab, kalau dapet yang berjilbab ya gue bersyukur, alhamdulillah, cuma kalau enggak dapet ya nggak papa juga kali. Dan satu lagi, kita nggak bisa menilai akhlak orang hanya dari sosial medianya. Oke, bisa dimengerti dan dipahami sampai sekarang Pak Produser dan Pak Bos?"

Keduanya langsung bungkam, itu tandanya mereka setuju dengan apa yang gue katakan.

Nah, kan, macem-macem sama gue sih. Langsung pada kincep kan? Gue kok dilawan?

Tbc,

Terpopuler

Comments

Nabila Zahrani

Nabila Zahrani

semangat dong up ny udah mampir nih

2023-05-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!